Kemana
kampungku?
Kemana
hijau dan sejuknya kampungku?
Kemana?
Aku
melihat tidak ada lagi yang serupa dengan yang dulu. Kini jauh berbeda dengan
yang dahulu. Terik matahari sudah sangat menusuk, polusi sangat menyesakkan,
telinga sudah diusik dengan kebisingan.
Setelah
10 tahun, akhirnya kaki ini menginjakkan kampung halaman, beberapa sudah tiada
dan bertambah. Yang kecil sudah besar, yang besar sudah semakin besar bahkan
sudah tiada. Sepi. Lagi-lagi batin ini menggerutu perbedaan. Mengapa semuanya
tampak beda? Seperti ini bukan tempat yang kukenali.
Saat
ini aku duduk di balkon rumah nenek, bukan lagi duduk di belakang rumahnya. Yah,
tempat rehat sejenak sudah harus ditempuh dengan tangga. Sekarang yang kulihat
adalah rumah-rumah yang sudah menjulang, untung saja masih terlihat landscape
pegunungan di sisi kanan. Dahulu jika bersantai di belakang rumah, yang
kupandang hanyalah persawahan, sumur, binatang perternakan yang tidak kusukai,
dan warga-warga yang asik bercengkeraman. Sedangkan, hari ini semua rumah
memiliki tembok besar dan pagar yang membatas. Dulu itu, aku masih bisa melihat
dari beberapa celah pembatas apa yang sedang dilakukan para tetangga. Namun,
kini tidak ada sama sekali bayangan mengenai apa yang sedang terjadi di sebelah
sana.
Rumah
ini dulunya hanyalah hunian dengan lantai tanah basah yang padat, atapnya
sempat terbuat dari daun pandan kering tapi terakhir kali sudah terbuat dari
seng, dulu ada sumur dilengkapi dengan terali gayung yang terikat pada tiang
besi di tengah sumur, sangat asik jika sebelum mandi harus menimba beberapa
volume air, atau jika ingin mencuci tangan harus memompa air tapi kini sudah
tinggal praktis yah kalau mau mandi tidak perlu lagi berjuang ke sumur dan jika
ingin membersihkan tangan sudah bisa di westafel. Rumah yang dulunya didominasi
dengan taman dan kandang sekarang tersulap menjadi deretan ruko 6 petak. Dulu
terasa sangat sejuk tapi kini kegerahan jika tidak menyalakan pendingin
ruangan. Dulu kita sangat diwajibkan mengenakan pakaian tebal karena suhu yang
sangat dingin tapi kini aku malah berpakaian hampir telanjang dengan balutan
baju tanpa lengan dan celana yang sangat pendek.
Di
depan rumah yang berlalu-lalang hanyalah beberapa bus dan tidak banyak yang
melintas mobil pribadi. Sepeda motor yang biasa lewat masih dapat dihitung
berapa banyak. Sayangnya, itu dulu. Kini jika mau kemana-mana semuanya sudah
tidak ingin berjalan kaki padahal jaraknya sangat dekat. Kalau mau ke pasar
kita tinggal menunggu delman. Sekarang bukan lagi ke pasar tapi ke mall dan
tidak ada lagi pak kusir karena ada pak sopir.
Memori
bermain-main di sawah, memancing di empang, berlarian di sekitar kebun, semua
itu tidak bisa direka ulang. Sawah sudah tinggal beberapa petak, empang sudah
jadi tempat pembuangan sampah, kebunnya tinggal satu pohon. Sekarang aku mau
berlibur, tapi aku diboyong ke tempat rekreasi air. Wahana waterboom
menginjak-injak persawahan hijau kampungku. Sangatlah tidak natural liburan
kali ini.
Pukul
7 pagi biasanya masih sangat gelap dengan kabut yang menghalangi jarak pandang
satu meter. Sekarang, pukul 7 pagi matahari sudah sangat hangat. Tak ada lagi
kabut yang mengaburkan padangan atau yang menyelimuti tubuh dengan hawanya yang
sangat dingin. Siapa yang bertanggungjawab atas kerusakan iklim di kampungku?
Apakah ini terjadi hanya di kampungku saja? Masih adakah belahan bumi lain yang
terjaga dengan alaminya alam?
Ada
lagi yang membuatku seperti asing di kampung sendiri, masyarakat kini tak
seramah dulu. Dahulu jika kami yang dari kota perantauan kembali ke kampung
halaman, keluarga sekampung akan kumpul di rumah nenek. Akan ada makan besar
bersama. Sayangnya, itu tinggallah kenangan. Kali ini mereka sibuk dengan
urusannya. Semuanya sudah memiliki aktivitas seperti orang kota.
Kemudian,
nenek. Dulu masih sehat bugar berjalan ke sawah. Kini berjalan pun harus
dipapah. Tidak ada lagi yang bisa menjagaku atau mengajakku berkeliling kampung
karena kondisi nenek yang tidak memungkinkan lagi.
Beberapa
meter dari rumah ada pabrik yang sudah beroperasi sejak 8 tahun yang lalu.
Pabrik tisu dan kertas. Limbah dari pabrik itu menghancurkan pertumbuhan di
lahan sawah. Berapa banyak penebangan pohon yang dilakukan hanya untuk beberapa
lembar kertas dan tisu? Karena pabrik itu juga yang melenyapkan kesejukan
kampungku. Polusi sangat menyesakkan. Kabut berubah menjadi asap yang beracun.
Alamku
yang malang, kampungku yang rusak. Mereka dijamah dengan tangan-tangan
penguasa. Rakyat kecil berhadapan dengan penderitaan. Kami bahkan lupa
bagaimana kabut itu pernah menyelimuti kampung ini. Hijaunya sawah sudah mati
atas injakan bangunan pabrik yang jahat mengaliri limba dan menghembuskan asap
gelap. Deretan rumah saling bermusuhan dan belomba-lomba menemboki diri. Setiap
orang menganggap dirinya untuk siap bersaing.
Aku
ingin pulang.
Pulang
ke masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar