Pages

Ketika buku dianggap ancaman bangsa, apakah pembaca adalah generasi yang berbahaya?

Rabu, 22 April 2020

Suatu hari saya merencanakan sebuah tulisan berisi cerita perayaan kegagalan tetapi saya menunggu ketika saya sudah memenuhi pencapaian kesuksesanku dan sebuah tulisan tentang pentingnya membaca ketika saya sudah merasa sebagai pembaca yang royal dan intelektual. Namun, menunggu dua waktu itu sepertinya sangat tak gamblang, sama saja halnya saya berjanji palsu.

Hari itu saya sedang menikmati waktu kesendirianku dengan menyisir pinggiran kota resik di tanah sunda, seperti biasa, tas bahu kanvasku tak pernah tanpa sebuah buku, entah akan dibaca atau tidak, saya tetap saja membawanya, cukup untuk membuat beban tas tampak berisi. Namun, buku yang terbawa saat itu bukanlah buku yang cukup keren untuk tampil di insta story, lembarannya tidak ada visual dan font kekinian seperti buku kumpulan kutipan yang berharga ratusan ribu, buku yang ikut denganku ini juga bukan buku dari penulis yang digemari oleh banyak librarian kritis, tetapi buku ini ditulis dari penulis yang selalu kukagumi karyanya. Namun, semenjak hadir dari sebuah festival penulis skala internasional yang mengumpulkan banyak pecinta buku dan penulis kondang, setelah turut berada di tengah-tengah obrolan isi buku, saya jadi tersudutkan sebagai orang yang lebih banyak membaca buku Tere Liye daripada buku-buku Maman Suherman. Bahkan tampaknya saya belum termasuk pecinta literasi yang baik karena belum menghabiskan karya Pram.

Dari situ, saya menyadari bahwa ada sebagian kelompok yang gemar membandingkan selera bacaan, yang tak tanggung-tanggung merendahkan minat baca orang-orang yang hanya bisa menjangkau buku-buku di papan paling laris toko buku atau buku-buku dari penulis yang dipaksa menulis.

Pagi ini, tiga belas april hari ini, penulis buku kompak berkicau dengan topik yang sama, bukan lagi tentang semaraknya pengedaran buku digital tak resmi. Tentang sejumlah buku yang menjadi sitaan barang bukti terkait dugaan vandalisme. Saya tidak paham bagaimana sebuah prosedur penyitaan barang bukti kejahatan, apakah semua yang ada di sekitar tersangka otomatis terangkut di kotak aparat keamanan atau melihat sampul dan judul buku yang diduga memuat kebencian dan ide-ide perlawanan?

Ada buku dari Mark Manson dan buku dari Tere Liye.

Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat adalah buku terjemahan yang isinya tidak seperti buku pengembangan diri pada umumnya, buku ini hanyalah buku yang membantu sebagian orang untuk terlepas dari lingkaran tekanan kehidupan yang membuat kita terlalu memikirkan banyak hal yang tidak perlu dipikirkan--hanyalah tentang bagaimana kita bisa bahagia dengan tanpa cara-cara seperti orang kebanyakan. Tidak ada unsur berbahaya untuk membentuk pemikiran sebagai pemberontak.

Negeri Para Bedebah adalah buku fiksi yang menceritakan aksi Thomas sebagai konsultan ekonomi kelas dunia yang hendak menyelamatkan Bank Semesta milik keluarganya yang sedang di ujung tanduk. Dari buku ini hanya mengisahkan berbagai kebusukan yang ada di negeri kita, mulai dari upaya pemerintah dalam menyelamatkan bank swasta, penyumpalan mulut para bedebah di kepolisian, melobi petinggi partai, dan sejumlah kenyataan tak mengenakan di tingkat pemerintahan. Ini fiktif, bisa banyak sangkalannya. Isi mengenai pemberontakan kelompok tidak dipercontohkan dari bukunya. Tidak ada upaya doktrin gawat apapun. 

Dari pemberitaan tadi pagi, saya cukup menyadari bahwa sangat tidak pantas untuk me-level-kan selera bacaan. Banyak yang jadi penasaran dengan buku Tere Liye ini untuk memastikan tingkat bahayanya. Meskipun kebanyakan buku Tere Liye tidak mengurai keorisinal idenya, kebanyakan bersumber dari inspirasi film tetapi membaca buku-buku Tere Liye bukanlah suatu dosa hingga menjadi pembaca yang kurang lebar jendela dunianya. Kalau semua buku bisa berbahaya, maka tidak ada buku yang tidak pantas menjadi bacaan pilihan.

Kita belum tahu bagaimana prosedur penyitaan barang bukti oleh aparat tetapi warganet sudah ramai-ramai berasumsi bahwa pejabat dan petinggi tampak minim minat baca. Benarkah Indonesia darurat literasi?

Tahun 2016, salah satu survei tingkat dunia pernah memosisikan Indonesia sebagai negara ke-60 dari 61 negara perihal minat baca. Kemudian, sekitar awal tahun 2019 di panggung eksibisi para insan kreatif dan pengusaha muda, salah satu pembicara Najwa shihab menyuarakan ketidakyakinannya bahwa Indonesia adalah negara yang minat bacanya rendah, katanya hal ini hanyalah minimnya fasilitas untuk menggugah selera baca buku masyarakat. Sebagian banyak yang setuju, tetapi saya memilih netral karena sadar bahwa upaya pemerintah sebenarnya sudah cukup progresif untuk mendorong literasi baca Indonesia. Saya masih vokal bahwa urusan minat baca adalah masalah internal individu.

Sebagai guru bahasa Indonesia, saya memiliki kewajiban dalam menjamin peningkatan minat baca siswa melalui pelajaran Bahasa Indonesia. Perangkat pembelajaran yang kusiapkan pun harus mengalokasikan waktu literasi baca yang efektif di awal atau tengah proses pembelajaran. Metode literasi baca di kelas pun kubentuk dengan caraku sendiri.

Dalam kegiatan pendahuluan pembelajaran saya memanfaatkan tahap motivasi dan refleksi untuk mendorong siswa agar terus menumbuhkan rasa ingin tahu dengan hobi membaca. Saya selalu mengenalkan mereka sumber-sumber bacaan yang tidak hanya berhadapan dengan lembaran buku. Saya selalu menggiring mereka untuk bisa mengulas bacaan. Hingga kesepakatan kami buat tanpa ada paksaan agar mereka bisa membawa 2 jenis buku di tiap 2 pekan. Satu buku fiksi dan satu buku nonfiksi. Buku yang dibawa bebas, mau itu milik sendiri atau pinjaman. 

Saya tidak pernah menekankan keharusan membeli buku untuk dibawa ke sekolah. Untuk genre pun saya memberi kebebasan, beberapa membawa buku yang berjenis romantika. Tidak masalah. Nanti bukunya diulas bersama-sama lalu digarisbawahi potongan mana yang masih sensitif untuk mereka tahu. Dua pekan berjalan sebagaimana mestinya, saya mulai senang melihat semangat tinggi mereka untuk kegiatan literasi baca di kelas. Antusiasnya sangat membara membawa berbagai bacaan, ada yang bukunya masih wangi dengan aroma toko, ada yang merupakan koleksi lama yang kelihatan dari lembaran yang melusuh dan bau endapan lembab. Mereka bertukar bacaan, saling meminjami. 

Namun, ada salah satu orang tua murid yang mengajukan pertanyaan memuat protes ke petinggi sekolah hingga menimbulkan semrawut dan isu-isu bertentangan fakta menyerbak seluruh isi sekolah.

Tentang orang tua murid yang belum sadar namanya sumber belajar, yang masih lebih mengategorikan paket data internet sebagai urgensi kebutuhan daripada membeli buku bacaan. Tentang sejumlah guru dan petinggi sekolah yang mengharamkan kata beli buku kepada siswa.

Saya dianggap salah mengeluarkan kata "beli buku" padahal itu adalah opsi terakhir untuk siswa yang mengaku tak ada sama sekali buku yang bisa ia bawa dari rumahnya atau ia pinjam dari orang sekitarnya. Katanya lebih baik saya mengarahkan mereka untuk "berusaha mencari" daripada "berusaha membeli", hingga usulan kejahatan kriminal pembajakan mulai dilayangkan.

Dari kasus yang pernah saya lalui itu membuka mataku selebar mungkin bahwa lingkup kelembagaan pendidikan pun masih memanjakan mental baca penerus bangsa. Masih jauh dari tegas bahwa buku adalah jendela dunia. Masih belum koperatif untuk meningkatkan minat baca.

Di luar dari buku bisa pinjam di mana saja, buku bisa diperoleh dari mana saja, tetap tidak pernah ada salah jika saya meminta mereka membeli buku sejauh buku itu bukan saya yang jual dan bukan untuk saya koleksi pribadi. 

Jika sedari dini siswa-siswa tidak diberi kebiasaan untuk membeli buku, maka tindakan penyebarluasan buku ilegal terus menyeruak atau justru tidak pernah tumbuh dengan pesat yang namanya gemar membaca.

Pernah saya mendapat tamparan dari senior bahwa jika kamu mengaku gemar membaca, buku akan lebih mudah kamu beli daripada makanan. Jika kamu sadar pentingnya ilmu pengetahuan, satu sumber buku bacaan pun tak pernah cukup.

Tulisan ini adalah bukti versi saya bahwa banyak masalah yang berkaitan dengan sebuah buku.

Saya harap kita semua selalu diberi kemudahan untuk mangekses dan menerapkan ilmu.

Selayaknya dan Sepantasnya: Gengsi dan Tradisi

Rabu, 15 Januari 2020

Tulisan ini bagian dari tulisan harian yang rutin kubagikan di sebuah platform sebelah. Topik kali ini adalah pembahasan yang sudah lama sekali ingin kudiskusikan meskipun hanya diri sendiri yang menjadi lawan bicara. Tulisan ini bukan seperti tulisan para pengamat budaya atau seperti buah pikiran dari seorang konsultan adat. Ini hanyalah uraian cerita setelah lelah beraktivitas yang sudah biasa untuk menuang penat dalam tulisan. Tetapi, isi tulisan ini bukan curahan seorang pekerja yang ingin berbagi keluh atas rutinitas seharian ini. Ini adalah medium yang sedianya diandalkan untuk menjadi tempat berbagi isi pikiran, pikiran yang sudah meluap ingin terurai. Lagi, yang menang untuk dibahas kali ini adalah bukan perihal suka duka berkarir. Pernikahan menjadi pemenang topik untuk hari ini.

Aku sangat ragu dan sangat miskin kata untuk membahas ini karena tahu akan banyak protes dan komentar sensitif atas perbedaan pendapat dari masalah yang ingin kuangkat. Mohon agar sama-sama saling terbuka dan sama-sama menyamakan pendapat, berkenan memberi nasehat, serta berlapang meluruskan kekeliruan terkait fakta dan opini yang akan turut tersajikan.

Sebelum memutuskan dengan percaya diri menuliskan ini, aku diingatkan beberapa unggahan dari teman-teman di media sosial pada satu tahun kemarin. 

Tahun 2019 kemarin, masyarakat sempat dihebohkan oleh beberapa pernikahan mewah dari kalangan ningrat pun selebriti. Tak kalah membuat heboh, pernikahan yang sangat tidak lazim juga banyak mengundang perhatian. Seperti mahar yang hanya sendal jepit hingga sepasang penulis yang melangsungkan akad pernikahan hanya di KUA.

Sedikit mengundang tanya untuk diriku sendiri pada alasan-alasan beberapa orang yang membagikan kembali berita-berita pernikahan yang bersinggungan dengan mahar. Adakah maksud mereka untuk menyindir atau memberi kode pada pasangan atau calon teman hidupnya?

Ketika kabar seorang wanita diberi mahar dan -panaik- yang isinya sampai milyaran rupiah, kemudian para wanita berbaris membagikan berita tak penting itu yang sadar atau tidak sadar membuat sebagian laki-laki mendapat tekanan baru. Sepeleh memang, tetapi tak sedikit teman-teman kaum adam yang merasa risih dan resah jika berhadapan dengan persoalan pernikahan. Yang sebelumnya sudah siap untuk meminang kekasihnya malah diurungkan karena bayangan hitam mahar yang terus memberatkan punggung. Berita seperti ini sungguh menambah standar pernikahan di Indonesia semakin rumit dan jauh dari esensi pernikahan itu sendiri. 

Lalu, para lelaki di luar sana pun tak mau kalah memberi kode para wanita itu untuk berkenan meringankan sekelumit syarat pernikahan. Mereka turut menyerang dengan membagikan pemberitaan seorang pria yang berhasil meminang seorang gadis cantik hanya dengan sepasang sendal jepit. Sungguh lelucon yang tidak sedikit pun menggelitik. Ada apa dengan para pria yang menyerah sebelum berjuang, ada apa dengan para bujangan yang menuntut keringanan padahal belum beradu kemampuan, ada apa dengan para jejaka yang merendah dengan meminta kerendahan mahar padahal kemampuan yang dimilikinya belum ia sadari atau tidak ingin ia akui.

Titik berat pembahasanku kali ini mengarah pada persoalan 'selayaknya dan sepantasnya'. Aku tak berani memberi ruang banyak untuk membahas sebuah tradisi pun aturan dalam agama.

Aku mengakui bahwa makin ke sini segala rangkaian pernikahan di Indonesia semakin menunjukkan kerumitan yang tak terkira. Bersanding dengan gaya hidup modern tidak membuat masyarakat melupakan tradisi, lucunya hanya tradisi pernikahan yang kebanyakan diagungkan, tradisi perihal tatanan budaya yang lebih aplikatif untuk urusan kemanusiaan malah terkubur oleh pengabaian semua umat. Semakin banyak orang yang membuat ribet prosesi pernikahan, makin banyak pula yang membuat prosesi pernikahan semakin disepelehkan. 

Mewah atau sederhananya perhelatan pernikahan masih tidak menjamin bahwa kedua mempelai mampu mempertanggungjawabkan segala unsur yang terkandung dalam sebuah pernikahan.

Yang mengadakan pesta pernikahan cukup meriah dianggap hanya ingin memuaskan kebahagiaan tetamu sedang ia dianggap merugikan diri atas nominal anggaran biaya seremoni. Yang memilih menikah hanya di Kantor Urusan Agama dan cukup dihadiri oleh keluarga dianggap kurang mensyukuri sebuah agenda penting yang digadang-gadang hanya terjadi sekali seumur hidup. 
Untuk masalah ini, memang kebanyakan hanya bisa mengukur kebahagiaan orang lain. Mengukur selera orang lain yang hanya dapat ia tebak dengan segala keterbatasan pengetahuannya. 
Untuk masalah ini memang sedikit sensitif karena dapat mengundang kompetisi antara masyarakat yang masing-masing memiliki konsep sendiri terkait pernikahan yang diimpikan. Apapun pilihannya, semua kembali pada urusan selera. Terpenting adalah kita tidak mengabaikan bahwa di atas segala bentuk perayaan pernikahan yang tertinggi untuk digapai bukan hanya pernyataan SAH tetapi mengejar berkah dan rida Ilahi. Mewah dan Sederhana sama sekali tidak memberi jaminan bahwa yang kita jalani akan seratus persen mendapat berkah Tuhan. Jadi, mulai dari sekarang mari untuk tidak mengukur apapun bentuk pernikahan orang lain. Cukup memberi doa dan harapan segala kebaikan untuk yang melangsungkan pernikahan.

Dari sudut pandangku sendiri, aku tentu tidak terlalu mengagungkan sebuah pernikahan yang diadakan di ruang konvensi hotel berbintang. Juga tidak yakin akan cukup bahagia jika hanya menikah di KUA. 

Aku tidak berani mengatakan bahwa gengsi akan dikesampingkan atau tradisi akan kuhilangkan. Tentu aku juga memiliki tipikal pernikahan yang bisa membuatku bahagia dan tidak menyisakan utang-piutang setelah berlangsungnya acara.

Sepuluh Januari kemarin, seseorang yang kukenal akhirnya sedikit mematahkan tradisi yang sangat kebal untuk ditaklukan. Ia adalah seorang wanita dari keluarga terpandang. Keturunan keluarga yang sangat bersahaja dari segi akademis, kultur, bahkan agama. Akhirnya melepas masa lajang setelah seorang pria idaman berhasil mendapat restu dari walinya. Ia melalui banyak ujian untuk memenuhi segala syarat pernikahan hingga akhirnya mampu memberi mahar yang benar-benar memenuhi definisi selayaknya dan sepantasnya. Ia berani memberi mahar ayat suci quran tetapi tak lupa memberi harta investasi sebagai pendamping dari mahar wajib yakni setelan perhiasan emas dan perangkat alat salat. Prosesi pernikahan dan perhelatannya cukup sederhana dari kacamata penilaianku karena tahu bahwa ia bisa saja mengadakan acara yang jauh lebih mewah dan meriah. Aku tidak melihat ada pihak yang memberatkan, tidak juga melupakan adat sebagai bumbu prosesi, bahkan tak mengesampingkan kesakralan akad dari segi agama.

Melalui goresan hasil pikiran ini, aku menyampaikan bahwa pernikahan tidak selalu tentang pemenuhan gengsi apalagi pelaksanaan tradisi. Melangsungkan pernikahan adalah bagian dari ibadah yang tentu kekhusyukan adalah pengharapan yang utama dan rida ilahi adalah tujuannya. Menikah tidak bermuara sampai lantangan ijab qabul dan ketegasan pernyataan sah dari wali, menikah adalah tanda dimulainya sebuah kehidupan yang baru.

Menikah juga bukan sebuah kompetisi, bukan untuk menunjukkan siapa yang cepat bahkan bukan tentang siapa yang menikah dengan segala kemegahan acara. Menikah tidak sesederhana itu juga dengan omong kosong 'asal SAH', mahar yang sederhana juga tidak hanya berupa 'asal ada' tetapi merupakan harta terbaik yang dimiliki dan diandalkan seorang pria.

Sebelum keras berpikir tentang pernikahan, semoga di antara kami ini tidak ada yang menganggap bahwa hidup hanya tentang menikah saja. Pembahasan ini cukup ringan bagi yang ingin sedikit meluangkan waktu untuk mengobrol soal masa depan.

Mari memilih pilihan hati karena semata-mata ingin mengajaknya untuk beribadah bersama, sama-sama ingin membangun bahtera rumah tangga di atas syariat agama, bersama ingin meraih surga yang telah dijanjikan Allah, benar-benar yang mampu menyempurnakan agama.

Memilih menggunakan high heels atau sneakers ketika hari akad pernikahan, itu adalah pilihan. Memilih menggunakan pakaian adat atau gaun putih yang elegan itu juga pilihan. Terpenting tidak ada maksud untuk berunjuk diri siapa yang lebih baik dalam merayakan pernikahan.

Jika kamu merasa sia-sia sudah membaca tulisan tidak penting ini, setidaknya marah-marahmu bisa lebih bermanfaat jika menaruh saran dan tambahan poin yang juga kamu anggap penting untuk diangkat.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS