Pages

Kemana kampungku?

Senin, 22 Mei 2017



Kemana kampungku?
Kemana hijau dan sejuknya kampungku?
Kemana?
Aku melihat tidak ada lagi yang serupa dengan yang dulu. Kini jauh berbeda dengan yang dahulu. Terik matahari sudah sangat menusuk, polusi sangat menyesakkan, telinga sudah diusik dengan kebisingan.
Setelah 10 tahun, akhirnya kaki ini menginjakkan kampung halaman, beberapa sudah tiada dan bertambah. Yang kecil sudah besar, yang besar sudah semakin besar bahkan sudah tiada. Sepi. Lagi-lagi batin ini menggerutu perbedaan. Mengapa semuanya tampak beda? Seperti ini bukan tempat yang kukenali.
Saat ini aku duduk di balkon rumah nenek, bukan lagi duduk di belakang rumahnya. Yah, tempat rehat sejenak sudah harus ditempuh dengan tangga. Sekarang yang kulihat adalah rumah-rumah yang sudah menjulang, untung saja masih terlihat landscape pegunungan di sisi kanan. Dahulu jika bersantai di belakang rumah, yang kupandang hanyalah persawahan, sumur, binatang perternakan yang tidak kusukai, dan warga-warga yang asik bercengkeraman. Sedangkan, hari ini semua rumah memiliki tembok besar dan pagar yang membatas. Dulu itu, aku masih bisa melihat dari beberapa celah pembatas apa yang sedang dilakukan para tetangga. Namun, kini tidak ada sama sekali bayangan mengenai apa yang sedang terjadi di sebelah sana.
Rumah ini dulunya hanyalah hunian dengan lantai tanah basah yang padat, atapnya sempat terbuat dari daun pandan kering tapi terakhir kali sudah terbuat dari seng, dulu ada sumur dilengkapi dengan terali gayung yang terikat pada tiang besi di tengah sumur, sangat asik jika sebelum mandi harus menimba beberapa volume air, atau jika ingin mencuci tangan harus memompa air tapi kini sudah tinggal praktis yah kalau mau mandi tidak perlu lagi berjuang ke sumur dan jika ingin membersihkan tangan sudah bisa di westafel. Rumah yang dulunya didominasi dengan taman dan kandang sekarang tersulap menjadi deretan ruko 6 petak. Dulu terasa sangat sejuk tapi kini kegerahan jika tidak menyalakan pendingin ruangan. Dulu kita sangat diwajibkan mengenakan pakaian tebal karena suhu yang sangat dingin tapi kini aku malah berpakaian hampir telanjang dengan balutan baju tanpa lengan dan celana yang sangat pendek.
Di depan rumah yang berlalu-lalang hanyalah beberapa bus dan tidak banyak yang melintas mobil pribadi. Sepeda motor yang biasa lewat masih dapat dihitung berapa banyak. Sayangnya, itu dulu. Kini jika mau kemana-mana semuanya sudah tidak ingin berjalan kaki padahal jaraknya sangat dekat. Kalau mau ke pasar kita tinggal menunggu delman. Sekarang bukan lagi ke pasar tapi ke mall dan tidak ada lagi pak kusir karena ada pak sopir.
Memori bermain-main di sawah, memancing di empang, berlarian di sekitar kebun, semua itu tidak bisa direka ulang. Sawah sudah tinggal beberapa petak, empang sudah jadi tempat pembuangan sampah, kebunnya tinggal satu pohon. Sekarang aku mau berlibur, tapi aku diboyong ke tempat rekreasi air. Wahana waterboom menginjak-injak persawahan hijau kampungku. Sangatlah tidak natural liburan kali ini.
Pukul 7 pagi biasanya masih sangat gelap dengan kabut yang menghalangi jarak pandang satu meter. Sekarang, pukul 7 pagi matahari sudah sangat hangat. Tak ada lagi kabut yang mengaburkan padangan atau yang menyelimuti tubuh dengan hawanya yang sangat dingin. Siapa yang bertanggungjawab atas kerusakan iklim di kampungku? Apakah ini terjadi hanya di kampungku saja? Masih adakah belahan bumi lain yang terjaga dengan alaminya alam?
Ada lagi yang membuatku seperti asing di kampung sendiri, masyarakat kini tak seramah dulu. Dahulu jika kami yang dari kota perantauan kembali ke kampung halaman, keluarga sekampung akan kumpul di rumah nenek. Akan ada makan besar bersama. Sayangnya, itu tinggallah kenangan. Kali ini mereka sibuk dengan urusannya. Semuanya sudah memiliki aktivitas seperti orang kota.
Kemudian, nenek. Dulu masih sehat bugar berjalan ke sawah. Kini berjalan pun harus dipapah. Tidak ada lagi yang bisa menjagaku atau mengajakku berkeliling kampung karena kondisi nenek yang tidak memungkinkan lagi.
Beberapa meter dari rumah ada pabrik yang sudah beroperasi sejak 8 tahun yang lalu. Pabrik tisu dan kertas. Limbah dari pabrik itu menghancurkan pertumbuhan di lahan sawah. Berapa banyak penebangan pohon yang dilakukan hanya untuk beberapa lembar kertas dan tisu? Karena pabrik itu juga yang melenyapkan kesejukan kampungku. Polusi sangat menyesakkan. Kabut berubah menjadi asap yang beracun.
Alamku yang malang, kampungku yang rusak. Mereka dijamah dengan tangan-tangan penguasa. Rakyat kecil berhadapan dengan penderitaan. Kami bahkan lupa bagaimana kabut itu pernah menyelimuti kampung ini. Hijaunya sawah sudah mati atas injakan bangunan pabrik yang jahat mengaliri limba dan menghembuskan asap gelap. Deretan rumah saling bermusuhan dan belomba-lomba menemboki diri. Setiap orang menganggap dirinya untuk siap bersaing.
Aku ingin pulang.
Pulang ke masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS