Luka
Batin
Saya ingin bercerita tentang sebuah luka yang sangat menusuk batin ini hingga ke bagian paling dalam. Tentang sebuah ujian, sebuah teguran, sebuah hidayah, mengenai sosok tersayang yang pergi meninggalkan kehidupan yang kelam. Luka itu muncul berantai pada tahun yang sama, bulan yang juga serupa, hari yang bergilir. Ini bukan fiktif yang menarik untuk dibaca seperti karangan cerpen yang membuat pembaca berimajinasi ke masa depan. Tahun 2006 silam...
Hari
ini jantungku berdegup dahsyat hingga seperti tak mengenal kata pelan saat
terguncang. Telingaku bagaikan mengeluarkan kepulan asap. Mataku menyorot tanpa
arah, bola mata seperti memompa air, kelopak tak dapat lagi membendung genangan
air mata. Kaki gemetar seperti tak kuat lagi menopangku, bibirku kaku tak kuat
melontar suatu kata, nafasku terengah lemah, sungguh saya tak dapat
mempercayainya. Berita itu sangat kuat membuatku jatuh tak berdaya padahal
hanya datang dari ujung telepon.
“Innalillahi
wa inna ilaihi rojioun...” kalimat itu terucap dengan nada yang rendah.
Saya
tak dapat berkata sekata pun. Tak pikir panjang, semua orang yang ada di rumah
bergegas pergi menuju kediaman nenek. Di perjalanan saya terus teringat
saat-saat terakhir bersama almarhumah. Saya sangat tak bisa lupa ketika
menginap beberapa malam di rumah itu, yang sekarang menjadi rumah duka.
Almarhumah sangat senang berbagi ranjang bersama keponakannya yang paling dia
sayangi ini. Dia mengingatkanku untuk berdoa sebelum terlelap dalam kelelahan.
Dia selalu mengingatkanku untuk tidak telat makan. Ingatanku tentang hari
pertama dia jatuh sakit masih begitu lengket. Saya menjaganya, saya membantu
nenek mengurus anak cantiknya itu. Saya sempat melihat bahwa dia hampir
menyerah dengan kesakitan dada dan kesusahan bernapas yang dia alami. Saya selalu
memberi isyarat bahwa saya sangat membutuhkannya jadi dia seharusnya mampu
melawan kesakitan itu. Ketika sakit dia hampir tidak menyusahkan siapa pun.
Jasad
yang terkujur kaku itu bibiku. Adik dari Ibuku yang masih berusia 17 tahun. Dia
bahkan belum menggapai cita-citanya, masa-masa remajanya tak lama ia nikmati.
Selama hidupnya dia terkenal sangat baik dan ramah oleh teman-temannya. Bagiku
dia adalah seorang bibi yang sangat perhatian. Dia selalu menyemangatiku untuk
menyelesaikan bacaan quranku. Dia tak pernah melawan sesuatu yang diperintahkan
oleh kedua orangtuanya dan selalu patuh terhadap ke-10 kakaknya. Dia sangat
setia menjaga dan menyayangi adiknya semata wayang. Dia benar-benar sangat
dekat denganku, dia seperti sahabatku meski usia kami sangat berbeda jauh. Dia
selalu setia mendengarkan ceritaku yang sangat konyol tentang masa kanak-kanak.
Saya sangat gembira menyimak berbagai cerita tentangnya.
Saat
almarhumah dirawat inap di rumah sakit, dia selalu memintaku untuk tetap di
sampingnya. Tapi, saya tak tahu mengapa saya tak ingin ada di sampingnya pada
waktu itu. Mungkin karena saya tak mampu melihat dia terbaring lemah dengan
selang infus dan alat bantu bernapas. Hari ini saya lebih tidak kuat melihat
dia terlentang tanpa ada desah napas. Dia meninggalkan dunia fana ini karena
telah kalah melawan penyakit H5N1 yang juga dikenal dengan flu burung. Sejumlah
media pemberitaan lokal maupun internasional datang ke rumah duka untuk
memastikan bahwa almarhumah merupakan korban flu burung. Penyakit ini masih
sangat asing di mata dunia sehingga sangat mengundang perhatian seantero jagad
raya. Tidak ada yang harus dibanggakan dari keramaian pada hari ini. Sejumlah
wartawan yang antusias ingin mewawancarai beberapa anggota keluarga tak dapat
disambut dengan baik. Air mata ini mengalir sangat deras dari pangkal ujung
dada. Bukan hanya saya yang terisak tangis separah ini, kulihat ratusan mata
yang ada di rumah ini mengeluarkan derai air mata. Sahabat-sahabat almarhumah
tak ada yang kuasa melihat sahabatnya menutup mata selama-lamanya. Lantunan
ayat dari surah yasiin terus terngiang di sisi mendiang. Sungguh saya tak
menyangka hari kamis ini menjadi hari duka yang mendalam.
Sebelum
dilakukan proses memandikan jenazah, saya merasa sangat kasihan kepada nenek.
Fisik yang sudah tua itu sangat lemah memeluk anaknya yang terakhir kalinya.
Tak ada yang menyangka bahwa dia pergi begitu cepat mendahului kita semua.
Lekuk senyumnya telah tertutupi kain kafan, wajahnya tak dapat lagi terlihat.
Dia sudah tiada di kehidupan ini. Saya percaya bahwa semua orang pasti memetik
bunga yang indah terlebih dahulu, jadi seperti itu pula Tuhan memanggil
hamba-Nya.
Bibi
yang tersayang kini sudah berada di liang lahat selama 5 hari. Belum hilang
kepiluan dari hati dan pikiran kami semua, sekarang nenek dan anak bungsunya
dilarikan ke rumah sakit. Mereka jatuh sakit dengan gejala seperti yang
almarhumah alami. Lagi-lagi saya mendapat berita yang tidak baik, untung saja
ini bukan berita kematian. Belum ada hasil diagnosis bahwa mereka juga mengidap
penyakit yang sama. Dalam keadaan yang sangat lemah, nenek senantiasa
menasehati anak-anaknya untuk saling menyayangi dan terus saling menjaga. Di
bilik yang sama, nenek dan adik bungsu Ibuku menerima perawatan intensif.
Namun, tiga hari kemudian mereka harus terpisah. Nenek harus dilarikan ke
ruangan ICU karena tiba-tiba saja detak jantungnya tidak stabil. Kami sangat
panik menghadapi situasi genting ini, hari ini tepat sepekan bibi Andriwinarti
pergi menghadap sang Ilahi. Hari ini juga nenek tercinta pergi meninggalkan
kami semua menyusul anak gadisnya yang telah berada di sana terlebih dahulu.
Mengapa
ini terjadi? Peristiwa ini sangat mengguncang mental kami. Saya pun yang masih
belia merasakan kesedihan yang sangat pilu. Mengapa orang-orang terkasih kami
pergi dengan sangat cepat, belum ada langkah untuk melupakan kepedihan duka
ketika tujuh hari yang lalu bibi wafat. Sekarang duka di dalam hati kami semua
tertumpuk dan membuat kami dalam nuansa kesedihan yang lebih parah. Takdir sang
pencipta begitu ajaib. Tak ada yang dapat memprediksi bahwa dalam sepekan kami
kehilangan dua anggota keluarga. Tanpa disangka, ternyata di sebelah makam bibi
belum terisi hingga jasad nenek ditempatkan tepat di sisi makam bibi. Tuhan
sudah menyiapkan liang lahat untuk nenek agar bibiku dapat dijaga olehnya.
Kami
semua menyembunyikan kabar duka bahwa nenek telah tiada karena kami sangat
mengkhawatirkan kesehatan bibi Akira. “Saya juga ingin pergi bersama Ibu...”
tuturnya dengan kekuatan yang sangat lemah. Dia ternyata sudah tahu bahwa
ibunya telah dimakamkan di samping makam kakaknya. Sehari kepergian nenek,
kondisi tubuh dan mental bibi Akira sangat tak menentu. Kondisinya selalu saja
memburuk, hingga dokter meminta kami semua untuk terus berdoa meminta
keselamatan pasien dari sang mahakuasa. Harapan dari dokter sangat tipis, tapi
kami terus saja berharap lebih agar pasien dapat membaik dan pulang ke rumah
dalam keadaan sehat.
Sabtu
ini merupakan upacara penamatan di sekolahnya. Bibi Akira tak dapat
menghadirinya karena dia sedang berperang menghadapi kesakitan itu. Tetapi, dia
terus saja bersikap keras untuk datang. “Saya ingin datang ke acara perpisahan
sekolahku, saya ingin ketemu teman-teman.” Ibuku pun yang menjaganya tak
membiarkan dia pergi. Meskipun, dia diizinkan untuk pergi tetap saja dia tak
mampu. Akhirnya, dia mengalah dan tetap saja tinggal di ranjang pasien. Sebagai
gantinya dia meminta kami semua membacakan ayat-ayat suci agar ia merasa tidak
sepi. Beberapa ayat telah kami bacakan hingga ia mengucap dua kalimat syahadat
dengan aliran napas yang tercekik. Bibi Akira juga bibi yang sangat aku
sayangi. Dia masih berusia 15 tahun. Dia selalu berharap untuk bisa masuk ke
sekolah unggulan bersama almarhumah bibi Andriwinarti. Mimpinya untuk
bersekolah tinggi pun harus ia bawa ke dunia yang lebih abadi, ia tak dapat
menggapai cita-citanya, hasil ujiannya pun tak dapat ia lihat. Apalah daya ini
karena takdir Tuhan membuat kami tak bisa berkutik.
Bibi
Akira memang tak dapat berpisah dengan ibu dan kakaknya. Kini mereka bertiga
telah bersatu, mungkin mereka sedang berpegangan tangan dan tersenyum kompak
melihat kami mengisak tangis. Teman-teman sekolahnya kini mengadakan acara
perpisahan di pemakaman. Mereka melayat dengan pakaian putih-biru, mereka
menyaksikan seluruh prosesi pemakaman sahabatnya. Sungguh, keajaiban Allah tak
bisa kami tebak, bibi Akira dimakamkan tepat di bawah makam nenek. Dalam
sembilan hari, mereka berpindah tempat ke rumah terakhir yang saling berdekatan
secara bergilir.
Perhatian
masyarakat kembali tertuju kepada keluargaku. Kali ini tidak hanya para
reporter yang memadati rumah duka. Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Gubernur
Sulawesi Selatan turut datang memantau keadaan di sekitar rumah, di jalan
Maccini Tengah. Gubernur mengeluarkan status darurat untuk jalanan ini.
Gubernur bersih keras meminta pihak dinas kesehatan agar mengambil sampel darah
seluruh anggota keluarga untuk mencegah adanya korban selanjutnya yang
diprediksikan juga terkontaminasi dengan virus tersebut. Gubernur mengumumkan
perintah itu tepat pada saat semua anggota keluarga dilarikan ke rumah sakit.
Kemudian, dinas kesehatan juga mengambil sampel lendir almarhumah Akira untuk
dibawa ke Hongkong dan Thailand.
Setelah
30 hari berlalu dari hari kematian bibi Akira, hasil diagnosis penyebab kematiannya baru diumumkan oleh pihak Dinas Kesehatan Propinsi. Padahal media berita during internasional seperti Associated Press (AP), BBC, New York Times dan Reuters lebih dulu memuat pemberitaan bahwa nenek dan bibiku
juga menjadi korban virus H5N1. Duka itupun kembali menyala melihat foto
almarhumah dimuat dalam surat kabar.
Dari
kejadian ini, kami banyak belajar bahwa tak ada yang dapat mengalahkan takdir
Tuhan. Ujung pena itu telah menuliskan waktu kematian semua umat manusia. Rumah
nenek itu menjadi sangat sunyi dan senyap. Dua gadis cantik telah tiada di
kediaman nenek. Bahkan nenek sudah turut tiada.
Terima
kasih untuk nenek tercinta yang memberiku ibu yang sangat mulia memperjuangkan
keluarganya. Terima kasih kepada kedua almarhum bibiku yang telah memberi ilmu
yang sangat bermanfaat dalam mengajarkanku untuk selalu berbuat kebaikan. Saya
akan selalu mengunci kenangan terindah bersama kalian di hati ini. Selamat
jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar