Pages

Ketika buku dianggap ancaman bangsa, apakah pembaca adalah generasi yang berbahaya?

Rabu, 22 April 2020

Suatu hari saya merencanakan sebuah tulisan berisi cerita perayaan kegagalan tetapi saya menunggu ketika saya sudah memenuhi pencapaian kesuksesanku dan sebuah tulisan tentang pentingnya membaca ketika saya sudah merasa sebagai pembaca yang royal dan intelektual. Namun, menunggu dua waktu itu sepertinya sangat tak gamblang, sama saja halnya saya berjanji palsu.

Hari itu saya sedang menikmati waktu kesendirianku dengan menyisir pinggiran kota resik di tanah sunda, seperti biasa, tas bahu kanvasku tak pernah tanpa sebuah buku, entah akan dibaca atau tidak, saya tetap saja membawanya, cukup untuk membuat beban tas tampak berisi. Namun, buku yang terbawa saat itu bukanlah buku yang cukup keren untuk tampil di insta story, lembarannya tidak ada visual dan font kekinian seperti buku kumpulan kutipan yang berharga ratusan ribu, buku yang ikut denganku ini juga bukan buku dari penulis yang digemari oleh banyak librarian kritis, tetapi buku ini ditulis dari penulis yang selalu kukagumi karyanya. Namun, semenjak hadir dari sebuah festival penulis skala internasional yang mengumpulkan banyak pecinta buku dan penulis kondang, setelah turut berada di tengah-tengah obrolan isi buku, saya jadi tersudutkan sebagai orang yang lebih banyak membaca buku Tere Liye daripada buku-buku Maman Suherman. Bahkan tampaknya saya belum termasuk pecinta literasi yang baik karena belum menghabiskan karya Pram.

Dari situ, saya menyadari bahwa ada sebagian kelompok yang gemar membandingkan selera bacaan, yang tak tanggung-tanggung merendahkan minat baca orang-orang yang hanya bisa menjangkau buku-buku di papan paling laris toko buku atau buku-buku dari penulis yang dipaksa menulis.

Pagi ini, tiga belas april hari ini, penulis buku kompak berkicau dengan topik yang sama, bukan lagi tentang semaraknya pengedaran buku digital tak resmi. Tentang sejumlah buku yang menjadi sitaan barang bukti terkait dugaan vandalisme. Saya tidak paham bagaimana sebuah prosedur penyitaan barang bukti kejahatan, apakah semua yang ada di sekitar tersangka otomatis terangkut di kotak aparat keamanan atau melihat sampul dan judul buku yang diduga memuat kebencian dan ide-ide perlawanan?

Ada buku dari Mark Manson dan buku dari Tere Liye.

Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat adalah buku terjemahan yang isinya tidak seperti buku pengembangan diri pada umumnya, buku ini hanyalah buku yang membantu sebagian orang untuk terlepas dari lingkaran tekanan kehidupan yang membuat kita terlalu memikirkan banyak hal yang tidak perlu dipikirkan--hanyalah tentang bagaimana kita bisa bahagia dengan tanpa cara-cara seperti orang kebanyakan. Tidak ada unsur berbahaya untuk membentuk pemikiran sebagai pemberontak.

Negeri Para Bedebah adalah buku fiksi yang menceritakan aksi Thomas sebagai konsultan ekonomi kelas dunia yang hendak menyelamatkan Bank Semesta milik keluarganya yang sedang di ujung tanduk. Dari buku ini hanya mengisahkan berbagai kebusukan yang ada di negeri kita, mulai dari upaya pemerintah dalam menyelamatkan bank swasta, penyumpalan mulut para bedebah di kepolisian, melobi petinggi partai, dan sejumlah kenyataan tak mengenakan di tingkat pemerintahan. Ini fiktif, bisa banyak sangkalannya. Isi mengenai pemberontakan kelompok tidak dipercontohkan dari bukunya. Tidak ada upaya doktrin gawat apapun. 

Dari pemberitaan tadi pagi, saya cukup menyadari bahwa sangat tidak pantas untuk me-level-kan selera bacaan. Banyak yang jadi penasaran dengan buku Tere Liye ini untuk memastikan tingkat bahayanya. Meskipun kebanyakan buku Tere Liye tidak mengurai keorisinal idenya, kebanyakan bersumber dari inspirasi film tetapi membaca buku-buku Tere Liye bukanlah suatu dosa hingga menjadi pembaca yang kurang lebar jendela dunianya. Kalau semua buku bisa berbahaya, maka tidak ada buku yang tidak pantas menjadi bacaan pilihan.

Kita belum tahu bagaimana prosedur penyitaan barang bukti oleh aparat tetapi warganet sudah ramai-ramai berasumsi bahwa pejabat dan petinggi tampak minim minat baca. Benarkah Indonesia darurat literasi?

Tahun 2016, salah satu survei tingkat dunia pernah memosisikan Indonesia sebagai negara ke-60 dari 61 negara perihal minat baca. Kemudian, sekitar awal tahun 2019 di panggung eksibisi para insan kreatif dan pengusaha muda, salah satu pembicara Najwa shihab menyuarakan ketidakyakinannya bahwa Indonesia adalah negara yang minat bacanya rendah, katanya hal ini hanyalah minimnya fasilitas untuk menggugah selera baca buku masyarakat. Sebagian banyak yang setuju, tetapi saya memilih netral karena sadar bahwa upaya pemerintah sebenarnya sudah cukup progresif untuk mendorong literasi baca Indonesia. Saya masih vokal bahwa urusan minat baca adalah masalah internal individu.

Sebagai guru bahasa Indonesia, saya memiliki kewajiban dalam menjamin peningkatan minat baca siswa melalui pelajaran Bahasa Indonesia. Perangkat pembelajaran yang kusiapkan pun harus mengalokasikan waktu literasi baca yang efektif di awal atau tengah proses pembelajaran. Metode literasi baca di kelas pun kubentuk dengan caraku sendiri.

Dalam kegiatan pendahuluan pembelajaran saya memanfaatkan tahap motivasi dan refleksi untuk mendorong siswa agar terus menumbuhkan rasa ingin tahu dengan hobi membaca. Saya selalu mengenalkan mereka sumber-sumber bacaan yang tidak hanya berhadapan dengan lembaran buku. Saya selalu menggiring mereka untuk bisa mengulas bacaan. Hingga kesepakatan kami buat tanpa ada paksaan agar mereka bisa membawa 2 jenis buku di tiap 2 pekan. Satu buku fiksi dan satu buku nonfiksi. Buku yang dibawa bebas, mau itu milik sendiri atau pinjaman. 

Saya tidak pernah menekankan keharusan membeli buku untuk dibawa ke sekolah. Untuk genre pun saya memberi kebebasan, beberapa membawa buku yang berjenis romantika. Tidak masalah. Nanti bukunya diulas bersama-sama lalu digarisbawahi potongan mana yang masih sensitif untuk mereka tahu. Dua pekan berjalan sebagaimana mestinya, saya mulai senang melihat semangat tinggi mereka untuk kegiatan literasi baca di kelas. Antusiasnya sangat membara membawa berbagai bacaan, ada yang bukunya masih wangi dengan aroma toko, ada yang merupakan koleksi lama yang kelihatan dari lembaran yang melusuh dan bau endapan lembab. Mereka bertukar bacaan, saling meminjami. 

Namun, ada salah satu orang tua murid yang mengajukan pertanyaan memuat protes ke petinggi sekolah hingga menimbulkan semrawut dan isu-isu bertentangan fakta menyerbak seluruh isi sekolah.

Tentang orang tua murid yang belum sadar namanya sumber belajar, yang masih lebih mengategorikan paket data internet sebagai urgensi kebutuhan daripada membeli buku bacaan. Tentang sejumlah guru dan petinggi sekolah yang mengharamkan kata beli buku kepada siswa.

Saya dianggap salah mengeluarkan kata "beli buku" padahal itu adalah opsi terakhir untuk siswa yang mengaku tak ada sama sekali buku yang bisa ia bawa dari rumahnya atau ia pinjam dari orang sekitarnya. Katanya lebih baik saya mengarahkan mereka untuk "berusaha mencari" daripada "berusaha membeli", hingga usulan kejahatan kriminal pembajakan mulai dilayangkan.

Dari kasus yang pernah saya lalui itu membuka mataku selebar mungkin bahwa lingkup kelembagaan pendidikan pun masih memanjakan mental baca penerus bangsa. Masih jauh dari tegas bahwa buku adalah jendela dunia. Masih belum koperatif untuk meningkatkan minat baca.

Di luar dari buku bisa pinjam di mana saja, buku bisa diperoleh dari mana saja, tetap tidak pernah ada salah jika saya meminta mereka membeli buku sejauh buku itu bukan saya yang jual dan bukan untuk saya koleksi pribadi. 

Jika sedari dini siswa-siswa tidak diberi kebiasaan untuk membeli buku, maka tindakan penyebarluasan buku ilegal terus menyeruak atau justru tidak pernah tumbuh dengan pesat yang namanya gemar membaca.

Pernah saya mendapat tamparan dari senior bahwa jika kamu mengaku gemar membaca, buku akan lebih mudah kamu beli daripada makanan. Jika kamu sadar pentingnya ilmu pengetahuan, satu sumber buku bacaan pun tak pernah cukup.

Tulisan ini adalah bukti versi saya bahwa banyak masalah yang berkaitan dengan sebuah buku.

Saya harap kita semua selalu diberi kemudahan untuk mangekses dan menerapkan ilmu.

Selayaknya dan Sepantasnya: Gengsi dan Tradisi

Rabu, 15 Januari 2020

Tulisan ini bagian dari tulisan harian yang rutin kubagikan di sebuah platform sebelah. Topik kali ini adalah pembahasan yang sudah lama sekali ingin kudiskusikan meskipun hanya diri sendiri yang menjadi lawan bicara. Tulisan ini bukan seperti tulisan para pengamat budaya atau seperti buah pikiran dari seorang konsultan adat. Ini hanyalah uraian cerita setelah lelah beraktivitas yang sudah biasa untuk menuang penat dalam tulisan. Tetapi, isi tulisan ini bukan curahan seorang pekerja yang ingin berbagi keluh atas rutinitas seharian ini. Ini adalah medium yang sedianya diandalkan untuk menjadi tempat berbagi isi pikiran, pikiran yang sudah meluap ingin terurai. Lagi, yang menang untuk dibahas kali ini adalah bukan perihal suka duka berkarir. Pernikahan menjadi pemenang topik untuk hari ini.

Aku sangat ragu dan sangat miskin kata untuk membahas ini karena tahu akan banyak protes dan komentar sensitif atas perbedaan pendapat dari masalah yang ingin kuangkat. Mohon agar sama-sama saling terbuka dan sama-sama menyamakan pendapat, berkenan memberi nasehat, serta berlapang meluruskan kekeliruan terkait fakta dan opini yang akan turut tersajikan.

Sebelum memutuskan dengan percaya diri menuliskan ini, aku diingatkan beberapa unggahan dari teman-teman di media sosial pada satu tahun kemarin. 

Tahun 2019 kemarin, masyarakat sempat dihebohkan oleh beberapa pernikahan mewah dari kalangan ningrat pun selebriti. Tak kalah membuat heboh, pernikahan yang sangat tidak lazim juga banyak mengundang perhatian. Seperti mahar yang hanya sendal jepit hingga sepasang penulis yang melangsungkan akad pernikahan hanya di KUA.

Sedikit mengundang tanya untuk diriku sendiri pada alasan-alasan beberapa orang yang membagikan kembali berita-berita pernikahan yang bersinggungan dengan mahar. Adakah maksud mereka untuk menyindir atau memberi kode pada pasangan atau calon teman hidupnya?

Ketika kabar seorang wanita diberi mahar dan -panaik- yang isinya sampai milyaran rupiah, kemudian para wanita berbaris membagikan berita tak penting itu yang sadar atau tidak sadar membuat sebagian laki-laki mendapat tekanan baru. Sepeleh memang, tetapi tak sedikit teman-teman kaum adam yang merasa risih dan resah jika berhadapan dengan persoalan pernikahan. Yang sebelumnya sudah siap untuk meminang kekasihnya malah diurungkan karena bayangan hitam mahar yang terus memberatkan punggung. Berita seperti ini sungguh menambah standar pernikahan di Indonesia semakin rumit dan jauh dari esensi pernikahan itu sendiri. 

Lalu, para lelaki di luar sana pun tak mau kalah memberi kode para wanita itu untuk berkenan meringankan sekelumit syarat pernikahan. Mereka turut menyerang dengan membagikan pemberitaan seorang pria yang berhasil meminang seorang gadis cantik hanya dengan sepasang sendal jepit. Sungguh lelucon yang tidak sedikit pun menggelitik. Ada apa dengan para pria yang menyerah sebelum berjuang, ada apa dengan para bujangan yang menuntut keringanan padahal belum beradu kemampuan, ada apa dengan para jejaka yang merendah dengan meminta kerendahan mahar padahal kemampuan yang dimilikinya belum ia sadari atau tidak ingin ia akui.

Titik berat pembahasanku kali ini mengarah pada persoalan 'selayaknya dan sepantasnya'. Aku tak berani memberi ruang banyak untuk membahas sebuah tradisi pun aturan dalam agama.

Aku mengakui bahwa makin ke sini segala rangkaian pernikahan di Indonesia semakin menunjukkan kerumitan yang tak terkira. Bersanding dengan gaya hidup modern tidak membuat masyarakat melupakan tradisi, lucunya hanya tradisi pernikahan yang kebanyakan diagungkan, tradisi perihal tatanan budaya yang lebih aplikatif untuk urusan kemanusiaan malah terkubur oleh pengabaian semua umat. Semakin banyak orang yang membuat ribet prosesi pernikahan, makin banyak pula yang membuat prosesi pernikahan semakin disepelehkan. 

Mewah atau sederhananya perhelatan pernikahan masih tidak menjamin bahwa kedua mempelai mampu mempertanggungjawabkan segala unsur yang terkandung dalam sebuah pernikahan.

Yang mengadakan pesta pernikahan cukup meriah dianggap hanya ingin memuaskan kebahagiaan tetamu sedang ia dianggap merugikan diri atas nominal anggaran biaya seremoni. Yang memilih menikah hanya di Kantor Urusan Agama dan cukup dihadiri oleh keluarga dianggap kurang mensyukuri sebuah agenda penting yang digadang-gadang hanya terjadi sekali seumur hidup. 
Untuk masalah ini, memang kebanyakan hanya bisa mengukur kebahagiaan orang lain. Mengukur selera orang lain yang hanya dapat ia tebak dengan segala keterbatasan pengetahuannya. 
Untuk masalah ini memang sedikit sensitif karena dapat mengundang kompetisi antara masyarakat yang masing-masing memiliki konsep sendiri terkait pernikahan yang diimpikan. Apapun pilihannya, semua kembali pada urusan selera. Terpenting adalah kita tidak mengabaikan bahwa di atas segala bentuk perayaan pernikahan yang tertinggi untuk digapai bukan hanya pernyataan SAH tetapi mengejar berkah dan rida Ilahi. Mewah dan Sederhana sama sekali tidak memberi jaminan bahwa yang kita jalani akan seratus persen mendapat berkah Tuhan. Jadi, mulai dari sekarang mari untuk tidak mengukur apapun bentuk pernikahan orang lain. Cukup memberi doa dan harapan segala kebaikan untuk yang melangsungkan pernikahan.

Dari sudut pandangku sendiri, aku tentu tidak terlalu mengagungkan sebuah pernikahan yang diadakan di ruang konvensi hotel berbintang. Juga tidak yakin akan cukup bahagia jika hanya menikah di KUA. 

Aku tidak berani mengatakan bahwa gengsi akan dikesampingkan atau tradisi akan kuhilangkan. Tentu aku juga memiliki tipikal pernikahan yang bisa membuatku bahagia dan tidak menyisakan utang-piutang setelah berlangsungnya acara.

Sepuluh Januari kemarin, seseorang yang kukenal akhirnya sedikit mematahkan tradisi yang sangat kebal untuk ditaklukan. Ia adalah seorang wanita dari keluarga terpandang. Keturunan keluarga yang sangat bersahaja dari segi akademis, kultur, bahkan agama. Akhirnya melepas masa lajang setelah seorang pria idaman berhasil mendapat restu dari walinya. Ia melalui banyak ujian untuk memenuhi segala syarat pernikahan hingga akhirnya mampu memberi mahar yang benar-benar memenuhi definisi selayaknya dan sepantasnya. Ia berani memberi mahar ayat suci quran tetapi tak lupa memberi harta investasi sebagai pendamping dari mahar wajib yakni setelan perhiasan emas dan perangkat alat salat. Prosesi pernikahan dan perhelatannya cukup sederhana dari kacamata penilaianku karena tahu bahwa ia bisa saja mengadakan acara yang jauh lebih mewah dan meriah. Aku tidak melihat ada pihak yang memberatkan, tidak juga melupakan adat sebagai bumbu prosesi, bahkan tak mengesampingkan kesakralan akad dari segi agama.

Melalui goresan hasil pikiran ini, aku menyampaikan bahwa pernikahan tidak selalu tentang pemenuhan gengsi apalagi pelaksanaan tradisi. Melangsungkan pernikahan adalah bagian dari ibadah yang tentu kekhusyukan adalah pengharapan yang utama dan rida ilahi adalah tujuannya. Menikah tidak bermuara sampai lantangan ijab qabul dan ketegasan pernyataan sah dari wali, menikah adalah tanda dimulainya sebuah kehidupan yang baru.

Menikah juga bukan sebuah kompetisi, bukan untuk menunjukkan siapa yang cepat bahkan bukan tentang siapa yang menikah dengan segala kemegahan acara. Menikah tidak sesederhana itu juga dengan omong kosong 'asal SAH', mahar yang sederhana juga tidak hanya berupa 'asal ada' tetapi merupakan harta terbaik yang dimiliki dan diandalkan seorang pria.

Sebelum keras berpikir tentang pernikahan, semoga di antara kami ini tidak ada yang menganggap bahwa hidup hanya tentang menikah saja. Pembahasan ini cukup ringan bagi yang ingin sedikit meluangkan waktu untuk mengobrol soal masa depan.

Mari memilih pilihan hati karena semata-mata ingin mengajaknya untuk beribadah bersama, sama-sama ingin membangun bahtera rumah tangga di atas syariat agama, bersama ingin meraih surga yang telah dijanjikan Allah, benar-benar yang mampu menyempurnakan agama.

Memilih menggunakan high heels atau sneakers ketika hari akad pernikahan, itu adalah pilihan. Memilih menggunakan pakaian adat atau gaun putih yang elegan itu juga pilihan. Terpenting tidak ada maksud untuk berunjuk diri siapa yang lebih baik dalam merayakan pernikahan.

Jika kamu merasa sia-sia sudah membaca tulisan tidak penting ini, setidaknya marah-marahmu bisa lebih bermanfaat jika menaruh saran dan tambahan poin yang juga kamu anggap penting untuk diangkat.

Kekuatan Petuah Pada Pola Pikir Manusia

Sabtu, 06 Oktober 2018

Percayakah Anda dengan kekuatan petuah "kehidupan itu bagai roda berputar?"

Benar, saya pun bagian dari kalian yang percaya terhadap kalimat tersebut.

Pun, sebagian besar banyak yang mendapat pelajaran hidup dari persoalan kehidupan terbalik.

Namun, lagi-lagi saya merasa seperti ada yang salah.

Saya tidak bermaksud menyalahkan sosok yang telah memberi nasehat atas tuturan yang demikian, karena bagaimana pun itu merupakan salah satu dari sekian banyak kalimat yang kandungannya baik untuk memotivasi setiap orang di kala sedang merasa tidak percaya diri atau merasa berputus ada pada keadaan yang dianggapnya kurang baik daripada keadaan orang lain yang terlihat berada di puncak kesuksesan. Toh, saya juga tidak benar-benar ingat siapa yang kali pertama atau yang sering melontarkan kalimat tersebut. Tetapi, kalimat yang ada di alinea pembuka tadi cukup mampu membuat saya selalu berdiri tegap dan semangat pada mimpi-mimpi saya.

Lalu, dimana letak kesalahan yang saya maksud?
Sekali lagi, saya tidak hendak bermaksud untuk menyalahkan. Kalau pun ada unsur menyalahkan, maka yang paling berhak untuk disalahkan adalah kemampuanku dalam menginterpretasi yang nyatanya sangat kurang.

Kehidupan yang memiliki roda untuk berputar atau kehidupan yang tampak menyerupai roda berputar-yang pengendalinya adalah diri kita sendiri. Pada saat melihat orang-orang menyombongkan diri atas kekayaan yang dimilikinya, kadang saya lebih sombong yang tidak memiliki apa-apa, saking sombongnya selalu mengucapkan mantra "kehidupan itu bagai roda berputar!" Mantra yang akhirnya menjadikanku seperti ambisius, seperti ingin serakah, seperti mau menjatuhkan semua orang lalu saya yang berada di posisi teratas. Apakah saya yang gagal mengendalikan diri atau kalimat tersebut yang telah meracuni saya?
Keduanya bisa benar:)
Tetapi, lagi-lagi saya minta disalahkan.

Gimana nih? Sampai di sini sudah ada yang memahami maksud saya?

Rasanya saya ingin menangisi diri saya sendiri, mencari tahu apa penyebab yang membuat saya terus memperjuangkan duniawi? Selain disebabkan nafsu, kalimat yang kujadikan dorongan itu sedikit membuatku serakah untuk urusan dunia.
Pada hari-hari yang kuanggap buruk, aku selalu membenarkan bahwa waktu akan membawaku di posisi teratas sedang yang sebelumnya berada pada posisi itu akan merasakan posisiku yang di bawah, posisi yang tidak dianggap atau tidak dihargai oleh khalayak ramai. Pantaskah aku dianggap jahat? Sangat pantas, aku jahat atas pemikiranku sendiri. Pola pikir yang seperti itu membuatku bersikap kompetitif yang tinggi, sikap ingin menjatuhkan, sikap takut bersaing, bahkan sikap ingin menertawakan orang lain jika berada dalam masa sulit. Apakah sikap seperti itu murni karena jiwa ku yang salah atau karena kalimat itu tadi? Yah, ada kesalahan dalam jiwa. Anggap saja begitu. Kalimatnya sebenarnya berkekuatan positif, tetapi berdampak negatif pada saya. Yang awalnya dimaksudkan untuk mengembangkan karakter saya menjadi optimistik jatuhnya malah bersikap seperti robot yang mengejar kesuksesan dunia.

Lalu, saya bertanya pada diri saya, mengapa sejak kecil saya tidak pernah menanamkan kalimat "tiada yang abadi di dunia ini", mengapa kalimat itu tidak saya jadikan obat atau mantra tiap kali sisi pencemburu ku muncul saat melihat orang-orang yang berhasil menggapai mimpinya?
Seandainya kalimat itu mendominasi pola pikirku, mungkin persiapan untuk kehidupan selanjutnya di alam yang abadi lebih banyak kupersiapkan daripada persiapan masa depan yang belum tentu waktu akan mengilhami diriku berada di tahun-tahun selanjutnya.
Saya seperti gagal melawan diriku sendiri, saya seperti telah menjatuhkan diriku sendiri pada kegagalan yang sejati.
Bahkan saya seperti menyesali segala bentuk usahaku pada deretan impian, sedang menyayangkan tidak adanya bentuk usaha pada kenikmatan surga yang dijanjikan oleh-Nya.

Bersyukurlah kalian jika setiap langkah yang kalian lakukan didasari pada tujuan yang semestinya, tujuan Lillah.
Tidak perlu mengejar mereka yang sukses setelah membangun perusahaan besar dengan doktrin kapitalis, ikat tali sepatu mu untuk berlari dan meneladani mereka yang bersungguh-sungguh hidup di dunia hanya untuk kembali pada-Nya.
Sejauh mana kah langkah kita untuk kembali ke asal? Untuk kembali pada sang pencipta?
Semoga tidak seburuk saya.

Berhasilkah saya menerapkan maksim kesederhanaan dalam tulisan ini? Hehe

Orang Tua, Sang Penyemangat

Menjadi pribadi yang tidak pernah lelah belajar,
Menjadi sosok yang tidak pernah menyerah,
Menjadi nama yang selalu berguna,
Menjadi diri yang selalu berbagi,
Menjadi berilmu yang selalu menebar, dan seluruh hal yang berbaur positif.
Mungkin harusnya hal-hal seperti itu yang diajarkan pada adik-adik atau anak-anak kita.

Yang saya lihat pada gejala sosial sejak dulu, kebanyakan orang tua menekan impian anak untuk menjadi orang kaya, dokter, guru, pengacara, dan segala profesi yang dipandang terpandang. Sehingga, berujung pada upaya merenggut sebagian waktu bermainnya untuk terus belajar, yah mending kalau sampai besar diajar untuk terus belajar, nah kalau dididik untuk terus mendapat angka maksimal di rapor gimana? Kan jatuhnya akan mendorong anak terus mengejar angka2 yang tidak menyeimbangkan pada aspek afektifnya. Bahkan, sebagian anak malah berusaha mengejar nilai bukan pada sumbu ilmu pengetahuan yang diajarkan. Kemudian, upaya berbuat curang pada ujian nasional menjadi budaya yang didukung langsung oleh orang tua. Lalu, tujuan mencerdaskan dikemanakan? Bukankah kalau begitu kita malah mendidik generasi yang serakah?

Lucunya, bahkan ada beberapa wali murid yang cara mendidiknya pada anak-anak dengan memberi dua kehidupan yang berbanding terbalik. Sehingga, anak-anak merasa bahwa tidak menjadi orang kaya atau tidak menjadi orang ternama adalah sesuatu yang salah dan tidak membahagiakan. Sini biar kuberi contoh,
"Tuh lihat tukang becak itu, kalau kamu tidak sekolah kamu bakal seperti itu!"
Sungguh, itu adalah contoh kalimat yang salah untuk mendidik anak. Dengan begitu, karakter anak lebih ingin berjuang mendapat hasil yang secara instan, dia terus beranggapan bahwa pekerjaan rendahan seperti itu tidak baik (yah memang) tapi dia akan menjadi anak yang mudah merendahkan orang. Bukankah lebih baik menggantikan kalimat tersebut menjadi, "Nak, jadilah orang yang cerdas, yang bermanfaat bagi orang lain, yang mampu menolong orang-orang dengan memberi pekerjaan yang baik."
Kekuatan kalimat tersebut sangat memengaruhi banyak hal. Anak-anak jadi lebih tahu bahwa menjadi cerdas tidak hanya dengan memeroleh peringkat yang tinggi tapi yang cerdas yaitu orang yang bisa berguna untuk orang lain yang bahkan mampu menciptakan lowongan pekerjaan dengan segala bentuk kreatifitasnya. Nah, mencakup tiga aspek pendidikan, bukan? Kognitif, afektif, dan psikomotoriknya dapat semua.

Di setiap kesempatan bertemu dengan adik-adik pedalaman, saya selalu mengingatkan diri saya untuk tidak mendorong adik-adik menjadi seperti orang lain, sekali pun tokoh presiden yang menjadi contoh. Karena menunjukkan kelebihan orang kepada mereka, dengan sengaja kita menunjukkan segala bentuk kekurangannya. Yah bagus kalau mereka bisa memfilter maksud baik kita. Tapi kondisi adik-adik di pedalaman kan beda. Dia lebih bisa mengutuk keadaan kalau kita datang dengan pengaruh membawa segala janji-janji kemewahan jika dia rajin belajar. Kita hanya perlu memberi dia ruang untuk tertawa bahagia, membiarkan dia bermain, membiarkan dia melepas penat atas kecemasan masa depan yang terlalu banyak. Kita tidak perlu mengajak dia meninggalkan desa untuk menjadi orang hebat. Kita tidak perlu menyuruh dia bercermin pada orang-orang yang berada di puncak teratas. Kita tidak perlu mengingatkan dia terus belajar untuk mendapat nilai bagus, tetapi mengajak dia belajar untuk mengetahui banyak hal yang bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari. Mereka harus diselamatkan dari budaya kompetisi yang ambisius di dunia sekolah.

Peran orang tua harusnya menjadi penyemangat bukan penuntut.

Makassar, 23 September. Dibuat dengan pikiran yang sedang menampung banyak kegelisahan.

Dalam proses hijrahku, aku jatuh hati

Rabu, 10 Januari 2018

Kini aku putuskan bahwa aku cukup bahagia..
Bahagia karena telah sadar akan suatu hal..
Mengenai hati yang aku sesali karena telah jatuh..
Jatuh pada orang yang mungkin enggan menopang..

Salahku karena telah berani membiarkannya jatuh..
Setelah ia terkoyak dan terpatahkan pada waktu lampau oleh seseorang..
Kemudian, aku layangkan ia pada kilasan kasmaran yang jemu yang dihadirkan oleh sosok yang baru..
Namun, akhirnya ia jatuh di buaian yang salah..

Patut aku bermohon maaf pada Tuhan..
Karena telah lancang menaruh harapan tanpa hati-hati pada hamba-Nya bahkan hampir tak kupinta izin-Nya untuk mencinta..
Dalam pekikan doa, kian kumohon agar diberikan yang terbaik..
Jawaban-Nya mungkin telah terentet di depan mata..
Aku salah telah menjatuhkan hati tanpa topangan..
Tanpa ungkapan..
Tanpa kejujuran..
Cinta yang diam pun sangat salah..
Sungguh, tak ingin lagi aku berperasaan pada seseorang yang kuanggap baik tapi tidak menurut-Nya..

Lagi, kuhaturkan maaf pada sang kuasa..
Karena telah menganggap berbagai kebetulan itu sebagai sinyal akan bersatunya dua hati..
Betapa malunya aku karena 'mungkin' insan yang di sana tak sedikit pun ingin hati ini..
Dan.. tersadarlah aku pada suatu detik tadi bahwa belum waktu yang tepat dan orang yang pantas untuk aku selalu selipkan namanya dalam doa ku..
Ada pun, jika namanya masih ingin kusebut dalam doa, aku hanya harap bahwa ia bisa jadi yang baik dalam Agama dan hidupnya..

Ketika waktu merangkak, membawa kehidupan ini ke lembaran baru..
Ketika akhirnya aku dan dia memang tak jodoh..
Yang pada kenyataannya penyesalan pernah menyukainya terus terbayangi..
Aku tetap pada harapanku, agar dia bisa jadi laki-laki yang baik..
Meski ia bukan milikku secara halal nanti..
Dia tetap temanku yang dipertemukan di tempat yang telah mengajariku sebuah pengabdian..

Buat dia, maafkan hati ini telah salah berharap bersanding denganmu dalam momen yang sakral..
Maaf telah terbiasa menyebut namamu dalam doa..
Maaf telah lancang memberi perhatian untukmu..
Maaf telah hampir mencintaimu..

Berbahagialah dengan gaya hidup yang kau anggap menyenangkan..
Biarlah aku dengan maluku ini yang secara diam memerhatikanmu terus memperbaiki diri..
Setidaknya, setelah paham bahwa kita tak bisa bersama di waktu yang akan datang, aku tetap beruntung karena dapat memotivasi diri untuk jadi lebih hebat dan baik.

Terima kasih, karena dengan mencintaimu dalam diam, aku banyak memetik pelajaran.

Aku salah, dalam proses hijrahku, aku menerima anak panah iblis.
Aku sesali, dalam proses hijrahku, aku jatuh hati.
Aku menyerah.
Aku kembali pada Tuhanku, Allahku.
Kuserahkan hati ini pada-Nya.
Kupercayakan hati ini pada-Nya.
Kubiarkan Ia menempatkan hati ini pada orang yang menurut-Nya pantas dan tentu halal bagiku.

Menulis Kreatif : Penulisan Kreatif Puisi

Selasa, 19 September 2017



A.    Pengertian Puisi
Secara etimologis, kata ‘puisi’ dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya ‘penciptaan’. Herman Waluyo (2005) berpandangan bahwa puisi berupa karya sastra tertulis yang paling awal ditulis oleh manusia. Ia juga mendefinisikan puisi sebagai karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata kiasan. Menurut Dresden (dalam Sayuti, 2000:237) menyatakan bahwa puisi adalah sebuah dunia dalam kata. Sedangkan, Pradopo (2007) berpendapat bahwa puisi adalah rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, diubah dalam wujud yang paling berkesan. Ada beberapa penyair Inggris yang mengemukakan definisi puisi yang dikumpulkan oleh Shanon Ahmad (dalam Pradopo, 2007:6) yakni sebagai berikut.
1.    Samuel Taylor Coleridge mengemukakan bahwa puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah.
2.    Carly mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal karena bunyinya merdu.
3.    Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan.
4.    Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama.
Mengacu pada definisi-definisi di atas terlihat bahwa ada perbedaan antara pendapat para penyair, namun masih terdapat benang merah atau kesamaan. Shannon Ahmad (dalam Pradopo, 2007:7) menyimpulkan bahwa puisi itu terdapat garis-garis besar yang berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan. Jadi, dapat pula disimpulkan bahwa puisi itu merupakan bentuk atau tulisan yang tersusun indah yang berisi pemikiran seseorang dan perasaan. Menulis puisi adalah proses menyalurkan perasaan dan hasil pengalaman melalui bentuk atau susunan kata yang indah dengan melibatkan berbagai unsur seperti gaya bahasa.
Dari segi waktu, puisi itu terbagi atas dua yakni puisi lama dan puisi baru. Puisi lama adalah puisi yang lahir sebelum masa penjajahan Belanda, sehingga belum tampak adanya pengaruh dari kebudayaan barat. Puisi lama cenderung tidak diketahui nama pengarangnya karena bentuk penyampaiannya dari mulut ke mulut atau secara lisan, dan sangat terikat dengan aturan termasuk penentuan jumlah baris dan suku kata. Yang termasuk dalam puisi lama yaitu: (1) Mantra adalah ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib; (2) pantun adalah puisi yang bercirikan saja ab-ab, dsb.; (3) Karmina adalah pantun kilat; (4) Seloka adalah pantun berkait; (5) gurindam adalah puisi yang berisi nasihat; (6) syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris bersajak a-a-a-a; dan (7) talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6-10 baris. Sedangkan, puisi baru bentuknya lebih bebas baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima. Ciri-cirinya adalah memiliki bentuk yang rapi, persajakan akhir yang teratur, menggunakan pola sajak syair, setiap baris memiliki kesatuan sintaksis. Balada, himne, romansa, ode, epigram, elegi, satire, merupakan bagian dari jenis puisi baru.

B.     Struktur Puisi
1.      Struktur Fisik
a.       Perwajahan atau Tipografi, adalah bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik.
b.      Diksi, adalah seleksi kata-kata untuk mengekspresikan ide atau gagasan dan perasaan (Ahmadi, 1988:126). Diksi juga berarti penataan, penyusunan, dan pemilahan kata-kata ke dalam susunan tertentu yang secara efektif dapat mengungkapkan ide, gagasan, dan perasaan.
c.       Imaji, merupakan reproduksi dalam pikiran mengenai perasaan yang dihasilkan oleh persepsi yang bersifat fisik, mistis, dan psikis. Fungsi imaji di dalam puisi ialah menggugah perasaan, pikiran, dan kesan mental pembaca puisi.
d.      Kata Konkret, adalah kata yang memungkinkan memunculkan imaji karena dapat ditangkap indera yang mana kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang.
e.       Gaya Bahasa, adalah penggunaan bahasa dengan menghidupkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu dengan figuratif yang menybabkan puisi memancarkan banyak makna.
f.       Rima, ialah persamaan bunyi puisi di baik awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup tiruan bnyi yang memberikan efek magis, bentuk intern pola bunyi seperti aliterasi dan asonansi.
2.      Struktur Batin
a.       Makna, puisi harus memiliki makna di tiap kata, baris, bait, dan secara keseluruhan.
b.      Rasa, sikap penyair mengenai pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan rasa erat kaitannya akan latar belakang sosial dan psikologi penyair.
c.       Nada, sikap penyair terdapat pembacanya. Penyair dapat menyampaikan tema baik dengan nada yang menggurui bahkan bekerja sama dengan pembaca dalam pemecahan masalah atau menyerahkan masalah kepada pembaca.
d.      Amanat, adalah pesan yang disampaikan di dalam puisi kepada pembaca.

C.    Kualitas Puisi
Menghasilkan atau menulis sebuah puisi haruslah memiliki nilai atau kualitas yang baik agar dapat diapresiasi dengan baik pula oleh pembaca. Ada 10 konsep puisi yang berkualitas yakni sebagai berikut.
1.      Sebuah puisi dapat dikatakan berkualitas apabila merupakan usaha merekam isi jiwa penyairnya. Jika penyair merasa telah sanggup merekam isi jiwaya ke dalam bahasa puisi, dapat diharapkan puisi itu memenuhi konsep puisi berkualitas.
2.      Puisi berkualitas adalah puisi yang komunikatif. Bentuk rekaman kejiwaan itu haruslah komunikatif. Puisi yang komunikatif juga ada yang tidak berkualitas, dengan begitu pengertian komunikatif ini hendaklah diproyeksikan pada bentuk yang interaktif dan dialektif, pesan yang disampaikan harus mudah ditangkap.
3.      Puisi yang berkualitas menunjukkan adanya keteraturan. Keteraturan puisi bergantung sistem puisi, kode bahasa, pengemasan pesan, penggunaan piranti keindahan bahasa dan kedalaman makna pesan.
4.      Setiap puisi yang berkualitas menunjukkan adanya integrasi semua unsur, aspek, komposisi, dan komponen pembentuk puisi.
5.      Sebuah puisi berkualitas menunjukkan adanya penemuan. Penemuan di sini terkait dengan estetika, pola ucap, teknik pemaparan, dan pengemasan pesan yang memesona.
6.      Puisi yang berkualitas menunjukkan ekspresi penyairnya.
7.      Puisi yang berkualitas selalu pekat, kental, kenyal, lentur, luwes, dan dinamis.
8.      Puisi yang berkualitas selalu berisi penafsiran kehidupan.
9.      Puisi berkualitas menunjukkan adanya pembaruan, baik dalam tataran ide, kemasan, bahasa, dan ekspresinya.
10.  Puisi yang berkualitas mampu memberikan penghiburan spritiual, batiniah, rasa senang, puas, mempesona, dan mungkin dapat membius pembacanya.

D.    Penulisan Kreatif Puisi
Dalam penulisan puisi setiap individu tentunya harus melewati serangkaian proses kreatif dengan gaya tersendiri. Secara umum proses kreatif yang dilalui semua orang hampir sama yang biasanya terdiri atas empat tahap yaitu sebagai berikut.
1.      Pencarian Ide
Bahan pertama dalam menulis puisi adalah ide atau inspirasi, yaitu sesuatu yang menyentuh rasa atau jiwa yang membuat seseorang ingin mengabadikan dan mengekspresikannya dalam puisi. Ide berupa pengalaman yaitu segala kejadian yang ditangkap panca-indera kita, yang kemudian menimbulkan efek, lalu dituliskan dalam bentuk puisi.
Proses pencarian inspirasi itu haruslah bersifat aktif-kreatif, bukan pasif yaitu menunggu inspirasi datang. Inspirasi atau ide seharusnya dipanggil, dicari, dan diburu dengan cara membuat panca-indera lebih sensitif dalam memaknai setiap kejadian yang dijumpai.
2.      Perenungan
Jika ide itu sudah didapat, maka renungkanlah. Biasanya proses perenungan ini lama karena berkaitan dengan cara yang akan dilakukan agar ide itu menarik. Dalam pengembangan ide yang harus direnungkan utamanya adalah kata-kata karena kunci utama puisi adalah pada konsentrasi kata, sehingga aspek utama merenungkan ide adalah pemilihan diksi.
3.      Penulisan
Selanjutnya adalah penulisan. Tulislah apa yang sudah ingin ditulis dengan segera tanpa ditunda-tunda, jangan berhenti kalau memang benar-benar buntu. Prinsip menulisnya adalah ungkapan segala hal yang sudah ada dalam otak tentang ide yang sudah didapatkan. Dalam penulisan ini, persoalan yang sering muncul adalah buntu. Jika hal itu terjadi, jangan memaksakan agar tulisan selesai karena puisi yang baik dilihat dari proses.
4.      Editing dan Revisi
Editing berkaitan dengan pembetulan pada puisi yang diciptakan pada aspek bahasa, baik salah ketik, pergantian kata, sampai kalimat, bahkan tata tulis. Sedangkan, revisi berkaitan dengan penggantian isi. Editing dan revisi menjadi syarat mutlak untuk bisa menghasilkan karya puisi yang bagus. Editing dan revisi merupakan bagian dari keharusan proses menulis yang selain bertujuan untuk membuat puisi menjadi lebih baik, juga untuk menunjukkan sikap apresiasi terhadap karya sendiri.
Proses penulisan kreatif pada karya sastra puisi dapat ditempuh dengan beberapa metode yang dikutip dari situs halaman berbagi tips wikihow. Adapun metode tersebut adalah.
1.      Bersikap Kreatif
a.       Gali percikan di diri Anda
Sebuah puisi dapat berawal dari secuplik bait, mungkin hanya sebaris dua baris yang tampaknya muncul dari antah-berantah, dan sisanya perlu ditulis mengitarinya. Berikut beberapa cara untuk menciptakan percikan.
1)      Kumpulkan minimal 10 puisi secara acak. Kemudian, pilihlah secara acak baris dari tiap puisi, cobalah fokus hanya pada baris pertama. Tulislah semua baris itu di kertas yang berbeda, dan cobalah menyusunnya menjadi puisi yang utuh. Dengan begitu, akan memberi Anda ide.
2)      Tulislah seluruh kata dan frasa yang muncul di kepala saat memikirkan sebuah ide.
3)      Suarakan perasaan Anda yang sebenarnya ke dalam baris-baris puisi.
4)      Masuklah ke dalam adegan khusus yang ingin Anda tulis. Contoh, jika ingin menulis tentang alam, maka cobalah mengunjungi taman atau hutan kecil.
b.      Bacalah dan dengarkan puisi
Dapatkan inspirasi dengan mencari karya penyair yang dikagumi. Jelajahi rentang karya yang luas. Semakin banyak interaksi dengan puisi, estetika Anda akan semakin terbentuk.
1)      Datangi acara-acara pembacaan puisi.
2)      Carilah lirik lagu lalu bacalah seperti membaca larik puisi.
c.       Pikirkan tentang apa yang ingin Anda capai dengan puisi yang ditulis.
Kita harus menetapkan tujuan ditulisnya puisi tersebut yang bisa saja untuk kekasih, untuk mengingat kejadian tragis, atau hanya sekadar mendapat nilai A dari dosen. Pikirkanlah target pembaca.
d.      Putuskan gaya puisi apa yang cocok untuk kepribadian Anda
Sebagai penyair, Anda perlu memiliki beragam bentuk puisi untuk dipilih.
2.      Biarkan Kreativitas Mengalir
a.       Pilihlah kata-kata yang tepat
Kata orang jika novel itu merupakan kata-kata dalam susunan terbaik, maka puisi adalah kata-kata terbaik dalam susunan yang terbaik.
1)      Bayangkan kata-kata yang digunakan itu sebagai balok-balok mainan dengan bentuk dan ukuran yang berbeda. Maksudnya, ada kata yang akan sempurna jika digabungkan, ada juga yang tidak. Maka, perbaikan harus selalu dibutuhkan.
2)      Gunakan hanya kata-kata yang perlu saja.
b.      Gunakan gambar konkrit dan deskrpsi yang jelas
Hal yang perlu dipertimbangkan saat membangun deskrpsi, adalah:
1)      Cinta, kebencian, kebahagiaan merupakan konsep yang abstrak. Banyak puisi yang jauh di lubuk hati berbicara tentang emosi. Kunci untuk menggunakan hal abstraksi yang menarik adalah dengan menambah keindahan abstraksi melalui gambaran yang konkrit. Konsep korelatif-objektif sangat berguna untuk menggambarkan perasaan melalui objek-objek.
2)      Tunjukkan pada pembaca apa yang Anda bicarakan, bantulah mereka merasakan pencitraan dalam puisi Anda. Masukanlah alat bantu sensoris karena puisi tidak hanya kuat dalam penggunaan imaji tapi juga dengan gambaran yang jelas.
3)      Berilah contoh lebih dari sekadar deskripsi intelektual. Contoh, “Ia mengeluarkan bunyi seperti kuda nil yang sedang makan 100 pai pecan basi dengan gigi besi” kalimat tersebut lebih baik daripada hanya sekadar “Ia mengeluarkan bunyi keras”.
c.       Gunakan perangkat puisi untuk menambah kecantikan dan makna puisi.
Perangkat puisi yang paling dikenal adalah rima. Rima dapat menambah ketegangan pada baris-baris puisi atau membuat puisi Anda lebih kohesif. Namun, jangan menggunakan rima secara berlebihan.
3.      Membawa Puisi Menjadi Hidup
a.       Dengarkan puisi Anda
Meskipun banyak orang kini membaca puisi dalam bentuk tulisan, puisi umumnya merupakan seni mendengar. Saat Anda menulis dan menyuntung puisi, bacalah dengan keras dan dengarkan bunyinya.
b.      Sunting puisi Anda
Jika puisi dasar sudah ditulis, kesampingkan sejenak dan kemudian baca puisi tersebut keras-keras pada diri sendiri. Perhatikan pilihan kata dan ritme. Hilangkan kata-kata yang tidakk diperlukan. Jangan takut untuk terus menulis ulang jika sebagian puisi tidak sesuai.
c.       Bagilah karya Anda dengan orang lain
Mintalah pendapat atau kritik dari orang lain. Anda perlu mendapatkan pencerahan agar membuat puisi menjadi lebih baik melalui saran atau kritik dari teman-teman sebagai pembaca. Saringlah berbagai kritikan untuk membantu pengembangan karya menjadi lebih bermutu.
Selain itu, ada pula metode yang menarik dalam menulis puisi, yaitu metode akrostik. Semua baris dalam puisi menceritakan topik kata yang penting. Puisi akrostik ini merupakan bentuk pengejaan sebuah kata atau kalimat secara vertikal. Contoh:
Waktu terus merangkak cepat
Iringan dentum jam dinding menggelinding
Detik berdendang tanpa jeda
Andai saja waktu ingin tahu inginku...
Tata cara menulis puisi yang paling sering dibocorkan oleh penulis-penulis terkenal yang dikutip dari laman rahasiapenulis.com adalah sebagai berikut.
1.      Ide. Ide merupakan ruh dalam dunia kepenulisan, termasuk puisi. Kita harus peka dan menggali informasi sebanyak-banyaknya dan dari mana saja untuk mendapat ide.
2.      Filterisasi. Menyaring segenap ide yang didapatkan lalu menentukan ide mana yang layak dituangkan dalam bentuk puisi.
3.      Memasukkan imajinasi. Imajinasi yang baik akan menghasilkan puisi yang baik pula. Imajinasi identik dengan pencitraan alat indera.
4.      Tema yang tepat. Laksana ide, tema juga merupakan ruh dalam menulis puisi. Maka, menentukan tema yang tepat sebelum menulis puisi adalah hal yang mutlak.
5.      Buat judul yang menarik. Tidak bisa dipungkiri bila judul sangat memengaruhi minat baca. Semakin menarik judul, maka minat pembaca untuk membaca karya (puisi) kita semakin besar.
6.      Menggunakan kata-kata indah. Hakikatnya puisi adalah rangkaian kata-kata yang indah. Maka, menulis puisi harus menggunakan kata-kata yang indah. Caranya? Perbanyak membaca, perbanyak kosakata. Dan yang paling penting, perbanyak berlatih.
7.      Buat lirik yang menarik. Bila sekilas memandang, puisi hampir mirip dengan syair. Lirik yang menarik akan menghasilkan suasana puisi yang menenangkan hati.
8.      Perwajahan atau topografi. Perwajahan dalam puisi tidak berbentuk paragraf, seperti prosa. Perwajahan dalam puisi berbentuk bait. Yang mana bait-bait itu mengandung makna dari penulisnya sendiri.
9.      Gunakan majas. Sangat penting bagi kita untuk pandai-pandai menggunakan majas dalam menulis puisi. Penggunaan majas akan lebih memperindah puisi kita.



DAFTAR PUSTAKA

Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Pustaka Jaya.
Waluyo, Herman. 2005. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Pustaka Online dari Situs Halaman:
Jendelasastra.com (diakses pada tanggal 9 April 2017)
Rahasiapenulis.com (diakses pada tanggal 12 April 2017)
Wikihow.com (diakses pada tanggal 9 April 2017)
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS