Pages

Kekuatan Petuah Pada Pola Pikir Manusia

Sabtu, 06 Oktober 2018

Percayakah Anda dengan kekuatan petuah "kehidupan itu bagai roda berputar?"

Benar, saya pun bagian dari kalian yang percaya terhadap kalimat tersebut.

Pun, sebagian besar banyak yang mendapat pelajaran hidup dari persoalan kehidupan terbalik.

Namun, lagi-lagi saya merasa seperti ada yang salah.

Saya tidak bermaksud menyalahkan sosok yang telah memberi nasehat atas tuturan yang demikian, karena bagaimana pun itu merupakan salah satu dari sekian banyak kalimat yang kandungannya baik untuk memotivasi setiap orang di kala sedang merasa tidak percaya diri atau merasa berputus ada pada keadaan yang dianggapnya kurang baik daripada keadaan orang lain yang terlihat berada di puncak kesuksesan. Toh, saya juga tidak benar-benar ingat siapa yang kali pertama atau yang sering melontarkan kalimat tersebut. Tetapi, kalimat yang ada di alinea pembuka tadi cukup mampu membuat saya selalu berdiri tegap dan semangat pada mimpi-mimpi saya.

Lalu, dimana letak kesalahan yang saya maksud?
Sekali lagi, saya tidak hendak bermaksud untuk menyalahkan. Kalau pun ada unsur menyalahkan, maka yang paling berhak untuk disalahkan adalah kemampuanku dalam menginterpretasi yang nyatanya sangat kurang.

Kehidupan yang memiliki roda untuk berputar atau kehidupan yang tampak menyerupai roda berputar-yang pengendalinya adalah diri kita sendiri. Pada saat melihat orang-orang menyombongkan diri atas kekayaan yang dimilikinya, kadang saya lebih sombong yang tidak memiliki apa-apa, saking sombongnya selalu mengucapkan mantra "kehidupan itu bagai roda berputar!" Mantra yang akhirnya menjadikanku seperti ambisius, seperti ingin serakah, seperti mau menjatuhkan semua orang lalu saya yang berada di posisi teratas. Apakah saya yang gagal mengendalikan diri atau kalimat tersebut yang telah meracuni saya?
Keduanya bisa benar:)
Tetapi, lagi-lagi saya minta disalahkan.

Gimana nih? Sampai di sini sudah ada yang memahami maksud saya?

Rasanya saya ingin menangisi diri saya sendiri, mencari tahu apa penyebab yang membuat saya terus memperjuangkan duniawi? Selain disebabkan nafsu, kalimat yang kujadikan dorongan itu sedikit membuatku serakah untuk urusan dunia.
Pada hari-hari yang kuanggap buruk, aku selalu membenarkan bahwa waktu akan membawaku di posisi teratas sedang yang sebelumnya berada pada posisi itu akan merasakan posisiku yang di bawah, posisi yang tidak dianggap atau tidak dihargai oleh khalayak ramai. Pantaskah aku dianggap jahat? Sangat pantas, aku jahat atas pemikiranku sendiri. Pola pikir yang seperti itu membuatku bersikap kompetitif yang tinggi, sikap ingin menjatuhkan, sikap takut bersaing, bahkan sikap ingin menertawakan orang lain jika berada dalam masa sulit. Apakah sikap seperti itu murni karena jiwa ku yang salah atau karena kalimat itu tadi? Yah, ada kesalahan dalam jiwa. Anggap saja begitu. Kalimatnya sebenarnya berkekuatan positif, tetapi berdampak negatif pada saya. Yang awalnya dimaksudkan untuk mengembangkan karakter saya menjadi optimistik jatuhnya malah bersikap seperti robot yang mengejar kesuksesan dunia.

Lalu, saya bertanya pada diri saya, mengapa sejak kecil saya tidak pernah menanamkan kalimat "tiada yang abadi di dunia ini", mengapa kalimat itu tidak saya jadikan obat atau mantra tiap kali sisi pencemburu ku muncul saat melihat orang-orang yang berhasil menggapai mimpinya?
Seandainya kalimat itu mendominasi pola pikirku, mungkin persiapan untuk kehidupan selanjutnya di alam yang abadi lebih banyak kupersiapkan daripada persiapan masa depan yang belum tentu waktu akan mengilhami diriku berada di tahun-tahun selanjutnya.
Saya seperti gagal melawan diriku sendiri, saya seperti telah menjatuhkan diriku sendiri pada kegagalan yang sejati.
Bahkan saya seperti menyesali segala bentuk usahaku pada deretan impian, sedang menyayangkan tidak adanya bentuk usaha pada kenikmatan surga yang dijanjikan oleh-Nya.

Bersyukurlah kalian jika setiap langkah yang kalian lakukan didasari pada tujuan yang semestinya, tujuan Lillah.
Tidak perlu mengejar mereka yang sukses setelah membangun perusahaan besar dengan doktrin kapitalis, ikat tali sepatu mu untuk berlari dan meneladani mereka yang bersungguh-sungguh hidup di dunia hanya untuk kembali pada-Nya.
Sejauh mana kah langkah kita untuk kembali ke asal? Untuk kembali pada sang pencipta?
Semoga tidak seburuk saya.

Berhasilkah saya menerapkan maksim kesederhanaan dalam tulisan ini? Hehe

Orang Tua, Sang Penyemangat

Menjadi pribadi yang tidak pernah lelah belajar,
Menjadi sosok yang tidak pernah menyerah,
Menjadi nama yang selalu berguna,
Menjadi diri yang selalu berbagi,
Menjadi berilmu yang selalu menebar, dan seluruh hal yang berbaur positif.
Mungkin harusnya hal-hal seperti itu yang diajarkan pada adik-adik atau anak-anak kita.

Yang saya lihat pada gejala sosial sejak dulu, kebanyakan orang tua menekan impian anak untuk menjadi orang kaya, dokter, guru, pengacara, dan segala profesi yang dipandang terpandang. Sehingga, berujung pada upaya merenggut sebagian waktu bermainnya untuk terus belajar, yah mending kalau sampai besar diajar untuk terus belajar, nah kalau dididik untuk terus mendapat angka maksimal di rapor gimana? Kan jatuhnya akan mendorong anak terus mengejar angka2 yang tidak menyeimbangkan pada aspek afektifnya. Bahkan, sebagian anak malah berusaha mengejar nilai bukan pada sumbu ilmu pengetahuan yang diajarkan. Kemudian, upaya berbuat curang pada ujian nasional menjadi budaya yang didukung langsung oleh orang tua. Lalu, tujuan mencerdaskan dikemanakan? Bukankah kalau begitu kita malah mendidik generasi yang serakah?

Lucunya, bahkan ada beberapa wali murid yang cara mendidiknya pada anak-anak dengan memberi dua kehidupan yang berbanding terbalik. Sehingga, anak-anak merasa bahwa tidak menjadi orang kaya atau tidak menjadi orang ternama adalah sesuatu yang salah dan tidak membahagiakan. Sini biar kuberi contoh,
"Tuh lihat tukang becak itu, kalau kamu tidak sekolah kamu bakal seperti itu!"
Sungguh, itu adalah contoh kalimat yang salah untuk mendidik anak. Dengan begitu, karakter anak lebih ingin berjuang mendapat hasil yang secara instan, dia terus beranggapan bahwa pekerjaan rendahan seperti itu tidak baik (yah memang) tapi dia akan menjadi anak yang mudah merendahkan orang. Bukankah lebih baik menggantikan kalimat tersebut menjadi, "Nak, jadilah orang yang cerdas, yang bermanfaat bagi orang lain, yang mampu menolong orang-orang dengan memberi pekerjaan yang baik."
Kekuatan kalimat tersebut sangat memengaruhi banyak hal. Anak-anak jadi lebih tahu bahwa menjadi cerdas tidak hanya dengan memeroleh peringkat yang tinggi tapi yang cerdas yaitu orang yang bisa berguna untuk orang lain yang bahkan mampu menciptakan lowongan pekerjaan dengan segala bentuk kreatifitasnya. Nah, mencakup tiga aspek pendidikan, bukan? Kognitif, afektif, dan psikomotoriknya dapat semua.

Di setiap kesempatan bertemu dengan adik-adik pedalaman, saya selalu mengingatkan diri saya untuk tidak mendorong adik-adik menjadi seperti orang lain, sekali pun tokoh presiden yang menjadi contoh. Karena menunjukkan kelebihan orang kepada mereka, dengan sengaja kita menunjukkan segala bentuk kekurangannya. Yah bagus kalau mereka bisa memfilter maksud baik kita. Tapi kondisi adik-adik di pedalaman kan beda. Dia lebih bisa mengutuk keadaan kalau kita datang dengan pengaruh membawa segala janji-janji kemewahan jika dia rajin belajar. Kita hanya perlu memberi dia ruang untuk tertawa bahagia, membiarkan dia bermain, membiarkan dia melepas penat atas kecemasan masa depan yang terlalu banyak. Kita tidak perlu mengajak dia meninggalkan desa untuk menjadi orang hebat. Kita tidak perlu menyuruh dia bercermin pada orang-orang yang berada di puncak teratas. Kita tidak perlu mengingatkan dia terus belajar untuk mendapat nilai bagus, tetapi mengajak dia belajar untuk mengetahui banyak hal yang bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari. Mereka harus diselamatkan dari budaya kompetisi yang ambisius di dunia sekolah.

Peran orang tua harusnya menjadi penyemangat bukan penuntut.

Makassar, 23 September. Dibuat dengan pikiran yang sedang menampung banyak kegelisahan.

Dalam proses hijrahku, aku jatuh hati

Rabu, 10 Januari 2018

Kini aku putuskan bahwa aku cukup bahagia..
Bahagia karena telah sadar akan suatu hal..
Mengenai hati yang aku sesali karena telah jatuh..
Jatuh pada orang yang mungkin enggan menopang..

Salahku karena telah berani membiarkannya jatuh..
Setelah ia terkoyak dan terpatahkan pada waktu lampau oleh seseorang..
Kemudian, aku layangkan ia pada kilasan kasmaran yang jemu yang dihadirkan oleh sosok yang baru..
Namun, akhirnya ia jatuh di buaian yang salah..

Patut aku bermohon maaf pada Tuhan..
Karena telah lancang menaruh harapan tanpa hati-hati pada hamba-Nya bahkan hampir tak kupinta izin-Nya untuk mencinta..
Dalam pekikan doa, kian kumohon agar diberikan yang terbaik..
Jawaban-Nya mungkin telah terentet di depan mata..
Aku salah telah menjatuhkan hati tanpa topangan..
Tanpa ungkapan..
Tanpa kejujuran..
Cinta yang diam pun sangat salah..
Sungguh, tak ingin lagi aku berperasaan pada seseorang yang kuanggap baik tapi tidak menurut-Nya..

Lagi, kuhaturkan maaf pada sang kuasa..
Karena telah menganggap berbagai kebetulan itu sebagai sinyal akan bersatunya dua hati..
Betapa malunya aku karena 'mungkin' insan yang di sana tak sedikit pun ingin hati ini..
Dan.. tersadarlah aku pada suatu detik tadi bahwa belum waktu yang tepat dan orang yang pantas untuk aku selalu selipkan namanya dalam doa ku..
Ada pun, jika namanya masih ingin kusebut dalam doa, aku hanya harap bahwa ia bisa jadi yang baik dalam Agama dan hidupnya..

Ketika waktu merangkak, membawa kehidupan ini ke lembaran baru..
Ketika akhirnya aku dan dia memang tak jodoh..
Yang pada kenyataannya penyesalan pernah menyukainya terus terbayangi..
Aku tetap pada harapanku, agar dia bisa jadi laki-laki yang baik..
Meski ia bukan milikku secara halal nanti..
Dia tetap temanku yang dipertemukan di tempat yang telah mengajariku sebuah pengabdian..

Buat dia, maafkan hati ini telah salah berharap bersanding denganmu dalam momen yang sakral..
Maaf telah terbiasa menyebut namamu dalam doa..
Maaf telah lancang memberi perhatian untukmu..
Maaf telah hampir mencintaimu..

Berbahagialah dengan gaya hidup yang kau anggap menyenangkan..
Biarlah aku dengan maluku ini yang secara diam memerhatikanmu terus memperbaiki diri..
Setidaknya, setelah paham bahwa kita tak bisa bersama di waktu yang akan datang, aku tetap beruntung karena dapat memotivasi diri untuk jadi lebih hebat dan baik.

Terima kasih, karena dengan mencintaimu dalam diam, aku banyak memetik pelajaran.

Aku salah, dalam proses hijrahku, aku menerima anak panah iblis.
Aku sesali, dalam proses hijrahku, aku jatuh hati.
Aku menyerah.
Aku kembali pada Tuhanku, Allahku.
Kuserahkan hati ini pada-Nya.
Kupercayakan hati ini pada-Nya.
Kubiarkan Ia menempatkan hati ini pada orang yang menurut-Nya pantas dan tentu halal bagiku.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS