Pages

KARYA CERPEN : LIYA DAN LIKA

Senin, 25 April 2016



Liya dan Lika
Langit tak tampak gelap, kilauan bintang terpancar membuat malam ini begitu cerah. Cahaya bulan sangat sempurna menyinari bumi. Kelap-kelip lampu kendaraan, suara bising bunyi klakson, kicauan nyaring dimana-mana, semuanya itu menambah suasana malam ini begitu ramai dan berwarna.
Malam ini seperti milik kita berdua. Kita benar-benar menghabiskannya dengan bersenang-senang. Ini akan menjadi kenangan indah untuk kita berdua. Tak akan ada yang dapat menghapus kenangan itu. Ini akan menjadi masa lalu yang paling indah dan akan terbawa saat masa depan telah kita pijak.
            Namaku Aliya, usia belum genap 18. Perempuan cantik dengan potongan rambut yang sangat lurus, bola mata indah dan bulu mata yang lentik sempurna itu adalah sahabatku. She is my sister but from another parents, jelas saja dia dilahirkan dari keluarga berdarah biru. Sangat jauh berbeda dengan diriku.
“Tonight is ours, we own the night.” Sorak ceria Alika.
“So, tonight is not our last night, right?”
“Yah, tentu saja. Kita akan bertemu lagi. Kita akan mengitari kota sepanjang hari bersama.” Jawabannya sangat meyakinkan.
            Sudah kubilang, ini akan menjadi malam yang paling panjang bagi saya dan Lika (begitu panggilan singkatku kepadanya). Esok pagi Lika akan berangkat ke Bandung. Dia akan pindah dan kita akan terpisahkan. Kupikir persahabatan kami ini akan lebih berharga jika raga kita harus berpisah, namun jiwa senantiasa saling merindu. Saya sangat mendukung keberhasilan Lika mencapai impiannya untuk melanjutkan pendidikannya di kota kembang itu. Saya membayangkan bahwa dia akan mengalami transformasi hidup yang sangat menarik di kota sana. Tentu saja, dia akan hidup mandiri tanpa ada orangtua yang memanjakannya dengan segala fasilitas mewah. Dugaanku sangat benar bahwa kesempatan Lika kuliah di UNPAD itu tidak hanya didasari impian yang ingin menjadi mahasiswa di universitas terpandang. Namun, kesempatan berkuliah di Bandung juga merupakan peluang Lika untuk bebas dari segala aturan kuno di rumahnya.
            Mentari kini berada di ufuk timur, dia belum tampak sempurna dengan sinar hangatnya. Saya tersenyum haru melihat Lika tertidur pulas di sisiku dan tiba-tiba saja berbagai rentetan pertanyaan berbaris di pikiranku. Bagaimana bisa dia akan hidup mandiri kalau dia masih saja susah bangun tepat waktu? Apakah dia akan bahagia saat dia bertemu dengan teman baru? Apakah ini kesempatan terakhirku melihat wajah Lika yang apa adanya?
“Ka, kamu harus bangun sekarang. Kamu harus bergegas ke bandara.” Tanganku terus menggoyangkannya agar lekas bangun.
            Saya harap malam tadi tidak akan menjadi yang terakhir kalinya menginap di rumah megah ini. Harapan itu bukan karena kesenangan tidur di ranjang mahal, bukan. Tetapi, saya berharap akan selalu bisa memiliki waktu kebersamaan dengan sahabatku, Alika.
            Ketika SD, saya berada di sekolah yang sama dengan Alika. Setahap kemudian, kita kembali duduk di sekolah dan di kelas yang sama. Namun, saat waktunya mengenakan seragam putih-abu, rute perjalanan kita berbeda. Saya memilih duduk di bangku SMK agar dapat memperoleh keterampilan khusus setelah lulus nanti. Sebagai pelampung, jika saya tak mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, saya bisa memilih pekerjaan yang relevan dengan jurusan yang saya tekuni di sekolah kejuruan. Di sisi lain, Alika sangat beruntung bisa sekolah di SMA yang terhitung unggul di kota Makassar. Alika memang cerdas jadi wajar saja kalau dia bisa lulus di sekolah umum yang bertaraf internasional. Dengan begitu, dia akan mudah menggapai impiannya menjadi seorang dokter. Buktinya, kini dia telah menjadi mahasiswa kedokteran di Bandung. Dia seperti tak memiliki kekurangan. Dari segi finansial dia sangat berkecukupan, dia pun memiliki peringkat pertama dalam hal intelektual, dia juga sudah menyabet berbagai penghargaan dalam dunia peraga busana, dan yang paling membuatku sedikit cemburu yaitu dia masih punya orangtua yang sangat menyayanginya.
            Alika ternyata sangat beruntung, teman-temannya sangat banyak dan juga ikut mengantar Lika ke Bandara. Mereka ingin membuat sebuah bingkai kenangan bersama Alika sebelum ia berangkat. Saya hanya memiliki seorang sahabat yaitu Alika. Sedangkan, saya bukan satu-satunya sahabat Lika. Untung saja, Alika tidak pernah sombong hingga melupakanku sebagai sahabatnya sejak berumur 6 tahun.
            Mataku kini berkaca-kaca, kelopak mata ini sudah hampir tak kuat menahan genangan air mata saat melihat om Rio dan tante Linda memeluk Lika dengan petuah yang terus terucap. Teman-temannya juga seperti merasa kehilangan atas keputusan Lika untuk merantau.
“Liyaaa, terima kasih sudah mau temani saya ke sini.” Lika berlari ke hadapanku lalu memelukku dengan hangat. Air mata ini menetes karena rasa bahagia melihat seorang sahabat akan pergi untuk mengejar mimpinya.
“Kamu jaga diri ya, ka. Belajar yang giat.” Ini pesan dari lubuk hati yang paling dalam.
            Saya sangat tahu bagaimana personality dari Alika, berbagai ceritanya sudah banyak kusantap bahkan cerita yang dia sudah lupa masih saya ingat jelas, semua kekurangannya sangat kukenal, kelebihannya pun banyak yang kutahu. Setiap kali kita hangout dia selalu mengeluarkan uangnya untukku, dia juga selalu marah kalau sekali saja saya bilang ‘tidak bisa’ pada saat dia membutuhkanku. Maklum saja Alika anak yang berlimpahan harta, sudah menjadi hal biasa kalau dia hampir tiap hari menraktirku makan di restoran mahal dan membeli baju-baju yang indah dan pastinya harga yang fantastis untukku. Sangat mustahil membalas kebaikannya dengan materi, maka dari itu saya seperti mengabdikan diri kepada Alika. Rasanya sudah seperti kewajiban menemani Alika kemana saja.
            Semua kenalanku tahu kalau saya punya sahabat bernama Alika, tetapi saya pikir tidak ada yang tahu kalau Alika punya sahabat bernama Aliya. Mungkin saja orang-orang yang mengenal Alika berpikir kalau saya ini hanya teman biasanya saja, mungkin juga saya dikira saudara jauhnya, bahkan ada yang mengira kalau saya ini asisten pribadinya. Yah, tidak masalah dengan semua pendapat itu. Mereka tidak tahu persahabatan kami ini sudah terjalin sangat lama.
            Hampir setahun saya tak berjumpa lagi dengan Lika, entah bagaimana kabarnya sekarang. Saya kira dia sudah bahagia dengan teman barunya. Saya seperti penggemar sejatinya yang memantau aktivitas dia melalui media sosial, sedangkan dia seperti tidak peduli lagi denganku (bahkan, mungkin sudah tak mengenalku lagi). Kini baru kusadari bertahun-tahun mengenal Lika, dia tak banyak tahu tentangku. Seperti yang kubilang sebelumnya bahwa kebanyakan orang tidak mengenalku sebagai sahabat Lika. Saat ini saya sangat sadar bahwa saya hanyalah sahabat di balik layar (Ataukah hanya saya saja yang terlalu percaya diri menganggap diriku bersahabat dengan Lika?). Orang-orang tidak mengetahui bahwa yang membantu Lika mengurus pendaftarannya ke UNPAD hingga lulus itu diriku. Saya telah membantu banyak atas prestasi Lika selama ini. Kemahiran dia dalam bercakap bahasa Inggris juga bagian dari bantuanku. Meskipun kita tidak berada di sekolah yang sama ketika SMA, saya sangat sering membantu dia mengerjakan tugasnya saat dia sibuk nangkring di Mall bersama temannya. Astaga! Seharusnya itu semua sudah kulupakan. Maaf saja, bukannya saya mengingat kebaikan yang sudah kulakukan, hanya saja saya merasa heran atas sikap Lika sekarang ini. Dulunya kita tidak mengenal malu untuk saling sapa dan bercanda di media sosial, namun kini rasanya sangat berat untuk sekadar memberi komentar dari foto-foto yang ia unggah karena melihat sudah banyak teman-teman lainnya yang memberi komentar terlebih dahulu. Saya juga sudah pernah menyapa dia melalui email, turut berkomentar pada kiriman fotonya di instagram, tapi tidak ada satu pun respons bagiku.
            Lika tidak tahu bahwa saya kini kuliah di Australia mengambil program studi linguistics jurusan school of humanities, saat saya antusias memberinya ‘selamat’ ketika pengumuman kelulusannya di fakultas kedokteran keluar, saat itu pula pengumuman kelulusanku dari University of Adelaide itu tersiar. Selama ini hanya saya saja yang memberi waktu luang dan ruang memori untuk kepingan cerita Lika, tetapi dia seperti tak ingin mengetahui ceritaku baik itu duka maupun suka dan enggan mengosongkan waktunya untuk urusanku. Saat kedua orangtuaku bercerai, dia tampak biasa saja. Dia hanya memberiku sedikit kutipan untuk terus semangat. Dia tidak tahu bagaimana terpuruknya hatiku saat keluargaku mengalami kehancuran. Dia tidak pernah tahu kalau saya sudah berkali-kali menjuarai perlombaan tingkat propinsi hingga tingkat nasional. Selama ini hanya saya yang dapat menemaninya ketika ia mengikuti perlombaan fashion show. Pada saat saya mengikuti lomba debat bahasa Inggris, lomba tour guiding, lomba get smart, dia tidak pernah ada walaupun hanya untuk menonton. Bahkan, dia tidak pernah tahu saat saya sedang dalam perlombaan.
            Sangat sulit untuk mengubur kenangan bersama Alika, saya tidak akan pernah menganggap dia sebagai ‘mantan sahabat’. Keceriannya tidak pernah pudar dari bayanganku. Dia akan terus menjadi sahabatku. Sekarang saya harus bisa menyibukkan diriku di tanah perantauan ini. Saya sangat beruntung bisa sekolah di negeri kanguru. Biaya hidup di Adelaide begitu rendah tinimbang di Sydney atau pun di Melbourne, selain itu sebagai seorang pelajar saya dapat memanfaatkan fasilitas MRT secara gratis. Kualitas pendidikan di sini juga sangat terjamin dan super disiplin. Apartment yang kutinggali sudah sangat mewah bagiku (tapi, menurut Australians apartemen ini sangat standar). Hidupku di Australia sudah tergolong nikmat dan semuanya itu kudapatkan secara gratis. Sayang sekali, saya selalu saja jatuh sakit selama menetap di negeri orang.
“Dadaku sangat sakit, napasku sangat berat untuk kukeluarkan. Terkadang saya sangat sulit untuk berdiri apalagi berjalan.” Keluhku kepada ibu melalui ponsel.
“Sabar dulu, Liya. Kamu minum obat saja dulu.”
I wanna back to home.” Keluhanku makin menjadi, saya merengek mau pulang ke Indonesia.
            Hari ini kondisiku sangat lemah untuk menikmati sendunya angin musim semi. Sebagai mahasiswa penerima scholarships, saya seharusnya tidak jatuh sakit seperti sekarang. Tetapi, saya sungguh tak berdaya lagi untuk berpura-pura kuat. ‘Ingin menyerah’ selalu saja terbesit dalam benakku. Uang saku dari duta besar Indonesia untuk Australia tidak pernah habis terbelanjakan, saya selalu menabungnya jadi jika harus kembali ke Indonesia setelah final test, saya mampu membeli tiket tanpa menyusahkan ibu. Hari ini saya harus kuat mengikuti last final test agar saya bisa segera berkunjung ke kampung halaman.
            Sepekan telah berlalu, semua mata kuliah semester genap telah berakhir. Ini menjadi hari yang paling kutunggu. Pagi ini akan ada pengumuman mahasiswa terbaik untuk musim ini. Sore nanti saya akan bertolak ke Indonesia.
            Semua teman-teman kampus mengirimi ucapan selamat kepadaku. “Congratulation! You are the best student of the year.” Ucapan dari beberapa teman hampir sama.
“Sebelum kembali ke Indonesia, can we walking along the track in Victor Harbour?” Ajak dari salah seorang temanku di Australia yang berasal dari Semarang.
So sorry, beberapa jam lagi saya harus take off.” Saya sangat menyesal tidak bisa berjalan-jalan sebelum kembali ke Indonesia, namun kesehatanku juga tidak bisa mendukung.
            Saya berangkat seorang diri menuju Adelaide International Airport. Saat check-in dan mengatur bagasi, perasaanku terus saja tak tenang. Ada yang mengganjal, tetapi saya sangat sulit menebaknya. Dalam pikiranku hanyalah keinginan ingin cepat tiba di Indonesia. Saya tidak peduli dengan kondisiku yang cukup tidak baik.
“Wah, Indonesia memang sungguh menawan. Terlihat dari atas awan saja sudah sangat mengagumkan.” Pujianku terus terlontar kepada negeriku yang sangat kucintai. Beberapa saat kemudian, pesawat ini akan mendarat. Saya sudah sangat tak sabar memeluk ibu. Sebenarnya, saya sangat berharap bisa bertemu Lika ketika di Indonesia. Namun, kemungkinannya sangat minim.
            Perasaanku tiba-tiba saja bercampur aduk, sejak turun dari pesawat rasanya ingin sekali melangkahkan kaki ini dengan kecepatan maksimal untuk berlari menuju pintu keluar. Jantungku berdetak dengan irama yang sangat tidak menentu, kadang bergerak kencang, namun tiba-tiba kurasa seperti ingin berhenti lama. Pandanganku tiba-tiba buram, dari ujung kaki hingga permukaan dahiku mengeluarkan keringat bersuhu dingin. Wanita bertubuh gempal, kerudung yang berbentuk sederhana, mata dengan sorotan hangat kepadaku itu adalah ibuku. Saya menghampirinya dengan langkah yang sangat lemah, saya butuh dipapah, tapi saya harus menguatkan diriku hingga memeluk ibu yang sejak tadi menunggu kedatanganku. Akhirnya, saya tiba di Indonesia.
“Ibu, saya sangat merindukanmu.” Kedua tanganku langsung melingkari tubuhnya yang lebar. Saat itu napasku terhembus tipis, kakiku tak kuat menopang bobotku, setengah kelopak mataku menutup lensa penglihatanku. Telingaku sesaat mendengar teriakan dari beberapa orang, kemudian semua panca inderaku tiba-tiba tak berfungsi. Hanya tertinggal detak jantung yang lemah.
Mengapa hal ini terjadi kepadaku, seharusnya saya tak boleh mengidap penyakit ini. Saya akan menyusahkan banyak orang jika sakit ini terus melekat dalam tubuhku. Ibuku akan kesusahan mencari biaya pengobatanku. Tabungan beasiswaku juga tak cukup untuk memenuhi tarif rumah sakit. Saya harus bagaimana? Apakah saya harus meminta bantuan dari Lika? Yah, saya harus memutus urat maluku ini. Saya harus bisa meminjam sedikit uang untuk biaya transfusi darah yang harus rutin kulakukan. Selain takut menyusahkan ibu, saya turut khawatir dengan statusku sebagai mahasiswa penerima sponsor dari negara. Thalasemia beta intermedia akan membuatku sulit bertahan hidup saat kembali ke Adelaide beberapa bulan ke depan. Saya harus melakukan transfusi darah secara rutin dalam waktu yang sangat panjang. Butuh biaya yang banyak dan juga istirahat yang panjang, dengan demikian kuliah saya akan terhambat. Saya hanya dapat berharap agar thalasemia yang kuderita bisa segera punah meskipun diagnosa dari dokter sangat tidak memungkinkan.
Tubuhku kini terlentang di atas ranjang rumah sakit. Tabung infus terus meneteskan cairan ke dalam tubuhku. Kedua lubang hidungku tertutupi dengan selang bantuan pernapasan. Saya tak pernah mengira akan menghadapi situasi yang sangat lemah ini. Ponselku mana? Saya terus mencari dimana ponselku. Saya harus menghubungi Lika atau orangtuanya, saya butuh bantuan dana dari dia atau keluarganya.
“Ibu, ponselku mana?” Saya teriak dari dalam bilik rumah sakit. Kulihat ibuku tidak ada di sampingku, jadi kupikir dia ada di luar sana. Kemudian, ibuku berlari menghampiriku. (Ternyata benar, dia ada di depan pintu kamar)
“Ini ponselmu, nak. Ibu hanya menyimpannya di saku bajuku.”
Kini ponsel itu berada dalam genggamanku, saya harus menghubungi Lika. Saya bingung harus langsung menelponnya ataukah saya hanya perlu mengiriminya SMS? Jempolku mulai mengetuk gambar surat, menu pesan itu pun terbuka. Aneh, ketika saya baru saja ingin mengetik nomor telepon Lika, tiba-tiba ada panggilan darinya. Saya sempat memakan waktu selama beberapa detik hanya untuk berpikir apakah saya harus menerima panggilannya atau mengabaikannya.
“Assalamu...” salamku terpotong.
“Walaikumsalam. Liya, sekarang saya sudah di Makassar. Saya harus ke rumah sakit.” Sungguh sangat aneh sekaligus sangat menggembirakan. Saya merasakan sahabatku hadir kembali. Tapi, buat apa Lika ke rumah sakit? Sepertinya dia sangat terburu-buru. Semoga saja tidak terjadi hal yang buruk kepadanya. Saya sangat khawatir dengan dia. Semoga saja bukan orangtuanya yang ada di rumah sakit.
“Siapa yang di rumah sakit, ka?” Tanyaku sangat penasaran.
“Sudah dulu yah, saya harus cepat pergi.” Alika tiba-tiba saja mengakhiri percakapan kami yang masih terhitung sebentar.
Saya tidak sempat meminta bantuan dan mengabarinya kalau saya kini dirawat di rumah sakit. Sahabatku itu menghubungiku hanya untuk mengabarinya kalau dia ada di Makassar. Dia mengabariku karena mungkin dia membutuhkanku lagi untuk menemaninya kemana-mana. Sekarang, saya perlu istirahat. Mataku juga sudah tak kuat lagi menahan kilauan cahaya lampu. Saya mau tidur.
“Jadi, dia sudah sakit selama di Australia?”
“Iya, nak. Bahkan dia sempat jatuh pingsan di bandara. Sakitnya itu bagian dari anemia akut. Dia harus berobat dalam jangka waktu panjang.”
“Ibu tenang saja, ayahku akan bantu pengobatan Liya. Ibu Sandra sebaiknya tenang saja kalau persoalan biaya rumah sakitnya.”
Pendengaranku terbangun dan sadar. Sepenggal percakapan ibu dengan seseorang terdengar olehku. Saya tidak tahu ibu sedang bercakap dengan siapa. Yang kutahu pembahasannya itu tentangku. Saya belum mau membuka mataku, biar saja saya mendengarnya secara diam-diam.
“Liya, maaf baru bisa menjenguk kamu.” Suaranya seperti tidak asing. Yah, saya mengenali dialek itu. Tapi, karena sudah setahun tidak mendengar suaranya, saya menjadi ragu.
“Lika, sejak kapan kamu disini? Saya sangat rindu denganmu. Saya kira kamu sudah lupa kepadaku.” Saya terbangun ketika sadar bahwa orang yang dari tadi berbincang dengan ibuku adalah Alika. Sahabatku yang sudah lama kurindukan.
“Kamu ini sedang sakit tapi tetap saja cerewet.” Alika langsung memelukku meskipun ia harus membungkuk karena saya dalam keadaan terbaring.
“Bagaimana dengan kuliahmu, ka? Tinggal di Bandung menyenangkan ya?”
“Nah, saya justru mau menanyakan pertanyaan yang sama kepadamu. Kamu merantau di luar negeri tidak bilang-bilang.” Alika tidak langsung menjawab pertanyaanku.
Sebenarnya bukan tidak ada niat ingin berbagi informasi, tetapi memang Alika tidak pernah menanyakan tentang diriku. Tapi, lupakan saja hal itu. Saat ini yang terpenting adalah dia berada di sampingku, bahkan dia ingin membantu pengobatanku meskipun saya belum meminta bantuan darinya. Tanpa kuketahui, ibu sudah terlebih dulu mengabari Alika tentang keadaanku sebelum saya menghubunginya. Jadi, orang yang mau Alika temui di rumah sakit itu ternyata diriku. Saya sangat haru mengetahuinya.
Selama tiga hari, Alika terus datang menjengukku. Dia menjagaku sepanjang hari di rumah sakit. Ibu sepertinya sedang sibuk mengurus sesuatu hingga saya jarang melihat beliau di sampingku. Beberapa hari ini ada Alika yang mengganti jadwal jaga ibu. Namun, saya mulai merasa ada yang aneh. Perasaanku terus saja menggebu-gebu. Saya selalu saja kepikiran dengan ibu.
“Ibu, kenapa jarang temani saya di sini?” Kali ini saya ditemani Lika dan ibu. Akhirnya ibu kembali menjagaku.
“Maaf, nak.” Ibu hanya memohon maaf, kulihat kulitnya begitu kering, warna kulitnya tak lagi cerah, bibirnya mengelupas.
“Apa ibu sakit?” Saya sangat khawatir terhadap ibuku.
Hidupku sungguh sangat malang. Walaupun begitu, saya harus bersyukur masih dapat hidup hingga detik ini setelah nyawaku hampir berjumpa dengan maut. Bahkan, saya bisa sembuh sebelum kembali ke Adelaide. Saya telah menang melawan penyakit turunan itu. Namun, kini saya hidup sebatang kara. Setelah perceraian orangtuaku, saya tidak tahu ayahku kini dimana. Ada yang bilang dia sudah menikah lagi. Saya sudah tidak peduli dengan seorang ayah yang penghianat. Hidupku benar-benar dalam kesendirian.  
Beberapa jam tadi, jasad ibuku sudah berada di liang lahat. Jumat pagi, ibuku menghembuskan napas terakhirnya. Sungguh tak ada yang mengetahui takdir sang Ilahi. Ibu yang selalu tampak sehat dan kuat ternyata mengidap penyakit yang cukup ganas. Penyakit yang ia alami sama dengan penyakit yang sempat kuderita, tetapi jenis thalasemia yang ia terima lebih parah daripadaku. Thalasemia adalah jenis penyakit kelainan darah yang disebabkan kurangnya jumlah hemoglobin. Ibuku penderita thalasemia beta mayor yang harus melakukan transfusi darah seumur hidup, namun saat saya di Adelaide ia melakukan transfusi darah hanya selama seminggu. Di luar dari yang kuketahui, ibuku pernah dirawat di rumah sakit. Ibu terus mengkhawatirkan kondisiku padahal selama ini dia memendam rasa sakit yang begitu parah. Dia membiarkan thalasemia itu menguasai tubuhnya hingga menghancurkan seluruh fungsi organ tubuhnya.
Selama saya tidak di Indonesia, ibuku kerja di butik milik keluarga Alika. Ternyata selama ini keluarga Alika sudah membantu banyak hal, mereka memberikan bantuan kepada ibu selama ia sakit, pengobatanku juga ditanggung oleh keluarga Alika. Meskipun Alika sibuk dengan urusannya di Bandung, ternyata keluarganya terus memberi bantuan kepada ibu. Pantas saja ibu terus mengirimiku uang yang cukup banyak, ternyata uang itu adalah hasil kerja kerasnya di butik.
Hidupku bertransformasi menjadi bagian dari keluarga yang memiliki kedudukan dan kehormatan yang tinggi. Semenjak kepergian ibu, tante Linda dan om Rio mengambil hak asuh terhadap diriku. Sekarang Alika sudah kembali padaku, dia menjadi saudaraku yang sesungguhnya. Meskipun tidak sedarah dan tidak sekandung, tetapi ikatan batin kita sudah begitu kuat. Om Rio dan tante Linda kini punya dua anak yaitu Liya dan Lika. Akhirnya, harapanku untuk dapat berkunjung lagi ke rumah Lika itu terwujud. Menginap di rumah Lika saat itu ternyata bukan menjadi yang terakhir kalinya. Kini rumah megah itu menjadi istanaku juga.
Saya kembali ke Adelaide memulai perkuliahan musim ketiga. Saya harus meneruskan cita-citaku agar membuat almarhumah ibu bangga kepadaku. Alika juga terbang kembali ke Bandung melanjutkan kuliah kedokterannya. Alika sudah tidak seperti dulu lagi, dia sudah tidak egois, dia sudah mulai sering menanyakan tentang diriku. Dia menjadi adik yang sangat baik bagiku. Kami saling menemani dan membantu. Kami berjanji akan saling menjaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS