Bunga
Terakhir
“Aku
mau pergi perpisahan, kak.”
“Jangan.
Kamu harus di sini.”
Seharusnya
aku tidak punya alasan untuk melarangmu pergi. Pergi mengatakan selamat tinggal
kepada teman-temanmu. Selamat tinggal atas tiga tahun yang telah kau lalui di
bangku SMP. Andai saja aku membiarkan kamu pergi, mengizinkanmu untuk menemui
teman-temanmu yang berhak mendapatkan ucapan selamat tinggal darimu. Jika aku
lakukan mungkin teman-temanmu yang ada di depanmu ini bisa memotret gambar
dirimu bersama mereka di suasana yang ceria atas kelulusan kalian untuk yang
terakhir kalinya.
“Selamat
jalan, dik.”
Kamu
ternyata bukan saja ingin menghadiri acara perpisahan sekolah, tapi kamu
sekaligus mengadakan perpisahan dengan dunia. Maafkan kakak yang tidak bisa
menjadi pengganti ibu untuk menjaga mu hingga sehat. Kamu bahkan sangat
tersiksa dengan kekalahan melawan penyakit yang kau derita. Kamu kalah, tapi
kamu menang karena lebih cepat bertemu dengan orang yang sama-sama kita
sayangi.
Hari
ini atas nama Melati pergi untuk selamanya. Penyakit yang menyebabkan
kematiannya belum dapat dipastikan karena tim medis hanya dapat mendiagnosis
sampai pada kerusakan sistem pernapasan. Dengan demikian, sampel darah dan liur
akan segera dicek di beberapa laboratorium rumah sakit yang memiliki
kelengkapan alat medis yang lebih canggih.
Kurun
waktu sembilan hari. Aku merasa langit begitu marah kepadaku. Aku merasa
mentari enggan tersenyum hingga menerikkan cahayanya. Bulan seperti ingin terus
meredupkan sinarnya. Bunga-bunga yang aku jaga hingga tumbuh kembang sempurna
kini dipetik oleh Tuhan selama sembilan hari. Aku tidak tahu bagaimana
menghabiskan air mata. Aku bahkan lupa bagaimana permukaan pipiku dapat kering.
Lekukan bibir tersenyum sekilas sembari menjabat tangan-tangan pelayat
mengucapkan terima kasih atas belasungkawa. Kemudian, bentuk lekukan itu
terbalik hingga menarik genangan air mata di kelopak untuk membasahi kedua
pipi. Aku sehat, batinku saja yang tersakiti. Bagaimana mungkin aku bisa hidup lebih
tenang dan ceria saat beberapa bunga yang kau sayangi mati? Bagaimana
kebahagiaan yang akan dirasakan tanpa ada lagi orang-orang yang terkasih?
Aku
tiga bersaudara. Akulah yang bertanggungjawab penuh atas adik-adikku setelah
orangtuaku. Kami adalah tiga bunga untuk Ayah dan Ibu. Anggrek, Mawar, Melati
itulah nama-nama kami. Kami dirawat dengan penuh kasih sayang oleh bunga
matahari kami yaitu Ibu. Kami diajar untuk saling mengasihi satu sama lain.
Kini aku percaya bahwa setiap orang akan lebih memilih bunga yang paling cantik
untuk dipetik. Bahkan Tuhan pun demikian. Ia memilih bunga-bungaku yang lebih
menawan daripadaku untuk ke surga-Nya.
Tiga
hari yang lalu aku mendampingi Ibuku yang terbaring sakit dan di sebelahnya ada
Melati. Mereka berdua dirawat dalam satu ruangan. Mereka tak berdaya seperti
hampir layu namun terus saja berusaha memekarkan senyumnya di depanku.
“Jagalah
dia. Biarkan dia terus berkembang agar keindahannya selalu menyenangkan orang
lain. Dia akan tumbuh dengan baik walaupun hanya ada kamu di sampingnya. Dia
sudah remaja, bahkan dia sudah mau memasuki jenjang SMA. Jagalah adikmu.”
“Ibu,
pasti saya akan jaga. Kita akan jaga bersama-sama.”
Saat
itu hatiku dikoyak-koyak, seluruh tubuh ini seperti disayat-sayat. Kedua kaki
tak kuat menopang bobotku. Pita suara seperti kusuk hingga kurasa aku tak mampu
teriak. Air mata terus bercucuran. Bunga matahariku sudah mati. Ibuku meninggal
di samping ranjang Anggrek. Ayah langsung menugaskan para perawat untuk
memindahkan Anggrek yang masih tertidur lemah ke ruangan lain. Aku tak kuasa
melihat bungaku yang kedua kalinya gugur. Kepilauan ini seperti terus mengasa
keimananku. Aku bahkan sempat berpikir bahwa Tuhan begitu kejam mengambil
orang-orang baik dari sisiku. Aku seperti tidak sangat baik di depan Tuhan
hingga mengambil bagian keindahan dari hidupku. Namun, aku selalu mengingat
kata-kata Ibu bahwa Tuhan tidak pernah tidak adil kepada setiap hamba-Nya. Aku
selalu berusaha berprasangbaik kepada Tuhan dengan menanamkan kepercayaan bahwa
bunga yang baiklah yang selalu dipetik terlebih dahulu. Aku tahu Tuhan
menyadari bahwa Mawar yang meninggal delapan hari lalu, Ibu sang bunga
matahariku diwafatkan tujuh hari yang lalu, dan Melatiku yang terpisah dariku
hari ini adalah semua bunga-bunga indah.
Mereka
pergi setelah menyelesaikan kewajibannya. Mawar sudah menamatkan sekolahnya,
Melati juga sudah menyelesaikan sekolahnya di menengah pertama, dan Ibu sudah
cukup mengorbankan dirinya menjaga kita semua hingga tumbuh besar seperti ini.
Ibu sudah berhasil membuatku menjadi sarjana dokter muda. Mungkin sudah
seharusnya mereka pergi ke kehidupan yang lebih sempurna dan abadi.
Genap
sembilan hari, tiga bungaku berhenti mekar. Di depan mataku ada Melati yang
terkujur kaku pucat tanpa napas. Balutan kain menutupi tubuhnya yang sangat
dingin dan segera dimandikan lalu dikafani. Di sekelilingnya ada
sahabat-sahabatnya yang terguncah kesedihan. Mereka juga sangat sedih
ditinggalkan oleh sahabat yang begitu baik. Tinggallah aku dan ayah. Ayah kini
hanya memiliki satu bunga dalam hidupnya. Ayah yang sangat menyayangi Ibu
begitu lemah menahan air mata karena harus berpura-pura tegar. Ayah tidak
pernah sekali pun menyakiti Ibu dan selalu saja membuat kita semua bahagia
walaupun harus Ayah yang mengorbankan diri. Dapatkah aku menjadi bunga terakhir
yang membanggakan Ayah?
Ayah
mungkin tidak akan lagi menemukan bunga matahari yang selalu menghangatkan
jiwanya ketika lelah bekerja, ayah tidak akan lagi melihat bunga mawar yang
senantiasa mengajaknya bercanda dan tertawa dikala beban pekerjaan membuat
saraf-sarafnya kaku, dan ayah tidak akan lagi menjumpai melati yang terus
menyejukkan hati Ayah di saat emosi tidak stabil. Ayah harus berjuang merawat
anggrek yang begitu menyusahkan sepertiku. Ayah akan berjuang seorang diri
membuat anggrek dapat berharga.
Waktu
terus kulewatkan tanpa ada kegembiraan bersama bunga-bunga kebanggaanku. Aku
harus melanjutkan kehidupanku dengan semangat. Aku tidak boleh menyerah hanya
karena mereka sudah bahagia di alam yang berbeda. Aku harus bisa membahagiakan
bunga-bungaku yang ada di sana. Aku harus membuat ayah senang karena dia
berhasil menjadikanku seorang dokter. Aku berjanji bahwa aku harus mampu
membebaskan orang-orang dari virus yang mematikan. Aku tidak ingin ada bunga
lain yang gugur di saat mereka sudah tumbuh cantik. Aku tidak ingin
menyia-nyiakan pengorbanan ibu yang berusaha menyemengatiku saat aku letih
menghadapi perkuliahan, aku enggan membuat Mawar dan Melati kecewa jika saja
aku tidak menjadi dokter yang handal karena mereka sudah berkorban untuk terus
menyisihkan uang jajannya agar membantu biaya praktikum untukku.
Mereka
terjangkit virus H5N1. Hasil diagnosisnya baru keluar setelah mereka hidup
tenang di alam sana. Sangat lambat untuk diketahui. Seharusnya dokter yang
menangani mereka saat itu sudah bisa menebak kemungkinan mereka terjangkit flu
sadis itu agar penanganannya lebih maksimal. Aku bersumpah akan terus belajar
dan menggali ilmu kedokteranku agar aku selalu mampu menemukan hasil diagnosis
dan memutuskan solusi yang tepat bagi setiap orang yang sedang sakit. Aku ingin
virus itu tidak ada lagi di dunia ini.