Pages

Puisi Akrostik - DADANG ERMIN

Selasa, 15 Desember 2015


Dadang Ermin – Lelaki Pejuangku

Wajahnya gelap dan lesuh

Tersirat angan cita karenanya

Semangatku, dia sumber riaku

Darahku aliran dari juangnya

Kau teguk asam nan asin kehidupan

Keabuan dan gulita hidup kau sulap

 

Jiwaku erat dalam pelukmu

Lenyap resah gundah olehmu

Arti miris tak kukenali

Hanya hidup indah yang kusentuh

Kau ciptakan nuansa kebahagiaan untukku

Puisi Akrostik - ASRIYAWATI "Permata Hidupku"

Guys, ini salah satu karya puisi akrosrik yang saya buat. puisi ini dibuat dari nama ibu saya, dirangkaikan dengan huruf akhir pada tiap larik.


Ibu... permata hatiku yang penuh cahaya

Permataku... kilau yang terpancar manis

Pengkokoh hati yang rapuh dan pemilik sinar

Petuahmu tak pernah ku abai

Suara emasmu membuatku happy

Kepercayaanmu selalu terjaga

Membuat hidupku semakin waw

Dalam kesederhanaan menjadi istimewa

Kegembiraan hati engkau ciptakan dari tiap tetes keringat

Hadirmu, hati sunyi menjadi ramai

Puisi Akrostik - WIDA WAHYUNI "Inginku..."


Waktu terus merangkak cepat

Iringan dentum jam dinding menggelinding

Detik berdendang tanpa jeda

Andai saja waktu ingin tahu inginku...

 

Walau degup terus menakuti

Aku tetap saja riang menanti ketidakpastian

Hempasan memori terus mendambakan

Yang pasti ingin itu tetap saja tidak pasti

Untaian selalu bergelombang menggema

Nada harapan terus mengguncang jantung

Inginku hidupku dapat kupastikan

Rasa yang Tak Tersentuh

Senin, 06 April 2015



Adakah angin yang dapat mengibaskan kepiluan?
Adakah awan yang dapat menggambarkan kerisauan?
Adakah mentari yang kiranya bersedia menghangatkan dinginnya jiwa?
Adakah ‘ada’ yang dapat merasakan sendu keluh hati ini?

Seluruh sisi tertawa, sisiku menunduk sedih
Seluruh bayangan bergerak, bayangku terpaku diam
Seluruh pita suara berkoar, nadaku terhambat.
Seluruhnya berbeda dengan keadaanku

Tak ada kata yang dapat menjadi kalimat
Tak ada kalimat yang dapat menjadi wacana
Tak ada tanda baca yang dapat memenggal
Kisahku tak mudah terurai selayaknya kisah kalian

Tak ada telinga yang sedia mendengar
Tak ada hati yang sungguh berempati
Tak ada satupun yang ingin mengetahui
Mengetahui bahwa ada yang tersakiti


Teori-Teori Makna

Jumat, 06 Maret 2015



Teori – Teori Makna
I.                   Pendahuluan
Bahasa merupakan alat komunikasi untuk dapat berhubungan dengan orang lain. Bahasa juga sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer terbentuk oleh suatu aturan, kaidah maupun pola-pola tertentu; baik dalam tata bunyi, tata bentuk kata, ataupun tata kalimat. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa senantiasa dianalisis dan dikaji dengan menggunakan berbagai pendekatan untuk mengkajinya. Antara pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah pendekatan makna. Bagaimana pengguna bahasa memperoleh makna dan pemahaman tentang makna sangat penting untuk dipahami yang merupakan ruang lingkup semantik.
Ada banyak teori yang telah dikembangkan oleh para pakar filsafat dan linguistik sekitar konsep makna dalam studi semantik. Dalam bagian ini kita akan jelajahi secara tersebar teori-teori tentang makna. Pada dasarnya para filosuf dan linguist mempersoalkan makna dalam bentuk hubungan antar bahasa(ujaran), pikiran, dan realitas dalam. Lahirlah teori tentang makna yang berkisar pada hubungan antara ujaran, pikiran, dan realitas dunia nyata. Karena bahasa itu digunakan untuk berbagai keperluan dan kegiatan dalam kehidupan bermasyarakat, maka bahasa itupun bermacam-macam dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda.
Dalam makalah ini, kami akan mengulas mengenai pendekatan makna berdasarkan teori dari para linguis.
II.                Isi
A.    Teori Pemberian Makna
Teori pemberian makna ini memiliki aspek dalam pendekatan makna yang menurut Palmer (1976) dapat dipertimbangkan dari fungsi, dan dapat dibedakan atas :
1.      Sense (pengertian)
2.      Feeling (perasaan)
3.      Tone (nada)
4.      Intension (tujuan)
Keempat aspek makna tersebut dapat dipertimbangkan melalui data bahasa Indonesia sebagai contoh pemahaman makna tersebut. Makna pengertian dapat kita terapkan di dalam komunikasi sehari-hari yang melibatkan apa yang disebut tema. Makna perasaan, nada, dan tujuan dapat pula kita pertimbangkan melalui data bahasa Indonesia maupun daerah.

1.      Sense (Pengertian)
Aspek makna pengertian ini dapat dicapai apabila antara pembicara/penulis dan kawan bicara berbahasa sama. Makna pengertian disebut juga tema, yang melibatkan ide atau pesan yang dimaksud. Di dalam berbicara dalam kehidupan sehari-hari kita mendengar kawan bicara menggunakan kata-kata yang mengandung ide atau pesan yang dimaksud. Di dalam hal ini menyangkut tema pembicaraan sehari-hari, misalnya, tentang cuaca :
(1)   Hari ini hujan
(2)   Hari ini mendung
Di dalam komunikasi tersebut tentu ada unsur pendengar (ragam lisan) dan pembaca (ragam tulis), yang mempunyai pengertian yang sama terhadap satuan-satuan hari, ini, hujan, dan mendung.
Informasi atau apa yang kita ceritakan tersebut memiliki persoalan inti yang biasa disebut tema. Pikirkanlah informasi berikut memiliki tema apa :
“Pengaruh yang masuk melalui wibawa agama dan politik (penjajahan) memang dapat mendalam. Sebaliknya, pengaruh yang terjadi karena kontak perdagangan saja kiranya tidak begitu mendalam. Sebagai contoh, kata yang dipungut dari bahasa Tionghoa oleh bahasa Indonesia memang tidak begitu banyak, hanya terbatas kepada beberapa ratus kata saja.”
(Soepomo Poedjosoedarma, 1987:19, Basis, Januari 1987. XXXVI-1).
Kita memahami tema di dalam informasi karena apa yang kita katakan atau apa yang kita dengar memiliki pengertian dan tema. Kita mengerti tema karena kita paham akan kata-kata yang melambangkan tema tersebut.

2.      Feeling (Perasaan)
Aspek makna perasaan berhubungan dengan sikap pembicara dengan situasi pembicaraan. Di dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berhubungan dengan perasaan (misalnya sedih, panas, dingin, gembira, jengkel, gatal). Pernyataan situasi yang berhubungan dengan aspek makna perasaan tersebut digunakan kata-kata yang sesuai dengan situasinya. Misalnya, tidak akan muncul ekspresi ; turut berduka cita dan ikut bersedih pada situasi bergembira, sebab ekspresi tersebut selalu muncul pada situasi kemalangan, atau kesedihan, misalnya bila ada yang meninggal dunia. Kata-kata tersebut memiliki makna yang sesuai dengan perasaan.
Kata-kata yang sesuai dengan makna perasaan ini muncul dari pengalaman, dapat dipertimbangkan bila kita mengatakan “Penipu kau!”, merupakan ekspresi yang berhubunan dengan pengalaman tentang orang tersebut. Kita merasa pantas menyebut orang tersebut sebagai penipu karena tindakannya yang tidak baik. Setiap sajak biasanya mengungkapkan aspek makna perasaan (feeling) penyair. Pertimbangkanlah sajak berikut :
Rintihnya dicurahkan parit pinggir sawah
Suara gemercik air yang jatuh ke atas air
Menggerak-gerakkan wajahnya yang tergambar di dalamnya
(Petani, Andrik Purwasito, 1983, di dalam BASIS, April 1987 – XXXVI-4).
Sebagai penyair, aspek makna perasaan yang menyelimuti dirinya diungkapkan di dalam kata-kata yang menyatakan pula tentang lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitarnya. Kadang-kadang apa yang kita rasakan tanpa disadari keluar dari mulut kita yang diungkapkan dengan kata-kata yang melibatkan makna aspek perasaan.

3.      Tone (Nada)
Aspek makna nada adalah sikap pembicara terhadap kawan bicara atau dikatakan pula sikap penyair atau penulis terhadap pembaca. Aspek makna nada ini melibatkan pembicara untuk memilih kata-kata yang sesuai dengan keadaan kawan bicara dan pembicara sendiri. Apakah pembicara telah mengenal latar belakang sosial-ekonomi pembicara sama dengan pendengar, apakah pembicara berasal dari daerah yang sama dengan pendengar?. Hubungan pembicara-pendengar (kawan bicara) akan menentukan sikap yang akan tercermin di dalam kata-kata yang akan digunakan.
Aspek makna nada ini berhubungan pula dengan aspek makna perasaan, bila kita jengkel maka sikap kita akan berlainan dengan perasaan bergembira terhadap kawan bicara. Bila kita jengkel akan memilih aspek makna nada dengan meninggi, berlainan dengan aspek makna yang digunakan bila kita memerlukan sesuatu, maka akan beriba-iba dengan nada merata atau merendah. Bandingkanlah aspek makna nada berikut :
(1)   Orang itu tidak tertarik tapi menarik.
(2)   Kareta api dari Yogya sudah datang.
(3)   Kereta api dari Yogya sudah datang?
(4)   Pergi!

4.      Intension (Tujuan)
Aspek makna tujuan ini adalah “his aim, concious or unconcious, the effect he is endeavouring to promote” (tujuan atau maksud, baik disadari maupun tidak, akibat usaha dari peningkatan). Apa yang kita ungkapkan di dalam makna aspek tujuan memiliki tujuan tertentu, misalnya dengan mengatakan “Penipu kau!” tujuannya supaya kawan bicara mengubah kelakuan (tindakan) yang tidak diinginkan tersebut.
Aspek makna tujuan ini melibatkan klasifikasi pernyataan yang bersifat :
1.      Deklaratif
2.      Persuasif
3.      Imperatif
4.      Naratif
5.      Politis
6.      Paedagogis (pendidikan)

Kita dapat melihat di antara keenam makna aspek tujuan tersebut di dalm penyuluhan pemerintah tentang kesehatan, dapat ditinjau dari makna aspek deklaratif, “Pemeliharaan kesehatan dapat menunjang program pemerintah di dalam memelihara lingkungan dan meningkatkan taraf kehidupan bangsa”; makna aspek persuasif, “Dengan pola makan empat sehat lima sempurna di tiap kampung akan menjamin kesehatan masyarakat”: makna imperatif. “Halaman-halaman rumah di tiap-tiap tempat ditanamai dengan apotek hidup”; makna aspek naratif. “Manusia hidup panjang dengan memelihara kesehatan dan memerhatikan sikap pemerintah dalam meningkatkan taraf hidup sehat”; aspek makna politis, “Rakyat sehat negara kuat; aspek makna paedagogis, “Mendidik hidup sehat supaya negara kuat”.

B.     Teori Referensial
Menurut Alston, teori referensial merupakan salah satu jenis teori makna yang mengenali atau mengidentifikasi makna suatu ungkapan dengan apa yang diacunya atau dengan hubungan acuan itu. Istilah referen itu sendiri menurut Palmer (1976:30) “reference deals with the relationship between the linguistic element, word, sentences, etc, and the nonlinguistic word of experience”. Yang dapat juga dikatakan bahwa hubungan antara unsur-unsur linguistik berupa kata-kata, kalimat-kalimat, dan dunia pengalaman yang nonlinguistik. Teori referensial atau teori korespondensi merujuk pada segitiga makna (symbol, reference, dan referent). Makna adalah hubungan antara reference dan referent yang dinyatakan lewat simbol bunyi bahasa baik berupa kata ataupun frase atau kalimat. Simbol bahasa dan rujukan atau referent tidak mempunyai hubungan langsung. Teori ini menekankan hubungan langsung antara reference dan referent yang ada di alam nyata.
Referen atau acuan boleh saja benda, peristiwa, proses atau kenyataan. Referen adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lambang. Jadi, kalau seseorang mengatakan sungai, maka yang ditunjuk oleh lambang tersebut yakni tanah yang berlubang lebar dan panjang tempat mengalir air dari hulu ke danau atau laut. Kata sungai langsung dihubungkan dengan acuannya. Tidak mungkin timbul asosiasi yang lain. Bagi mereka yang pernah melihat sungai, atau pernah mandi di sungai, sudah barang tentu mudah memahami apa yang dimaksud dengan sungai. Jika kita menerima bahwa makna sebuah ujaran adalah referennya, maka setidak-tidaknya kita terikat pula pada pernyataan berikut ini.
1)      Jika sebuah ujaran mempunyai makna, maka ujaran itu mempunyai referen,
2)      Jika dua ujaran mempunyai referen yang sama, maka ujaran itu mempunyai makna yang sama pula.
3)      Apa saja yang benar dari referen sebuah ujaran adalah benar untuk maknanya.
Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada referensnya, kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya, kata-kata seperti dan, atau, karena adalah kata-kata yang tidak bermakna referensial karena kata-kata itu tidak memiliki acuan.
C.    Teori Mentalis
Teori mentalis atau teori konseptual adalah teori semantik yang memfokuskan kajian makna pada prinsip-prinsip konsepsi yang ada pada pikiran manusia. Teori ini disebut teori pemikiran, karena kata itu menunjuk pada ide yang ada dalam pemikiran. Karena itu, penggunaan suatu kata hendaknya merupakan penunjukkan yang mengarah pada pemikiran.
Yang dimaksud dengan makna konseptual menurut definisi lain adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari sebuah konteks atau asosiasi apapun. Kata kuda memiliki makna konspetual sejenis binatang berkaki empat yang dapat dikendarai. Jadi, sesungguhnya makna konseptual sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, makna referensial. Makna konseptual ini bersifat logis, kognitif, atau denotatif. Makna asosiatif yang dibagi lagi atas makna konotatif yakni makna yang muncul dibalik makna kognitif. Demikian juga dengan makna idesional adalah makna yang muncul sebagai akibat penggunaan kata yang berkonsep. Kita mengerti ide yang terkandung di dalam kata demokrasi, yakni istilah politik (bentuk atau sistem pemerintahan, segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakil-wakilnya; pemerintahan rakyat. Gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara).
Kata demokrasi kita lihat dalam kamus, dan kita perhatikan pula hubungannya dengan unsur lain dalam pemakaian kata tersebut, lalu kita tentukan konsep yang menjadi ide kata tersebut. Demikian juga dengan kata partisipasi mengandung makna idesional ‘aktivitas maksimal seseorang yang ikut serta dalam suatu kegiatan’. Dengan makna idesional yang terkandung  di dalamnya kita dapat melihat paham yang terkandung di dalam suatu makna.

D.    Teori Wittgenstein
1.      Realitas Dunia (Wittgenstein I : Tractatus logico-philosophicus)
Salah satu uraiannya yang merupakan unsur yang sangat fundamental bahkan merupakan suatu dasar ontologis Tractus adalah konsepnya tentang realitas dunia yang dilukiskan melalui bahasa. Pemikiran ini melukiskan tentang hakikat dunia, dan karena hakikat dunia dilukiskan melalui bahasa, maka teori ini juga mendeskripsikan tentang hakikat bahasa. Dunia adalah suatu realitas sebagaimana kita lihat dan kita alami. Dunia itu adalah keseluruhan dari fakta-fakta. Fakta di sini berarti suatu keberadaan peristiwa, bagaimana objek-objek terhubung satu sama lain yang terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Dalam hubungan dengan dunia, fakta yang kompleks tersusun atas satuan terkecil yaitu fakta atomik. Totalitas dari fakta atomik itu adalah suatu dunia. Realitas dunia fakta tersebut diwakili melalui bahasa.
2.      Logika Bahasa (Wittgenstein I : Tractatus logico-philosophicus)
Menurut Wittgenstein, masalah-masalah filsafat sebenarnya terletak pada kesalah-pahaman penggunaan bahasa, dan lebih tepatnya penggunaan logika bahasa. Penggunaan bahasa dalam analisis teori-teori filsafat harus mampu mengungkapkan secara objektif fakta tentang dunia, dan hal ini harus dilakukan dengan menggunakan bahasa berdasarkan asas-asas logika. Dalam bukunya yang pertama,  Wittgenstein sebenarnya hanya berbicara mengenai bahasa, atau lebih tepatnya lagi jika dikatakan buku tersebut berbicara tentang logika bahasa. Wittgenstein berpendapat bahwa bahasa menggambarkan realitas dan makna itu tidak lain daripada menggambarkan suatu keadaan faktual dalam realitas melalui bahasa. Baginya, apa yang memang dikatakan dapat dikatakan secara jelas. Dan tentang apa yang tidak dapat dikatakan, orang harus berdiam diri.
3.      Teori Gambar (Wittgenstein I : Tractatus logico-philosophicus)
Pada zaman Wittgenstein, penggunaan logika bahasa dalam menjelaskan suatu konsep filsafat menimbulkan kekaburan makna, bahkan banyak ungkapan menjadi tidak bermakna apa-apa. Karenanya, Wittgenstein berfikir bahwa hanya ada satu kemungkinan cara untuk mengatasi kebingungan bahasa tersebut yaitu melalui proposisi dan proposisi harus merupakan suatu gambar dan perwakilan dari suatu realitas fakta. Dalam menjelaskan prinsip teori gambar, Wittgenstein menjelaskan bahwa proposisi adalah gambaran realitas. Sebuah gambar hanya memiliki ciri sebagaimana yang dimiliki oleh proposisi. Ia mewakili beberapa situasi yang dilukiskan melebihi dirinya sendiri dan tidak seorang pun perlu menjeskan tentang apa yang digambarkan.
Suatu proposisi adalah gambar bukan dalam arti kiasan melainkan secara harafiah. Wittgenstein berkeyakinan bahwa semua ucapan kita mengandung satu atau leboh proposisi elementer, artinya proposisi yang tidak dapat dianalisis lagi. Suatu proposisi elementer menunjuk pada suatu state of affairs dalam realitas. Suatu proposisi elementer terdiri dari  nama-nama. Tetapi, nama-nama tersendiri tidak mempunyai makna. Hanya proposisi yang mempunyai makna. Kalau Wittgenstein mengatakan bahwa dalam suatu proposisi elementer digambarkan suatu duduk perkara (state of affairs) dalam realitas, maksudnya adalah bahwa unsur-unsur dalam proposisi dan unsur-unsur realitas sepadan satu sama lain.  Dengan kata lain, strukutur proposisi sesuai dengan struktur yang terdapat dalam realitas. Misal: peta kota dengan kota itu sendiri. Pada taraf yang berbeda-beda pola-pola hubungan antara unsur-unsur tersebut secara formal sama biarpun secara material sama sekali berlainan. Hanya dengan teori gambarlah, menurut Wittgenstein, realitas dunia dapat dikatakan. Hanya dengan teori ini pula dapat diterangkan bahwa bahasa kita bermakna. Proposisi-proposisi dalam tautologi bukanlah proposisi sejati karena tidak mengungkapkan suatu pikiran, tidak mengatakan sesuatu, sebab tidak merupakan suatu picture (gambar) dari sesuatu. Tetapi, proposisi ini bukan tidak bermakna.
4.      Makna dalam penggunaan (meaning in use) – (Wittgenstein II : Philosophical Investigations)
Bagi Wittgenstein, sebuah tanda menjadi hidup atau menjadi bermakna justru dalam penggunaannya. Makna kalimat adalah tergantung penggunaannya dalam bahasa sedangkan makna bahasa adalah tergantung penggunaannya dalam hidup. Oleh karena itu, Wittgenstein menyarankan agar pemahaman terhadap bahasa mesti dianalisis berdasarkan penggunaannya dalam konteks-konteks tertentu (meaning in use).
Kata menunjukkan sesuatu yang dapat diinderai keberadaannya misalnya kambing, kuda, kursi. Kata-kata ini bermakna karena menamakan sesuatu tetapi terdapat juga banyak kata yang tidak menunjukkan sesuatu seperti sudah, boleh, maka, dan. Oleh karena itu, jangan ditanyakan apa arti sebuah kata tetapi bagaimana sebuah kata digunakan.
Wittgenstein mengemukakan pendekatan makna secara operasional, (pendekatan yang dapat menentukan tepatnya makna sebuah kata, di dalam kalimat), seperti pada :
(1)   Anak-anak pukul satu lekas pulang.
(2)   Anak-anak pukul satu cepat pulang.
Pada (1) lekas maknanya sama (sinonim) dengan cepat melalui tes subtitusi (penyulihan). Contoh lain pada kalimat berikut sebab sinonim dengan karena :
(3)   Ia tidak pergi ke sekolah karena sakit.
(4)   Ia tidak pergi ke sekolah sebab sakit.
Hal tersebut dibahas di dalam sinonim kata yang dapat saling menyulih (sinonim mutlak). Dalam teori Wittgenstein mengemukakan, pendekatan operasional ini mempelajari kata dalam penggunaannya, menekankan bagaimana kata secara operasional.
5.      Permainan Bahasa (languange games) – (Wittgenstein II : Philosophical Investigations)
Bahasa adalah fenomena yang kompleks. Di dalamnya, terdapat jumlah permainan bahasa yang tidak terhitung. Dengan bahasa yang sama, kita dapat memaparkan sesuatu, memberi perintah, menanyakan, berterima kasih, berdoa, bernyanyi, dst.
Untuk menjelaskan lebih lanjut bahwa bahasa dipakai dengan berbagai macam cara, dalam Philosophical Investigations Wittgenstein memperkenalkan istilah language games (permainan-permainan bahasa). Ada banyak sekali permainan. Ada permainan yang memakai bola atau kartu atau alat yang lain. Ada juga yang dimainkan sendiri tetapi ada juga permainan yang dilakukan dalam regu atau kelompok. Dan juga norma atau aturan yang dipakai untuk menentukan kemenangan sangat berbeda satu sama lain. Tidak ada gunanya dan tidak mungkin menunjukkan satu permainan sebagai model atau ideal bagi semua permainan lain. Sebagaimana terdapat banyak permainan, demikian juga terdapat banyak “permainan bahasa”. Arti kata-kata hanya bisa dipahami dalam kerangka acuan language games yang dipakai. Dengan kata lain, Wittgenstein dengan teorinya mengenai language games hendak mengatakan kepada kita bahwa kita harus melihat, membaca dan memahami suatu bahasa dalam konteksnya masing-masing.
Dalam Philosophical Investigations, ia menolak terutama tiga hal yang dulu diandaikan begitu saja dalam teori pertama, yaitu :
1)      Bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja yakni menetapkan keadaan-keadaan faktual.
2)      Bahwa kalimat-kalimat mendapat maknanya dengan satu cara saja yakni menggambarkan suatu keadaan faktual.
3)      Bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, biarpun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk dilihat.
III.             Penutup
Ada banyak teori yang telah dikembangkan oleh para pakar filsafat dan linguistik sekitar konsep makna dalam studi semantik.
Keempat aspek makna dalam teori pemberian makna dipertimbangkan melalui data bahasa Indonesia sebagai contoh pemahaman makna tersebut. Makna pengertian dapat kita terapkan di dalam komunikasi sehari-hari yang melibatkan apa yang disebut tema. Makna perasaan, nada, dan tujuan dapat pula kita pertimbangkan melalui data bahasa Indonesia maupun daerah.
Menurut Alston, teori referensial merupakan salah satu jenis teori makna yang mengenali atau mengidentifikasi makna suatu ungkapan dengan apa yang diacunya atau dengan hubungan acuan itu. Teori referensial atau teori korespondensi merujuk pada segitiga makna (symbol, reference, dan referent).
Teori mentalis atau teori konseptual adalah teori semantik yang memfokuskan kajian makna pada prinsip-prinsip konsepsi yang ada pada pikiran manusia. Teori ini disebut teori pemikiran, karena kata itu menunjuk pada ide yang ada dalam pemikiran.
Teori Wittgenstein dalam pendekatan makna terfokus pada teori yang dikemukakannya di dalam buku Philosophical Investigation tertulis bahwa kata menunjukkan sesuatu yang dapat diinderai keberadaannya misalnya kambing, kuda, kursi. Kata-kata ini bermakna karena menamakan sesuatu tetapi terdapat juga banyak kata yang tidak menunjukkan sesuatu seperti sudah, boleh, maka, dan. Oleh karena itu, jangan ditanyakan apa arti sebuah kata tetapi bagaimana sebuah kata digunakan.
Demikian kajian dari makalah kami yang mempersembahkan teori-teori makna untuk menambahkan wawasan kita mengenai kajian serta pendekatan makna dalam semantik.


DAFTAR PUSTAKA
Djajasudarma, T. Fatimah. 2013. Semantik 2 : Relasi Makna (Paradigmatik-Sintagmatik-Derivasional). Bandung : Refika Aditama
Wittgenstein, Ludwig. 2004. Tractatus Logico-Philosophicus. Ebook. May, Posting Date: June 11, 2009. diunduh Oktober 2010
Wittgenstein, L. 1953. Philosophical Investigations. Oxford : Blacwell & New York : Macmillan.
http://triseptiaa.blogspot.com/2013/12/teori-teori-tentang-makna.html
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS