Pages

Penyesalan terbesarku.

Selasa, 14 Juni 2016

Langsung saja, penyesalan terbesarku adalah pernah terpanah oleh iblis untuk memiliki perasaan terhadap seorang laki-laki pada 3 tahun yang lalu.

Saya sangat menyesal jatuh hati pada seseorang yang kejam itu, saya sangat menyesal menyepakati hubungan yang rumit ini, saya sungguh menyesal bertahan.

Dia memisahkanku dengan sahabat-sahabatku secara terpaksa, dia pernah merusak hubunganku dgn orgtuaku, dia pernah membuatku menjauh dari guru-guruku, dia sering mencaci-maki diriku tiap kali berbuat salah sedikit, dia pernah menampar-nampar pipiku, dia pernah memukuliku, dia pernah membentak-bentakku di depan umum, dia pernah memukul kepalaku, dia pernah sengaja membiarkanku kehujanan agar aku sakit, dia pernah memfitnahku, dia selalu mengancam keselamatanku jika aku tak mengikuti kemaunnya, dia selalu ingin membunuhku dan melukai orang-orang di sekitarku kalau ada yang aku lakukan tak sesuai dengan keinginannya, dia selalu memaksaku mengikuti maunya, dia melarangku berorganisasi, dia melarangku dekat dengan laki-laki lain bahkan sekalipun itu sepupuku, dia sangat melarangku kemana-mana meski itu hanya ke rumah saudara, melarangku bermudik, dan banyak hal tak wajar yang dia lakukan ke saya.

Katanya aku ini tak pernah berjuang untuk dirinya. Katanya aku ini tidak menganggapnya istimewa. Katanya aku ini tak pernah ada kalau dia lagi butuh. Katanya aku ini lebih sayang keluarga drpd dia. Katanya aku ini egois tak pernah memikirkan perasaan cowo itu.

menurut Anda, siapakah yang berjuang? Bukankah saya yang harus berjuang menahan rasa sakit itu?

Dia merasa 'berjuang' karena dia selalu mengajakku makan ini itu.  Padahal apa? Makanan itu tak membuatku kenyang sekenyang hatiku yang makan semua kepedihan dari dia. Dia merasa banyak berjuang karena selalu mengeluarkan uang banyak untukku. Padahal kenyatannya aku tak pernah meminta semua itu, dia saja yang selalu memaksaku menerima kebaikannya.

Aku tidak tahu kepada siapa aku harus mengadu, aku tidak tahu siapa yang akan menolongku.

Aku selalu ingin lepas dari penjaranya, aku selalu ingin berada di jalan Allah yang benar. Namun, aku belum punya keberanian. Sesekali aku meminta putus, dia lagi-lagi mengancamku. Aku tidak tahu siapakah sosok yang akan menolongku dari dia. Aku terlalu hina untuk meminta bantuan orang lain. Pastilah jika saya mengatakan semua ini ke orang lain, mereka terlebih dahulu mencacimaki lalu entah kapan ingin menolong.

Di sisi lain, saya punya harapan bahwa Allah pasti memberiku jodoh yang sesuai denganku. Namun, terkadang saya pasrah menerima takdir jika memang seumur hidupku saya harus disiksa lahir batin oleh dia.

Saya berharap agar dia diberi hidayah bahwa tak sepatutnya kau memperlakukanku seperti itu.

Tolong aku, kawan!

Lagi, dia menghambat langkahku...

Senin, 13 Juni 2016

Kali ini saya ingin bercerita tentang kenyataan bahwa dibalik tawa itu ada tangis yang ingin mencair.

Hari ini saya sempat tertawa hingga lupa bahwa ada malaikat pencabut nyawa mengawasiku.

Benar, mengapa saya sebahak itu tertawa padahal nyawaku bisa saja tak di ragaku seketika itu.

Sempat tertawa hanya berlangsung beberapa menit.

Hari ini pula ada seseorang yang terus mengancam keselamatanku bahkan kedamaian keluargaku dan orang-orang di sekitarku. Dia terus menekanku untuk tidak mengambil kesempatan itu. Dia benar-benar tidak ingin melihatku bahagia. Nyatanya, ini bukan yang kali pertama. Sebelumnya dia sempat sengaja membuatku hampir mati hanya karena melarangku ikut sebuah program wirausaha.

Kepada siapa saya harus bercurah?

Hanya melalui ini saya menoreh kesedihan yang mendalam. Memang bukan tentang kedukaan ditinggal oleh keluarga selama-lamanya. Tetapi, ini tentang ancaman yang mengoyak hati. Sekali napas berhembus, saat itu pula mata menguras air untuk mengalir pada permukaan pipi.

Sejak kemarin hingga hari ini, dia terus membayangiku kehancuran sebagai dampak jika saya memutuskan untuk mengikuti program yang hendak membawaku pada tanah perantauan. Itu mimpiku, namun dia berusaha tegas menghalangiku. Dia mengamuk, emosinya berkecamuk. Bahkan hampir menghantamku dengan pukulan tragis.

Berkali-kali aku minta petunjuk kepada sang Ilahi, namun apa daya bukannya ingin bersuudzon terhadap-Nya saya merasa iman dan pahala saya sangat minim hingga sulit menemukan petunjuk jalan dari-Nya.

Nasibku lebih terasa menderita dibanding mereka yang berada dibalik jeruji besi, atau mereka yang terpasung. Kakiku seperti diikat oleh besi, tanganku seperti dipelintir, hati ini seperti ditekan keras. Mimpi itu akhirnya terus menjadi mimpi karena ketakutanku akan ancamannya.

Mungkin ada yang bilang 'mengapa saya harus takut, padahal dia bukan orangtuaku bahkan bukan Tuhanku?' Yah, benar. Tapi, saya mengkhawatirkan dia. Jadi, niatan untuk belajar di luar kota harus saya urung kembali.

Berkat dia, saya menjadi tak punya harapan untuk hidup.

Sialnya, saya kecolongan. Mamaku membaca sms kasar dari dia. Bertambahlah kesedihanku hari ini.

Saya serasa ingin lari dari kehidupan yang kelam ini. Berharap untuk bebas dari dia pun saya takut.

Ya Allah, jikalau saya tiada. Sampaikanlah maafku kepada orangtuaku karena telah memenjarakan diriku dari dia.

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS