Pages

Recehan dalam Kemasan, Belanja tanpa Lembaran

Jumat, 18 November 2016



Kalian sudah pakai ponsel pintar? Nah, bagaimana dengan uang pintar?

Yang namanya masyarakat cerdas tentu bisa memanfaatkan ponsel dan uang pintar, kan?

Kali ini saya memiliki tekad yang besar untuk berbagi pengalaman menggunakan e-money kepada kalian semua yang sebagian besar masih belum tahu atau belum paham mengenai uang elektronik.

Pada era digital zaman sekarang, sudah barang tentu untuk menguasai segala perangkat yang berbasis elektronik. Kemudahan yang ditawarkan itu tidak main-main. Boleh dikatakan segala aktivitas manusia sudah dimanjakan dengan berbagai fitur yang canggih. 

Titik fokus pembahasan saya ini bertolok pada metode pembayaran yang semakin bervariasi. Jika ada pilihan, tentu kita memilih teknik transaksi yang mudah, praktis, dan efisien. 

“Kalau sudah pernah belanja dengan kartu debit atau kredit, bagaimana dengan e-Money?”

Pembayaran dengan uang elektronik atau boleh juga dikatakan recehan yang terkemas elektrik ini berbeda dengan penggunaan kartu debit maupun kartu kredit saat belanja. Perbedaannya terletak pada keefesienannya.

Well, its time to curhat nih.
Ceritanya, beberapa hari yang lalu saya mendapat hadiah dari bank kesayangan (ciee...) maksudnya dari Bank Mandiri. Awalnya, saya sangat ragu dan merasa tidak begitu perlu dengan kartu tersebut. Buat apa sih ini? Benarkah isinya ada uang gitu? Ketika kartu itu sudah berada di genggaman, saya sangat tidak tertarik untuk membaca buku panduannya, langsung saja saya simpan di dompet. Tapi, karena pihak BI sudah melakukan sosialisasi bersama NET TV mengenai manfaat uang elektronik, tanpa pikir panjang saya baca isi buku panduan e-money itu. Rasa penasaran pun memuncak, akhirnya saya berlari kencang sekencang-kencangnya (ah, lebay) menuju Indomaret.
“Selamat siang dan selamat datang di Indomaret.”
“Mba, di sini bisa bayar pakai Mandiri e-Money?”
Karyawan Indomaret itu malah kebingungan.
“Itu apa yah, dek?
“Uang elektronik dari Bank Mandiri, mba.”
“Oh. Ga bisa.”

Membawa perasaan yang kecewa dan malu, saya keluar tanpa membawa kresekan isi belanjaan. Harapan saya untuk mendapat pengalaman pertama memakai e-money hampir saja pupus. Namun, rasa curiga terhadap karyawan itu untung saja ada. Jadi, iseng saja ke Indomaret yang lain, kunjungan kedua pun tidak sia-sia, karyawan super ramah dan cerdas yang melayaniku.
“Boleh, mba. Mandiri e-Money itu sama seperti Indomaret Member Card. Silahkan belanja minimal 20.000.”

Tuh, kan. Bisa, woi! Itu karyawannya aja yang gaptek.
Sebenarnya saya cuma ingin ‘mencoba’, jadi pas disuruh belanja saya malah gak tahu apa yang harus diambil. Kebetulan, ada promosi beli indomie 5bks hanya 9.500 nah langsung saja ambil 5bks ditambah es krim gocengan dan minuman bervitamin gitu. Totalnya sudah melebihi 20.000 tepatnya 20.400. Mba Indomaretnya cuma menempelkan e-Money yang saya bawa ke reader EDC, lalu struknya muncul deh.

Ga ribet, asli ga rempong. Kalau belanja pakai debit card biasanya harus masukkan PIN dan tandatangan pula. Pakai e-money gak serepot itu kok. Selain itu, ada juga nih keuntungan plus dari pembayaran menggunakan e-money yaitu tidak ada lagi kalimat ‘Enam ratus rupiahnya kami donasikan saja ya.’ Uang kembalian pun utuh sesuai dengan jumlah transaksi.

Buat kalian yang masih ragu menggunakan uang elektronik baiknya perasaan takut atau was-was itu dibuang aja deh. Apa sih yang dikhawatirkan? Tidak ada, guys! Biaya kartu perdana pun hanya 20ribu. Tidak ada biaya administrasi per bulan. Kartunya aktif seumur hidup. Batas saldo minimum tidak ada. Bayar tinggal tempelin aja. Keluarin uang logam pun gak perlu malu lagi karena sudah terkemas di dalam chip.

Sepulang dari Indomaret, saya menceritakan pengalaman saya yang tadi ke saudara-saudara dan teman-teman. Alhasil, mereka langsung mau pakai e-Money. Yaiyalah, siapasih yang tidak mau belanja tanpa lembaran nominal?

Setelah merasakan kenikmatan dari Mandiri e-Money, kini saya sudah memberanikan diri pakai T-Cash yaitu uang elektronik yang dimiliki oleh pihak Telkomsel. Pakai T-Cash juga menang banyak deh. Beberapa restoran yang menerapkan pembayaran Tcash sering banget ngasih harga promo. Bayar pas lagi telfonan aja bisa. Seru banget deh. Bukan itu aja, saya bisa beli pulsa melalui Tcash dengan harga yang jauh lebih murah dari kios pulsa yang lain.

Teman-teman yang cerdas itu harus banget dan wajib mendukung gerakan nasional non-tunai. Semua keunggulannya memihak banget. Kalian masih betah menerima uang dari tangan-tangan yang belum tentu sehat? Percuma uang banyak dalam genggaman kalau ditambahin kuman. Dewasa ini juga banyak banget kejadian kriminal yang mengintai, cari aman saja, jangan bawa lembaran uang yang tebal deh. Kemasin aja dalam kartu.

Saya sangat mengapresiasi kinerja Bank Indonesia yang telah memperkenalkan Pembayaran Non-Tunai kepada masyarakat, orang-orang yang sebelumnya belum pernah pegang kartu ATM, kini sudah berani belanja pakai uang elektronik. Saudara-saudara kita yang memiliki keterbatasan dalam melihat juga sangat dibantu dengan adanya e-Money ini, mereka tidak perlu lagi mengambil waktu untuk meraba lembar uang saat belanja, mereka tinggal ngasih kartu, dan tidak menunggu lama lagi hanya untuk uang kembalian.

Kalian masih bengong? Aduh, cepat buat uang elektronik!

Sampai Jumpa Lagi, Ramadhan!

Selasa, 05 Juli 2016

Hari ini tepat pada tanggal 30 ramadhan 1437 H.

Setahun yang lalu, 2015. Doaku yang paling kutekankan adalah permohonan agar diberikan kesempatan berjumpa kembali dengan bulan suci ramadhan. Alhamdulillah, kali ini doa tersebut terucap lagi di hari akhir ramadhan kali ini.

Namun, aku sangat malu. Rasanya diri ini hanya ingin menunduk. Pantaskah aku merasa tenang saat Allah mengabulkan keinginanku, tetapi lagi lagi diri ini tak menyempurnakan ibadah saat bertemu kembali dengan ramadhan.

Tahun ini, rasa tidakpuas mengabdikan diri kepada sang Ilahi yang masih jauh dari totalitas masih muncul. Kemalasan dan kemasabodohan masih 'sengaja' terikat di dalam hati padahal Allah sudah menunjukkan kunci-kunci untuk melepasnya. Kesempatan dalam bulan ini sungguh luas untuk mengumpulkan amal ibadah untuk penerangan di hari akhir kehidupan.

Mata ini tak kuat lagi membendung genangan air mata, ketidaksempurnaan ibadahku sangat kusesali. Bulan suci yang sangat dicintai kini hendak pergi, rasanya tak kuat mengatakan sampai jumpa apalagi selamat tinggal.

Momentum sahur yang senyap akan sangat menggetarkan hati ingin mengulang kembali, proses menantikan buka puasa dengan nuansa ramai bersama radio mesjid akan membuat jantung ini berdebar ingin merasakan kembali, saat-saat menyantap takjil bersama sanak keluarga merupakan momen yang sangat langka dan tentu akan membuat hati ini ingin seperti itu lagi, langkah ke mesjid untuk menunaikan sholat isya dan tarwih juga mengambil posisi pada program-program ramadhan yang segera dirindukan.

Banyak kepingan kenangan yang ingin disatukan kembali setelah bulan suci ramadhan berlalu.

Semalam air mata ini hendak menderai saat imam tarwih terus melantunkan ayat suci pada juz 30 yang sangat khusyuk dalam rakat shalat. Suaranya yang merdu lembut akan dirindukan.

Ya Allah, maafkan diri ini yang tak berhasil menamatkan dan mengamalkan isi al-quran di bulan ini, maafkan karena tak banyak menderma di bulan yang kau janjikan bahwa segala sedekah akan diterima, sungguh maafkan diri ini karena tak menyempurnakan sholat malam. Banyak sunnah yang tak kulakukan di bulan-Mu ini.

Maafkan diriku yang tak memanfaatkan 10 malam terakhir untuk mencari lailatul qadr. Ampunkanlah segala kekhilafan selama menjalankan puasa ramadhan.

Banyak harapan dan doa yang terpanjatkan, semoga dapat terkabul. Banyak kesalahan yang tak sengaja dilakukan, semoga termaafkan.

Sampai jumpa pada tahun 1438 H.

Penyesalan terbesarku.

Selasa, 14 Juni 2016

Langsung saja, penyesalan terbesarku adalah pernah terpanah oleh iblis untuk memiliki perasaan terhadap seorang laki-laki pada 3 tahun yang lalu.

Saya sangat menyesal jatuh hati pada seseorang yang kejam itu, saya sangat menyesal menyepakati hubungan yang rumit ini, saya sungguh menyesal bertahan.

Dia memisahkanku dengan sahabat-sahabatku secara terpaksa, dia pernah merusak hubunganku dgn orgtuaku, dia pernah membuatku menjauh dari guru-guruku, dia sering mencaci-maki diriku tiap kali berbuat salah sedikit, dia pernah menampar-nampar pipiku, dia pernah memukuliku, dia pernah membentak-bentakku di depan umum, dia pernah memukul kepalaku, dia pernah sengaja membiarkanku kehujanan agar aku sakit, dia pernah memfitnahku, dia selalu mengancam keselamatanku jika aku tak mengikuti kemaunnya, dia selalu ingin membunuhku dan melukai orang-orang di sekitarku kalau ada yang aku lakukan tak sesuai dengan keinginannya, dia selalu memaksaku mengikuti maunya, dia melarangku berorganisasi, dia melarangku dekat dengan laki-laki lain bahkan sekalipun itu sepupuku, dia sangat melarangku kemana-mana meski itu hanya ke rumah saudara, melarangku bermudik, dan banyak hal tak wajar yang dia lakukan ke saya.

Katanya aku ini tak pernah berjuang untuk dirinya. Katanya aku ini tidak menganggapnya istimewa. Katanya aku ini tak pernah ada kalau dia lagi butuh. Katanya aku ini lebih sayang keluarga drpd dia. Katanya aku ini egois tak pernah memikirkan perasaan cowo itu.

menurut Anda, siapakah yang berjuang? Bukankah saya yang harus berjuang menahan rasa sakit itu?

Dia merasa 'berjuang' karena dia selalu mengajakku makan ini itu.  Padahal apa? Makanan itu tak membuatku kenyang sekenyang hatiku yang makan semua kepedihan dari dia. Dia merasa banyak berjuang karena selalu mengeluarkan uang banyak untukku. Padahal kenyatannya aku tak pernah meminta semua itu, dia saja yang selalu memaksaku menerima kebaikannya.

Aku tidak tahu kepada siapa aku harus mengadu, aku tidak tahu siapa yang akan menolongku.

Aku selalu ingin lepas dari penjaranya, aku selalu ingin berada di jalan Allah yang benar. Namun, aku belum punya keberanian. Sesekali aku meminta putus, dia lagi-lagi mengancamku. Aku tidak tahu siapakah sosok yang akan menolongku dari dia. Aku terlalu hina untuk meminta bantuan orang lain. Pastilah jika saya mengatakan semua ini ke orang lain, mereka terlebih dahulu mencacimaki lalu entah kapan ingin menolong.

Di sisi lain, saya punya harapan bahwa Allah pasti memberiku jodoh yang sesuai denganku. Namun, terkadang saya pasrah menerima takdir jika memang seumur hidupku saya harus disiksa lahir batin oleh dia.

Saya berharap agar dia diberi hidayah bahwa tak sepatutnya kau memperlakukanku seperti itu.

Tolong aku, kawan!

Lagi, dia menghambat langkahku...

Senin, 13 Juni 2016

Kali ini saya ingin bercerita tentang kenyataan bahwa dibalik tawa itu ada tangis yang ingin mencair.

Hari ini saya sempat tertawa hingga lupa bahwa ada malaikat pencabut nyawa mengawasiku.

Benar, mengapa saya sebahak itu tertawa padahal nyawaku bisa saja tak di ragaku seketika itu.

Sempat tertawa hanya berlangsung beberapa menit.

Hari ini pula ada seseorang yang terus mengancam keselamatanku bahkan kedamaian keluargaku dan orang-orang di sekitarku. Dia terus menekanku untuk tidak mengambil kesempatan itu. Dia benar-benar tidak ingin melihatku bahagia. Nyatanya, ini bukan yang kali pertama. Sebelumnya dia sempat sengaja membuatku hampir mati hanya karena melarangku ikut sebuah program wirausaha.

Kepada siapa saya harus bercurah?

Hanya melalui ini saya menoreh kesedihan yang mendalam. Memang bukan tentang kedukaan ditinggal oleh keluarga selama-lamanya. Tetapi, ini tentang ancaman yang mengoyak hati. Sekali napas berhembus, saat itu pula mata menguras air untuk mengalir pada permukaan pipi.

Sejak kemarin hingga hari ini, dia terus membayangiku kehancuran sebagai dampak jika saya memutuskan untuk mengikuti program yang hendak membawaku pada tanah perantauan. Itu mimpiku, namun dia berusaha tegas menghalangiku. Dia mengamuk, emosinya berkecamuk. Bahkan hampir menghantamku dengan pukulan tragis.

Berkali-kali aku minta petunjuk kepada sang Ilahi, namun apa daya bukannya ingin bersuudzon terhadap-Nya saya merasa iman dan pahala saya sangat minim hingga sulit menemukan petunjuk jalan dari-Nya.

Nasibku lebih terasa menderita dibanding mereka yang berada dibalik jeruji besi, atau mereka yang terpasung. Kakiku seperti diikat oleh besi, tanganku seperti dipelintir, hati ini seperti ditekan keras. Mimpi itu akhirnya terus menjadi mimpi karena ketakutanku akan ancamannya.

Mungkin ada yang bilang 'mengapa saya harus takut, padahal dia bukan orangtuaku bahkan bukan Tuhanku?' Yah, benar. Tapi, saya mengkhawatirkan dia. Jadi, niatan untuk belajar di luar kota harus saya urung kembali.

Berkat dia, saya menjadi tak punya harapan untuk hidup.

Sialnya, saya kecolongan. Mamaku membaca sms kasar dari dia. Bertambahlah kesedihanku hari ini.

Saya serasa ingin lari dari kehidupan yang kelam ini. Berharap untuk bebas dari dia pun saya takut.

Ya Allah, jikalau saya tiada. Sampaikanlah maafku kepada orangtuaku karena telah memenjarakan diriku dari dia.

WACANA NARASI : LUKA BATIN

Senin, 25 April 2016



Luka Batin

Saya ingin bercerita tentang sebuah luka yang sangat menusuk batin ini hingga ke bagian paling dalam. Tentang sebuah ujian, sebuah teguran, sebuah hidayah, mengenai sosok tersayang yang pergi meninggalkan kehidupan yang kelam. Luka itu muncul berantai pada tahun yang sama, bulan yang juga serupa, hari yang bergilir. Ini bukan fiktif yang menarik untuk dibaca seperti karangan cerpen yang membuat pembaca berimajinasi ke masa depan.  Tahun 2006 silam...

Hari ini jantungku berdegup dahsyat hingga seperti tak mengenal kata pelan saat terguncang. Telingaku bagaikan mengeluarkan kepulan asap. Mataku menyorot tanpa arah, bola mata seperti memompa air, kelopak tak dapat lagi membendung genangan air mata. Kaki gemetar seperti tak kuat lagi menopangku, bibirku kaku tak kuat melontar suatu kata, nafasku terengah lemah, sungguh saya tak dapat mempercayainya. Berita itu sangat kuat membuatku jatuh tak berdaya padahal hanya datang dari ujung telepon.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojioun...” kalimat itu terucap dengan nada yang rendah.
Saya tak dapat berkata sekata pun. Tak pikir panjang, semua orang yang ada di rumah bergegas pergi menuju kediaman nenek. Di perjalanan saya terus teringat saat-saat terakhir bersama almarhumah. Saya sangat tak bisa lupa ketika menginap beberapa malam di rumah itu, yang sekarang menjadi rumah duka. Almarhumah sangat senang berbagi ranjang bersama keponakannya yang paling dia sayangi ini. Dia mengingatkanku untuk berdoa sebelum terlelap dalam kelelahan. Dia selalu mengingatkanku untuk tidak telat makan. Ingatanku tentang hari pertama dia jatuh sakit masih begitu lengket. Saya menjaganya, saya membantu nenek mengurus anak cantiknya itu. Saya sempat melihat bahwa dia hampir menyerah dengan kesakitan dada dan kesusahan bernapas yang dia alami. Saya selalu memberi isyarat bahwa saya sangat membutuhkannya jadi dia seharusnya mampu melawan kesakitan itu. Ketika sakit dia hampir tidak menyusahkan siapa pun.
Jasad yang terkujur kaku itu bibiku. Adik dari Ibuku yang masih berusia 17 tahun. Dia bahkan belum menggapai cita-citanya, masa-masa remajanya tak lama ia nikmati. Selama hidupnya dia terkenal sangat baik dan ramah oleh teman-temannya. Bagiku dia adalah seorang bibi yang sangat perhatian. Dia selalu menyemangatiku untuk menyelesaikan bacaan quranku. Dia tak pernah melawan sesuatu yang diperintahkan oleh kedua orangtuanya dan selalu patuh terhadap ke-10 kakaknya. Dia sangat setia menjaga dan menyayangi adiknya semata wayang. Dia benar-benar sangat dekat denganku, dia seperti sahabatku meski usia kami sangat berbeda jauh. Dia selalu setia mendengarkan ceritaku yang sangat konyol tentang masa kanak-kanak. Saya sangat gembira menyimak berbagai cerita tentangnya.
Saat almarhumah dirawat inap di rumah sakit, dia selalu memintaku untuk tetap di sampingnya. Tapi, saya tak tahu mengapa saya tak ingin ada di sampingnya pada waktu itu. Mungkin karena saya tak mampu melihat dia terbaring lemah dengan selang infus dan alat bantu bernapas. Hari ini saya lebih tidak kuat melihat dia terlentang tanpa ada desah napas. Dia meninggalkan dunia fana ini karena telah kalah melawan penyakit H5N1 yang juga dikenal dengan flu burung. Sejumlah media pemberitaan lokal maupun internasional datang ke rumah duka untuk memastikan bahwa almarhumah merupakan korban flu burung. Penyakit ini masih sangat asing di mata dunia sehingga sangat mengundang perhatian seantero jagad raya. Tidak ada yang harus dibanggakan dari keramaian pada hari ini. Sejumlah wartawan yang antusias ingin mewawancarai beberapa anggota keluarga tak dapat disambut dengan baik. Air mata ini mengalir sangat deras dari pangkal ujung dada. Bukan hanya saya yang terisak tangis separah ini, kulihat ratusan mata yang ada di rumah ini mengeluarkan derai air mata. Sahabat-sahabat almarhumah tak ada yang kuasa melihat sahabatnya menutup mata selama-lamanya. Lantunan ayat dari surah yasiin terus terngiang di sisi mendiang. Sungguh saya tak menyangka hari kamis ini menjadi hari duka yang mendalam.
Sebelum dilakukan proses memandikan jenazah, saya merasa sangat kasihan kepada nenek. Fisik yang sudah tua itu sangat lemah memeluk anaknya yang terakhir kalinya. Tak ada yang menyangka bahwa dia pergi begitu cepat mendahului kita semua. Lekuk senyumnya telah tertutupi kain kafan, wajahnya tak dapat lagi terlihat. Dia sudah tiada di kehidupan ini. Saya percaya bahwa semua orang pasti memetik bunga yang indah terlebih dahulu, jadi seperti itu pula Tuhan memanggil hamba-Nya.
Bibi yang tersayang kini sudah berada di liang lahat selama 5 hari. Belum hilang kepiluan dari hati dan pikiran kami semua, sekarang nenek dan anak bungsunya dilarikan ke rumah sakit. Mereka jatuh sakit dengan gejala seperti yang almarhumah alami. Lagi-lagi saya mendapat berita yang tidak baik, untung saja ini bukan berita kematian. Belum ada hasil diagnosis bahwa mereka juga mengidap penyakit yang sama. Dalam keadaan yang sangat lemah, nenek senantiasa menasehati anak-anaknya untuk saling menyayangi dan terus saling menjaga. Di bilik yang sama, nenek dan adik bungsu Ibuku menerima perawatan intensif. Namun, tiga hari kemudian mereka harus terpisah. Nenek harus dilarikan ke ruangan ICU karena tiba-tiba saja detak jantungnya tidak stabil. Kami sangat panik menghadapi situasi genting ini, hari ini tepat sepekan bibi Andriwinarti pergi menghadap sang Ilahi. Hari ini juga nenek tercinta pergi meninggalkan kami semua menyusul anak gadisnya yang telah berada di sana terlebih dahulu.
Mengapa ini terjadi? Peristiwa ini sangat mengguncang mental kami. Saya pun yang masih belia merasakan kesedihan yang sangat pilu. Mengapa orang-orang terkasih kami pergi dengan sangat cepat, belum ada langkah untuk melupakan kepedihan duka ketika tujuh hari yang lalu bibi wafat. Sekarang duka di dalam hati kami semua tertumpuk dan membuat kami dalam nuansa kesedihan yang lebih parah. Takdir sang pencipta begitu ajaib. Tak ada yang dapat memprediksi bahwa dalam sepekan kami kehilangan dua anggota keluarga. Tanpa disangka, ternyata di sebelah makam bibi belum terisi hingga jasad nenek ditempatkan tepat di sisi makam bibi. Tuhan sudah menyiapkan liang lahat untuk nenek agar bibiku dapat dijaga olehnya.
Kami semua menyembunyikan kabar duka bahwa nenek telah tiada karena kami sangat mengkhawatirkan kesehatan bibi Akira. “Saya juga ingin pergi bersama Ibu...” tuturnya dengan kekuatan yang sangat lemah. Dia ternyata sudah tahu bahwa ibunya telah dimakamkan di samping makam kakaknya. Sehari kepergian nenek, kondisi tubuh dan mental bibi Akira sangat tak menentu. Kondisinya selalu saja memburuk, hingga dokter meminta kami semua untuk terus berdoa meminta keselamatan pasien dari sang mahakuasa. Harapan dari dokter sangat tipis, tapi kami terus saja berharap lebih agar pasien dapat membaik dan pulang ke rumah dalam keadaan sehat.
Sabtu ini merupakan upacara penamatan di sekolahnya. Bibi Akira tak dapat menghadirinya karena dia sedang berperang menghadapi kesakitan itu. Tetapi, dia terus saja bersikap keras untuk datang. “Saya ingin datang ke acara perpisahan sekolahku, saya ingin ketemu teman-teman.” Ibuku pun yang menjaganya tak membiarkan dia pergi. Meskipun, dia diizinkan untuk pergi tetap saja dia tak mampu. Akhirnya, dia mengalah dan tetap saja tinggal di ranjang pasien. Sebagai gantinya dia meminta kami semua membacakan ayat-ayat suci agar ia merasa tidak sepi. Beberapa ayat telah kami bacakan hingga ia mengucap dua kalimat syahadat dengan aliran napas yang tercekik. Bibi Akira juga bibi yang sangat aku sayangi. Dia masih berusia 15 tahun. Dia selalu berharap untuk bisa masuk ke sekolah unggulan bersama almarhumah bibi Andriwinarti. Mimpinya untuk bersekolah tinggi pun harus ia bawa ke dunia yang lebih abadi, ia tak dapat menggapai cita-citanya, hasil ujiannya pun tak dapat ia lihat. Apalah daya ini karena takdir Tuhan membuat kami tak bisa berkutik.
Bibi Akira memang tak dapat berpisah dengan ibu dan kakaknya. Kini mereka bertiga telah bersatu, mungkin mereka sedang berpegangan tangan dan tersenyum kompak melihat kami mengisak tangis. Teman-teman sekolahnya kini mengadakan acara perpisahan di pemakaman. Mereka melayat dengan pakaian putih-biru, mereka menyaksikan seluruh prosesi pemakaman sahabatnya. Sungguh, keajaiban Allah tak bisa kami tebak, bibi Akira dimakamkan tepat di bawah makam nenek. Dalam sembilan hari, mereka berpindah tempat ke rumah terakhir yang saling berdekatan secara bergilir.
Perhatian masyarakat kembali tertuju kepada keluargaku. Kali ini tidak hanya para reporter yang memadati rumah duka. Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Gubernur Sulawesi Selatan turut datang memantau keadaan di sekitar rumah, di jalan Maccini Tengah. Gubernur mengeluarkan status darurat untuk jalanan ini. Gubernur bersih keras meminta pihak dinas kesehatan agar mengambil sampel darah seluruh anggota keluarga untuk mencegah adanya korban selanjutnya yang diprediksikan juga terkontaminasi dengan virus tersebut. Gubernur mengumumkan perintah itu tepat pada saat semua anggota keluarga dilarikan ke rumah sakit. Kemudian, dinas kesehatan juga mengambil sampel lendir almarhumah Akira untuk dibawa ke Hongkong dan Thailand.
Setelah 30 hari berlalu dari hari kematian bibi Akira, hasil diagnosis penyebab kematiannya baru diumumkan oleh pihak Dinas Kesehatan Propinsi. Padahal media berita during internasional seperti Associated Press (AP), BBC, New York Times dan Reuters lebih dulu memuat pemberitaan bahwa nenek dan bibiku juga menjadi korban virus H5N1. Duka itupun kembali menyala melihat foto almarhumah dimuat dalam surat kabar.
Dari kejadian ini, kami banyak belajar bahwa tak ada yang dapat mengalahkan takdir Tuhan. Ujung pena itu telah menuliskan waktu kematian semua umat manusia. Rumah nenek itu menjadi sangat sunyi dan senyap. Dua gadis cantik telah tiada di kediaman nenek. Bahkan nenek sudah turut tiada.
Terima kasih untuk nenek tercinta yang memberiku ibu yang sangat mulia memperjuangkan keluarganya. Terima kasih kepada kedua almarhum bibiku yang telah memberi ilmu yang sangat bermanfaat dalam mengajarkanku untuk selalu berbuat kebaikan. Saya akan selalu mengunci kenangan terindah bersama kalian di hati ini. Selamat jalan.

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS