Liya dan Lika
Langit tak tampak gelap, kilauan bintang
terpancar membuat malam ini begitu cerah. Cahaya bulan sangat sempurna
menyinari bumi. Kelap-kelip lampu kendaraan, suara bising bunyi klakson,
kicauan nyaring dimana-mana, semuanya itu menambah suasana malam ini begitu ramai
dan berwarna.
Malam ini seperti milik kita berdua.
Kita benar-benar menghabiskannya dengan bersenang-senang. Ini akan menjadi
kenangan indah untuk kita berdua. Tak akan ada yang dapat menghapus kenangan
itu. Ini akan menjadi masa lalu yang paling indah dan akan terbawa saat masa
depan telah kita pijak.
Namaku
Aliya, usia belum genap 18. Perempuan cantik dengan potongan rambut yang sangat
lurus, bola mata indah dan bulu mata yang lentik sempurna itu adalah sahabatku.
She is my sister but from another parents,
jelas saja dia dilahirkan dari keluarga berdarah biru. Sangat jauh berbeda
dengan diriku.
“Tonight is
ours, we own the night.” Sorak ceria
Alika.
“So, tonight is
not our last night, right?”
“Yah, tentu saja. Kita akan bertemu lagi. Kita akan mengitari
kota sepanjang hari bersama.” Jawabannya sangat meyakinkan.
Sudah
kubilang, ini akan menjadi malam yang paling panjang bagi saya dan Lika (begitu
panggilan singkatku kepadanya). Esok pagi Lika akan berangkat ke Bandung. Dia
akan pindah dan kita akan terpisahkan. Kupikir persahabatan kami ini akan lebih
berharga jika raga kita harus berpisah, namun jiwa senantiasa saling merindu.
Saya sangat mendukung keberhasilan Lika mencapai impiannya untuk melanjutkan
pendidikannya di kota kembang itu. Saya membayangkan bahwa dia akan mengalami
transformasi hidup yang sangat menarik di kota sana. Tentu saja, dia akan hidup
mandiri tanpa ada orangtua yang memanjakannya dengan segala fasilitas mewah.
Dugaanku sangat benar bahwa kesempatan Lika kuliah di UNPAD itu tidak hanya
didasari impian yang ingin menjadi mahasiswa di universitas terpandang. Namun,
kesempatan berkuliah di Bandung juga merupakan peluang Lika untuk bebas dari
segala aturan kuno di rumahnya.
Mentari
kini berada di ufuk timur, dia belum tampak sempurna dengan sinar hangatnya.
Saya tersenyum haru melihat Lika tertidur pulas di sisiku dan tiba-tiba saja
berbagai rentetan pertanyaan berbaris di pikiranku. Bagaimana bisa dia akan
hidup mandiri kalau dia masih saja susah bangun tepat waktu? Apakah dia akan
bahagia saat dia bertemu dengan teman baru? Apakah ini kesempatan terakhirku
melihat wajah Lika yang apa adanya?
“Ka, kamu harus bangun sekarang. Kamu harus bergegas
ke bandara.” Tanganku terus menggoyangkannya agar lekas bangun.
Saya
harap malam tadi tidak akan menjadi yang terakhir kalinya menginap di rumah
megah ini. Harapan itu bukan karena kesenangan tidur di ranjang mahal, bukan.
Tetapi, saya berharap akan selalu bisa memiliki waktu kebersamaan dengan
sahabatku, Alika.
Ketika
SD, saya berada di sekolah yang sama dengan Alika. Setahap kemudian, kita
kembali duduk di sekolah dan di kelas yang sama. Namun, saat waktunya
mengenakan seragam putih-abu, rute perjalanan kita berbeda. Saya memilih duduk
di bangku SMK agar dapat memperoleh keterampilan khusus setelah lulus nanti.
Sebagai pelampung, jika saya tak mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi, saya bisa memilih pekerjaan yang relevan dengan jurusan yang saya
tekuni di sekolah kejuruan. Di sisi lain, Alika sangat beruntung bisa sekolah di
SMA yang terhitung unggul di kota Makassar. Alika memang cerdas jadi wajar saja
kalau dia bisa lulus di sekolah umum yang bertaraf internasional. Dengan
begitu, dia akan mudah menggapai impiannya menjadi seorang dokter. Buktinya,
kini dia telah menjadi mahasiswa kedokteran di Bandung. Dia seperti tak
memiliki kekurangan. Dari segi finansial dia sangat berkecukupan, dia pun
memiliki peringkat pertama dalam hal intelektual, dia juga sudah menyabet
berbagai penghargaan dalam dunia peraga busana, dan yang paling membuatku
sedikit cemburu yaitu dia masih punya orangtua yang sangat menyayanginya.
Alika
ternyata sangat beruntung, teman-temannya sangat banyak dan juga ikut mengantar
Lika ke Bandara. Mereka ingin membuat sebuah bingkai kenangan bersama Alika
sebelum ia berangkat. Saya hanya memiliki seorang sahabat yaitu Alika.
Sedangkan, saya bukan satu-satunya sahabat Lika. Untung saja, Alika tidak
pernah sombong hingga melupakanku sebagai sahabatnya sejak berumur 6 tahun.
Mataku
kini berkaca-kaca, kelopak mata ini sudah hampir tak kuat menahan genangan air
mata saat melihat om Rio dan tante Linda memeluk Lika dengan petuah yang terus
terucap. Teman-temannya juga seperti merasa kehilangan atas keputusan Lika
untuk merantau.
“Liyaaa, terima kasih sudah mau temani saya ke
sini.” Lika berlari ke hadapanku lalu memelukku dengan hangat. Air mata ini
menetes karena rasa bahagia melihat seorang sahabat akan pergi untuk mengejar
mimpinya.
“Kamu jaga diri ya, ka. Belajar yang giat.” Ini
pesan dari lubuk hati yang paling dalam.
Saya
sangat tahu bagaimana personality dari
Alika, berbagai ceritanya sudah banyak kusantap bahkan cerita yang dia sudah
lupa masih saya ingat jelas, semua kekurangannya sangat kukenal, kelebihannya
pun banyak yang kutahu. Setiap kali kita hangout
dia selalu mengeluarkan uangnya untukku, dia juga selalu marah kalau sekali
saja saya bilang ‘tidak bisa’ pada saat dia membutuhkanku. Maklum saja Alika
anak yang berlimpahan harta, sudah menjadi hal biasa kalau dia hampir tiap hari
menraktirku makan di restoran mahal dan membeli baju-baju yang indah dan
pastinya harga yang fantastis untukku. Sangat mustahil membalas kebaikannya
dengan materi, maka dari itu saya seperti mengabdikan diri kepada Alika.
Rasanya sudah seperti kewajiban menemani Alika kemana saja.
Semua
kenalanku tahu kalau saya punya sahabat bernama Alika, tetapi saya pikir tidak
ada yang tahu kalau Alika punya sahabat bernama Aliya. Mungkin saja orang-orang
yang mengenal Alika berpikir kalau saya ini hanya teman biasanya saja, mungkin
juga saya dikira saudara jauhnya, bahkan ada yang mengira kalau saya ini
asisten pribadinya. Yah, tidak masalah dengan semua pendapat itu. Mereka tidak
tahu persahabatan kami ini sudah terjalin sangat lama.
Hampir
setahun saya tak berjumpa lagi dengan Lika, entah bagaimana kabarnya sekarang.
Saya kira dia sudah bahagia dengan teman barunya. Saya seperti penggemar
sejatinya yang memantau aktivitas dia melalui media sosial, sedangkan dia
seperti tidak peduli lagi denganku (bahkan, mungkin sudah tak mengenalku lagi).
Kini baru kusadari bertahun-tahun mengenal Lika, dia tak banyak tahu tentangku.
Seperti yang kubilang sebelumnya bahwa kebanyakan orang tidak mengenalku
sebagai sahabat Lika. Saat ini saya sangat sadar bahwa saya hanyalah sahabat di
balik layar (Ataukah hanya saya saja yang terlalu percaya diri menganggap
diriku bersahabat dengan Lika?). Orang-orang tidak mengetahui bahwa yang
membantu Lika mengurus pendaftarannya ke UNPAD hingga lulus itu diriku. Saya
telah membantu banyak atas prestasi Lika selama ini. Kemahiran dia dalam
bercakap bahasa Inggris juga bagian dari bantuanku. Meskipun kita tidak berada
di sekolah yang sama ketika SMA, saya sangat sering membantu dia mengerjakan
tugasnya saat dia sibuk nangkring di Mall bersama temannya. Astaga! Seharusnya
itu semua sudah kulupakan. Maaf saja, bukannya saya mengingat kebaikan yang
sudah kulakukan, hanya saja saya merasa heran atas sikap Lika sekarang ini.
Dulunya kita tidak mengenal malu untuk saling sapa dan bercanda di media
sosial, namun kini rasanya sangat berat untuk sekadar memberi komentar dari
foto-foto yang ia unggah karena melihat sudah banyak teman-teman lainnya yang
memberi komentar terlebih dahulu. Saya juga sudah pernah menyapa dia melalui
email, turut berkomentar pada kiriman fotonya di instagram, tapi tidak ada satu pun respons bagiku.
Lika
tidak tahu bahwa saya kini kuliah di Australia mengambil program studi linguistics jurusan school of humanities, saat saya antusias memberinya ‘selamat’
ketika pengumuman kelulusannya di fakultas kedokteran keluar, saat itu pula
pengumuman kelulusanku dari University of Adelaide itu tersiar. Selama ini
hanya saya saja yang memberi waktu luang dan ruang memori untuk kepingan cerita
Lika, tetapi dia seperti tak ingin mengetahui ceritaku baik itu duka maupun
suka dan enggan mengosongkan waktunya untuk urusanku. Saat kedua orangtuaku
bercerai, dia tampak biasa saja. Dia hanya memberiku sedikit kutipan untuk
terus semangat. Dia tidak tahu bagaimana terpuruknya hatiku saat keluargaku
mengalami kehancuran. Dia tidak pernah tahu kalau saya sudah berkali-kali menjuarai
perlombaan tingkat propinsi hingga tingkat nasional. Selama ini hanya saya yang
dapat menemaninya ketika ia mengikuti perlombaan fashion show. Pada saat saya mengikuti lomba debat bahasa Inggris,
lomba tour guiding, lomba get smart, dia tidak pernah ada walaupun
hanya untuk menonton. Bahkan, dia tidak pernah tahu saat saya sedang dalam
perlombaan.
Sangat
sulit untuk mengubur kenangan bersama Alika, saya tidak akan pernah menganggap
dia sebagai ‘mantan sahabat’. Keceriannya tidak pernah pudar dari bayanganku.
Dia akan terus menjadi sahabatku. Sekarang saya harus bisa menyibukkan diriku
di tanah perantauan ini. Saya sangat beruntung bisa sekolah di negeri kanguru. Biaya
hidup di Adelaide begitu rendah tinimbang di Sydney atau pun di Melbourne,
selain itu sebagai seorang pelajar saya dapat memanfaatkan fasilitas MRT secara
gratis. Kualitas pendidikan di sini juga sangat terjamin dan super disiplin. Apartment yang kutinggali sudah sangat
mewah bagiku (tapi, menurut Australians
apartemen ini sangat standar). Hidupku di Australia sudah tergolong nikmat dan
semuanya itu kudapatkan secara gratis. Sayang sekali, saya selalu saja jatuh
sakit selama menetap di negeri orang.
“Dadaku sangat sakit, napasku sangat berat untuk
kukeluarkan. Terkadang saya sangat sulit untuk berdiri apalagi berjalan.”
Keluhku kepada ibu melalui ponsel.
“Sabar dulu, Liya. Kamu minum obat saja dulu.”
“I wanna back to
home.” Keluhanku makin menjadi, saya merengek mau pulang ke Indonesia.
Hari
ini kondisiku sangat lemah untuk menikmati sendunya angin musim semi. Sebagai
mahasiswa penerima scholarships, saya
seharusnya tidak jatuh sakit seperti sekarang. Tetapi, saya sungguh tak berdaya
lagi untuk berpura-pura kuat. ‘Ingin menyerah’ selalu saja terbesit dalam
benakku. Uang saku dari duta besar Indonesia untuk Australia tidak pernah habis
terbelanjakan, saya selalu menabungnya jadi jika harus kembali ke Indonesia
setelah final test, saya mampu membeli
tiket tanpa menyusahkan ibu. Hari ini saya harus kuat mengikuti last final test agar saya bisa segera
berkunjung ke kampung halaman.
Sepekan
telah berlalu, semua mata kuliah semester genap telah berakhir. Ini menjadi
hari yang paling kutunggu. Pagi ini akan ada pengumuman mahasiswa terbaik untuk
musim ini. Sore nanti saya akan bertolak ke Indonesia.
Semua
teman-teman kampus mengirimi ucapan selamat kepadaku. “Congratulation! You are the best student of the year.” Ucapan dari
beberapa teman hampir sama.
“Sebelum kembali ke Indonesia, can we walking along the track in Victor Harbour?” Ajak dari salah
seorang temanku di Australia yang berasal dari Semarang.
“So sorry,
beberapa jam lagi saya harus take off.”
Saya sangat menyesal tidak bisa berjalan-jalan sebelum kembali ke Indonesia,
namun kesehatanku juga tidak bisa mendukung.
Saya
berangkat seorang diri menuju Adelaide
International Airport. Saat check-in
dan mengatur bagasi, perasaanku terus saja tak tenang. Ada yang mengganjal,
tetapi saya sangat sulit menebaknya. Dalam pikiranku hanyalah keinginan ingin
cepat tiba di Indonesia. Saya tidak peduli dengan kondisiku yang cukup tidak
baik.
“Wah, Indonesia memang sungguh menawan. Terlihat
dari atas awan saja sudah sangat mengagumkan.” Pujianku terus terlontar kepada
negeriku yang sangat kucintai. Beberapa saat kemudian, pesawat ini akan
mendarat. Saya sudah sangat tak sabar memeluk ibu. Sebenarnya, saya sangat
berharap bisa bertemu Lika ketika di Indonesia. Namun, kemungkinannya sangat
minim.
Perasaanku
tiba-tiba saja bercampur aduk, sejak turun dari pesawat rasanya ingin sekali
melangkahkan kaki ini dengan kecepatan maksimal untuk berlari menuju pintu
keluar. Jantungku berdetak dengan irama yang sangat tidak menentu, kadang
bergerak kencang, namun tiba-tiba kurasa seperti ingin berhenti lama.
Pandanganku tiba-tiba buram, dari ujung kaki hingga permukaan dahiku mengeluarkan
keringat bersuhu dingin. Wanita bertubuh gempal, kerudung yang berbentuk
sederhana, mata dengan sorotan hangat kepadaku itu adalah ibuku. Saya
menghampirinya dengan langkah yang sangat lemah, saya butuh dipapah, tapi saya
harus menguatkan diriku hingga memeluk ibu yang sejak tadi menunggu
kedatanganku. Akhirnya, saya tiba di Indonesia.
“Ibu, saya sangat merindukanmu.” Kedua tanganku
langsung melingkari tubuhnya yang lebar. Saat itu napasku terhembus tipis,
kakiku tak kuat menopang bobotku, setengah kelopak mataku menutup lensa
penglihatanku. Telingaku sesaat mendengar teriakan dari beberapa orang,
kemudian semua panca inderaku tiba-tiba tak berfungsi. Hanya tertinggal detak
jantung yang lemah.
Mengapa hal ini terjadi kepadaku,
seharusnya saya tak boleh mengidap penyakit ini. Saya akan menyusahkan banyak
orang jika sakit ini terus melekat dalam tubuhku. Ibuku akan kesusahan mencari
biaya pengobatanku. Tabungan beasiswaku juga tak cukup untuk memenuhi tarif
rumah sakit. Saya harus bagaimana? Apakah saya harus meminta bantuan dari Lika?
Yah, saya harus memutus urat maluku ini. Saya harus bisa meminjam sedikit uang
untuk biaya transfusi darah yang harus rutin kulakukan. Selain takut
menyusahkan ibu, saya turut khawatir dengan statusku sebagai mahasiswa penerima
sponsor dari negara. Thalasemia beta
intermedia akan membuatku sulit bertahan hidup saat kembali ke Adelaide
beberapa bulan ke depan. Saya harus melakukan transfusi darah secara rutin
dalam waktu yang sangat panjang. Butuh biaya yang banyak dan juga istirahat
yang panjang, dengan demikian kuliah saya akan terhambat. Saya hanya dapat
berharap agar thalasemia yang
kuderita bisa segera punah meskipun diagnosa dari dokter sangat tidak
memungkinkan.
Tubuhku kini terlentang di atas ranjang
rumah sakit. Tabung infus terus meneteskan cairan ke dalam tubuhku. Kedua
lubang hidungku tertutupi dengan selang bantuan pernapasan. Saya tak pernah
mengira akan menghadapi situasi yang sangat lemah ini. Ponselku mana? Saya
terus mencari dimana ponselku. Saya harus menghubungi Lika atau orangtuanya,
saya butuh bantuan dana dari dia atau keluarganya.
“Ibu, ponselku mana?” Saya teriak dari
dalam bilik rumah sakit. Kulihat ibuku tidak ada di sampingku, jadi kupikir dia
ada di luar sana. Kemudian, ibuku berlari menghampiriku. (Ternyata benar, dia
ada di depan pintu kamar)
“Ini ponselmu, nak. Ibu hanya
menyimpannya di saku bajuku.”
Kini ponsel itu berada dalam
genggamanku, saya harus menghubungi Lika. Saya bingung harus langsung
menelponnya ataukah saya hanya perlu mengiriminya SMS? Jempolku mulai mengetuk
gambar surat, menu pesan itu pun terbuka. Aneh, ketika saya baru saja ingin mengetik
nomor telepon Lika, tiba-tiba ada panggilan darinya. Saya sempat memakan waktu
selama beberapa detik hanya untuk berpikir apakah saya harus menerima
panggilannya atau mengabaikannya.
“Assalamu...” salamku terpotong.
“Walaikumsalam. Liya, sekarang saya
sudah di Makassar. Saya harus ke rumah sakit.” Sungguh sangat aneh sekaligus
sangat menggembirakan. Saya merasakan sahabatku hadir kembali. Tapi, buat apa
Lika ke rumah sakit? Sepertinya dia sangat terburu-buru. Semoga saja tidak
terjadi hal yang buruk kepadanya. Saya sangat khawatir dengan dia. Semoga saja
bukan orangtuanya yang ada di rumah sakit.
“Siapa yang di rumah sakit, ka?” Tanyaku
sangat penasaran.
“Sudah dulu yah, saya harus cepat
pergi.” Alika tiba-tiba saja mengakhiri percakapan kami yang masih terhitung
sebentar.
Saya tidak sempat meminta bantuan dan
mengabarinya kalau saya kini dirawat di rumah sakit. Sahabatku itu
menghubungiku hanya untuk mengabarinya kalau dia ada di Makassar. Dia mengabariku
karena mungkin dia membutuhkanku lagi untuk menemaninya kemana-mana. Sekarang,
saya perlu istirahat. Mataku juga sudah tak kuat lagi menahan kilauan cahaya
lampu. Saya mau tidur.
“Jadi, dia sudah sakit selama di
Australia?”
“Iya, nak. Bahkan dia sempat jatuh
pingsan di bandara. Sakitnya itu bagian dari anemia akut. Dia harus berobat dalam jangka waktu panjang.”
“Ibu tenang saja, ayahku akan bantu
pengobatan Liya. Ibu Sandra sebaiknya tenang saja kalau persoalan biaya rumah
sakitnya.”
Pendengaranku terbangun dan sadar.
Sepenggal percakapan ibu dengan seseorang terdengar olehku. Saya tidak tahu ibu
sedang bercakap dengan siapa. Yang kutahu pembahasannya itu tentangku. Saya
belum mau membuka mataku, biar saja saya mendengarnya secara diam-diam.
“Liya, maaf baru bisa menjenguk kamu.”
Suaranya seperti tidak asing. Yah, saya mengenali dialek itu. Tapi, karena
sudah setahun tidak mendengar suaranya, saya menjadi ragu.
“Lika, sejak kapan kamu disini? Saya
sangat rindu denganmu. Saya kira kamu sudah lupa kepadaku.” Saya terbangun
ketika sadar bahwa orang yang dari tadi berbincang dengan ibuku adalah Alika.
Sahabatku yang sudah lama kurindukan.
“Kamu ini sedang sakit tapi tetap saja
cerewet.” Alika langsung memelukku meskipun ia harus membungkuk karena saya
dalam keadaan terbaring.
“Bagaimana dengan kuliahmu, ka? Tinggal
di Bandung menyenangkan ya?”
“Nah, saya justru mau menanyakan
pertanyaan yang sama kepadamu. Kamu merantau di luar negeri tidak
bilang-bilang.” Alika tidak langsung menjawab pertanyaanku.
Sebenarnya bukan tidak ada niat ingin
berbagi informasi, tetapi memang Alika tidak pernah menanyakan tentang diriku. Tapi,
lupakan saja hal itu. Saat ini yang terpenting adalah dia berada di sampingku,
bahkan dia ingin membantu pengobatanku meskipun saya belum meminta bantuan
darinya. Tanpa kuketahui, ibu sudah terlebih dulu mengabari Alika tentang
keadaanku sebelum saya menghubunginya. Jadi, orang yang mau Alika temui di
rumah sakit itu ternyata diriku. Saya sangat haru mengetahuinya.
Selama tiga hari, Alika terus datang
menjengukku. Dia menjagaku sepanjang hari di rumah sakit. Ibu sepertinya sedang
sibuk mengurus sesuatu hingga saya jarang melihat beliau di sampingku. Beberapa
hari ini ada Alika yang mengganti jadwal jaga ibu. Namun, saya mulai merasa ada
yang aneh. Perasaanku terus saja menggebu-gebu. Saya selalu saja kepikiran
dengan ibu.
“Ibu, kenapa jarang temani saya di
sini?” Kali ini saya ditemani Lika dan ibu. Akhirnya ibu kembali menjagaku.
“Maaf, nak.” Ibu hanya memohon maaf,
kulihat kulitnya begitu kering, warna kulitnya tak lagi cerah, bibirnya mengelupas.
“Apa ibu sakit?” Saya sangat khawatir
terhadap ibuku.
Hidupku sungguh sangat malang. Walaupun
begitu, saya harus bersyukur masih dapat hidup hingga detik ini setelah nyawaku
hampir berjumpa dengan maut. Bahkan, saya bisa sembuh sebelum kembali ke
Adelaide. Saya telah menang melawan penyakit turunan itu. Namun, kini saya
hidup sebatang kara. Setelah perceraian orangtuaku, saya tidak tahu ayahku kini
dimana. Ada yang bilang dia sudah menikah lagi. Saya sudah tidak peduli dengan
seorang ayah yang penghianat. Hidupku benar-benar dalam kesendirian.
Beberapa jam tadi, jasad ibuku sudah
berada di liang lahat. Jumat pagi, ibuku menghembuskan napas terakhirnya. Sungguh
tak ada yang mengetahui takdir sang Ilahi. Ibu yang selalu tampak sehat dan
kuat ternyata mengidap penyakit yang cukup ganas. Penyakit yang ia alami sama
dengan penyakit yang sempat kuderita, tetapi jenis thalasemia yang ia terima lebih parah daripadaku. Thalasemia adalah jenis penyakit
kelainan darah yang disebabkan kurangnya jumlah hemoglobin. Ibuku penderita thalasemia
beta mayor yang harus melakukan transfusi darah seumur hidup, namun saat
saya di Adelaide ia melakukan transfusi darah hanya selama seminggu. Di luar
dari yang kuketahui, ibuku pernah dirawat di rumah sakit. Ibu terus
mengkhawatirkan kondisiku padahal selama ini dia memendam rasa sakit yang
begitu parah. Dia membiarkan thalasemia
itu menguasai tubuhnya hingga menghancurkan seluruh fungsi organ tubuhnya.
Selama saya tidak di Indonesia, ibuku
kerja di butik milik keluarga Alika. Ternyata selama ini keluarga Alika sudah
membantu banyak hal, mereka memberikan bantuan kepada ibu selama ia sakit,
pengobatanku juga ditanggung oleh keluarga Alika. Meskipun Alika sibuk dengan
urusannya di Bandung, ternyata keluarganya terus memberi bantuan kepada ibu.
Pantas saja ibu terus mengirimiku uang yang cukup banyak, ternyata uang itu
adalah hasil kerja kerasnya di butik.
Hidupku bertransformasi menjadi bagian
dari keluarga yang memiliki kedudukan dan kehormatan yang tinggi. Semenjak
kepergian ibu, tante Linda dan om Rio mengambil hak asuh terhadap diriku.
Sekarang Alika sudah kembali padaku, dia menjadi saudaraku yang sesungguhnya.
Meskipun tidak sedarah dan tidak sekandung, tetapi ikatan batin kita sudah
begitu kuat. Om Rio dan tante Linda kini punya dua anak yaitu Liya dan Lika.
Akhirnya, harapanku untuk dapat berkunjung lagi ke rumah Lika itu terwujud.
Menginap di rumah Lika saat itu ternyata bukan menjadi yang terakhir kalinya. Kini
rumah megah itu menjadi istanaku juga.
Saya kembali ke Adelaide memulai
perkuliahan musim ketiga. Saya harus meneruskan cita-citaku agar membuat
almarhumah ibu bangga kepadaku. Alika juga terbang kembali ke Bandung
melanjutkan kuliah kedokterannya. Alika sudah tidak seperti dulu lagi, dia
sudah tidak egois, dia sudah mulai sering menanyakan tentang diriku. Dia
menjadi adik yang sangat baik bagiku. Kami saling menemani dan membantu. Kami
berjanji akan saling menjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar