Pages

Fonologi Bahasa Indonesia : KLASIFIKASI BUNYI SEGMENTAL DAN DESKRIPSI BUNYI SEGMENTAL BAHASA INDONESIA

Minggu, 25 Januari 2015

 This is my final task for Indonesian Phonology Subject. Lets enjoy it.

1.1  Pengertian Bunyi Segmental
Konsonan adalah bunyi bahasa yang diproduksi dengan cara, setelah arus ujar keluar dari glotis, lalu mendapat hambatan pada alat-alat ucap tertentu di dalam rongga mulut atau rongga hidung.
Vokal adalah jenis bunyi bahasa yang ketika dihasilkan atau diproduksi, setelah arus ujar keluar dari glotis tidak mendapat hambatan dari alat ucap, melainkan hanya diganggu oleh posisi lidah, baik vertikal maupun horisontal, dan bentuk mulut.
Diftong memiliki konsep yang berkaitan dengan dua buah vokal dan yang merupakan satu bunyi dalam satu silabel. Namun, posisi lidah ketika mengucapkan bergeser ke atas atau ke bawah. Karena itu, dikenal adanya tiga macam diftong, yaitu diftong naik, diftong turun, dan diftong memusat.
  1. Diftong naik. Contoh :
[ai]   =    < gulai >
[au]  =     < pulau >
[oi]   =     < sekoi >
[∂i]   =     < esei >
  1. Diftong turun. Contoh :
[ua] pada kata < muarem > ‘sangat puas’
[uo] pada kata < luoro > ‘sangat sakit’
[uɛ] pada kata < uenteng > ‘sangat ringan’
[uɑ] pada kata < uempuk > ‘sangat empuk’
  1. Diftong memusat.
[uɑ] pada kata dalam bahasa Inggris < more > < floor> < there >
Gugus konsonan atau klaster adalah deretan konsonan yang terdapat bersama pada satu suku kata. Klaster dalam bahasa Indonesia adalah :
br seperti pada kata brahma dan labrak
bl seperti pada kata blangko dan semblih
by seperti pada kata obyektif
dr seperti pada kata drama dan drakula
dw seperti pada kata dwidarma
dy seperti pada pada kata madya
fl seperti pada kata flannel dan inflasi
fr seperti pada kata infra
gl seperti pada kata global dan gladiol
gr seperti pada kata gram dan grafis
kl seperti pada kata klasik dan klinik
kr seperti pada kata kritik dan Kristen
ks seperti pada kata Ksatria dan eksponen
kw seperti pada kata kwartir dan kwartet
pr seperti pada kata produksi, prakarya, proses, pribadi
ps seperti pada kata psikolog dan psikopat
sl seperti pada kata slogan
sp seperti pada kata spontan dan spesial
spr seperti pada kata sprit dan spreyer
st seperti pada kata studio dan stasiun
str seperti pada kata strata, struktur, dan strategi
sw seperti pada kata swadaya dan swasta
tr seperti pada kata tradisi, tragedi, tragis, trauma, dan transportasi
1.2  Proses Pembunyian Segmental
Alat ucap dan alat bicara yang dibicarakan dalam proses memproduksi bunyi bahasa dapat dibagi atas tiga komponen, yaitu :
a.       Komponen subglotal
b.      Komponen laring, dan
c.       Komponen supraglotal
Komponen subglotal terdiri dari paru-paru (kiri dan kanan), saluran bronkial, dan saluran pernafasan (trakea). Di samping ketiga alat ucap ini masih ada yang lain, yaitu otot-otot, paru-paru, dan rongga dada. Secara fisiologis komponen ini digunakan untuk proses pernafasan. Karena itu, komponen ini disebut juga sistem pernafasan. Lalu dalam hubungannya dengan fonetik disebut sistem pernafasan subglotis. Fungsi utama komponen subglotal ini adalah “memberi” arus udara yang merupakan syarat mutlak untuk terjadinya bunyi bahasa.
Komponen laring (tenggorok) merupakan kotak yang terbentuk dari tulang rawan yang berbentuk lingkaran. Di dalamnya terdapat pita suara. Laring berfungsi sebagai klep yang mengatur arus udara antara paru-paru, mulut, dan hidung. Pita suara dengan kelenturannya bisa membuka dan menutup, sehingga bisa memisahkan dan sekaligus bisa menghubungkan antara udara yang ada di paru-paru dan yang ada di mulut atau rongga hidung.
Komponen supraglotal adalah alat-alat ucap yang berada di dalam rongga mulut dan rongga hidung baik yang menjadi artikulator aktif maupun yang menjadi artikulator pasif.
Terjadinya bunyi bahasa dalam proses produksi bunyi bahasa pada umumnya dimulai dari proses pemompaan udara ke luar dari paru-paru melalui pangkal tenggorokan (laring) ke tenggorokan yang di dalamnya terdapat pita suara. Supaya udara itu bisa ke luar, pita suara tu harus berada dalam keadaan terbuka. Setelah melalui pita suara, yang merupakan jalan satu-satunya untuk bisa ke luar, entah melalui rongga mulut atau rongga hidung, arus udara tadi diteruskan ke luar ke udara bebas.
Ada empat macam posisi glotis pada pita suara yaitu pita suara dengan (a) glotis terbuka lebar, (b) glotis terbuka agak lebar, (c) glotis terbuka sedikit, dan (d) glotis tertutup rapat. Kalau glotis terbuka lebar, maka tidak terjadi bunyi bahasa. Posisi ini adalah posisi dalam bernafas secara normal. Kalau posisi glotis terbuka agak lebar, maka akan terjadilah bunyi bahasa yang disebut bunyi tak bersuara. Kalau posisi glotis terbuka sedikit maka akan terjadi bunyi bahasa yang disebut bunyi bersuara. Kalau posisi glotis tertutup rapat maka akan terjadi bunyi hambat glotal (?) atau lazim disebut bunyi hamzah.
Secara umum titik artikulasi (pertemuan antara artikulator aktif dan artikulator pasif) yang mungkin terjadi dalam bahasa Indonesia ialah :
a)      Artikulasi bilabial (bibir bawah dan bibir atas)
b)      Artikulasi labiodental (bibir bawah dan gigi atas)
c)      Artikulasi interdental (gigi bawah, gigi atas, dan ujung lidah)
d)     Artikulasi apikodental (ujung lidah dan gigi atas)
e)      Artikulasi apikoalveolar (ujung lidah dan ceruk gigi atas)
f)       Artikulasi laminodental (daun lidah dan gigi atas)
g)      Artikulasi laminopalatal (daun lidah dan langit-langit keras)
h)      Artikulasi lamino alveolar (daun lidah dan ceruk gigi atas)
i)        Artikulasi dorsopalatal (pangkal lidah dan langit-langit keras)
j)        Artikulasi dorsovelar (pangkal lidah dan langit-langit lunak)
k)      Artikulasi dorsouvular (pangkal lidah dan anak tekak)
l)        Artikulasi oral (penutupan arus udara ke rongga hidung)
m)    Artikulasi radiko faringal (akar lidah dan dinding kerongkongan)
Cara artikulasi atau cara bagaimana bunyi bahasa itu dihasilkan, yakni :
a)      Arus ujar itu dihambat pada titik tertentu, lalu dengan tiba-tiba diletupkan sehingga terjadilah bunyi yang disebut bunyi hambat, bunyi letup atau bunyi plosif.
b)      Arus ujar itu dihambat pada titik tertentu, lalu arus ujar itu dikeluarkan melalui rongga hidung, sehingga terjadilah bunyi nasal.
c)      Arus ujar itu dihambat pada tempat tertentu, kemudian diletupkan sambil digeser atau didesiskan sehingga terjadilah bunyi paduan atau bunyi afrikat.
d)     Arus ujar itu dihambat pada tempat tertentu, kemudian digeserkan atau didesiskan sehingga terjadilah bunyi geseran, bunyi desis atau bunyi frikatif.
e)      Arus ujar itu dikeluarkan melalui samping kiri dan kanan lidah, maka terjadilah bunyi sampingan atau bunyi lateral.
f)       Arus ujar itu dikeluarkan melalui samping kiri dan kanan lidah lalu digetarkan sehingga terjadilah bunyi getar atau tril.
g)      Arus ujar itu pada awal prosesnya diganggu oleh posisi lidah tetapi kemudian diganggu pada titik artikulasi tertentu sehingga terjadilah bunyi semi vokal yang dikenal juga dengan nama bunyi hampiran.
Dalam membuat klasifikasi bunyi dan klasifikasi fonem digunakan tiga patokan atau kriteria, yaitu titik artikulasi, tempat artikulasi, dan bergetar tidaknya pita suara.
1.3  Jenis-Jenis Bunyi Bahasa
  1. Bunyi Vokal, Konsonan, dan Semi Vokal
Bunyi-bunyi vokal, konsonan, dan semi vokal dibedakan berdasarkan tempat dan cara artikulasinya. Vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan cara, setelah arus udara ke luar dari glotis (celah pita suara), lalu arus ujar hanya “diganggu” atau diubah oleh posisi lidah dan bentuk mulut. Misalnya, bunyi [i], bunyi [a], dan bunyi [u]. Sedangkan bunyi konsonan terjadi setelah arus ujar melewati pita suara diteruskan ke rongga mulut dengan mendapat hambatan dari artikulator aktif dan artikulator pasif. Misalnya, bunyi [b] yang mendapat hambatan pada kedua bibir; bunyi [d] yang mendapat hambatan pada kedua bibir; bunyi [d] yang mendapat hambatan pada ujung lidah (apeks) dan gigi atas; atau bunyi [g] yang mendapat hambatan pada belakang lidah (dorsum) dan langit-langit lunak (velum). Sedangkan bunyi semi vokal adalah bunyi yang proses pembentukannya mula-mula secara vokal lalu diakhiri secara konsonan. Karena itu, bunyi ini sering juga disebut bunyi hampiran (aproksiman). Bunyi semivokal hany ada dua yaitu bunyi [w] yang termasuk bunyi bilabial dan bunyi [y] yang termasuk bunyi laminopalatal.
  1. Bunyi Oral dan Bunyi Nasal
Kedua bunyi ini dibedakan berdasarkan keluarnya arus ujar. Bila arus ujar ke luar melalui rongga mulut maka disebut bunyi oral. Bila ke luar melalui rongga hidung disebut bunyi nasal. Bunyi nasal yang ada hanyalah bunyi [m] yang merupakan nasal bilabial, bunyi [n] yang merupakan nasal laminoalveolar atau apikodental, bunyi [ñ] yang merupakan nasal laminopalatal; dan bunyi [ŋ] yang merupakan nasal dorsovelar.
  1. Bunyi Bersuara dan Bunyi tak Bersuara
Kedua bunyi ini dibedakan berdasarkan ada tidaknya getaran pada pita suara sewaktu bunyi itu diproduksi. Bila pita suara turut bergetar pada proses pembunyian itu, maka disebut bunyi bersuara. Hal ini terjadi karena glotis pita suara terbuka sedikit. Yang termasuk bunyi bersuara antara lain bunyi [b], bunyi [d], dan bunyi [g]. Bila pita suara tidak bergetar disebut bunyi tak bersuara. Dalam bahasa Indonesia hanya ada empat buah bunyi tak bersuara, yaitu bunyi [s], bunyi [k], bunyi [p], dan bunyi [t].
  1. Bunyi Keras dan Bunyi Lunak
Pembedaan kedua bunyi ini berdasarkan ada tidaknya ketegangan kekuatan arus udara ketika bunyi ini diartikulasikan. Sebuah bunyi disebut keras (fortis) apabila terjadi karena pernafasan yang kuat dan otot tegang. Bunyi [t], [k], dan [s] adalah fortis. Sebaliknya sebuah bunyi disebut lunak (lenis) apabila terjadi karena pernafasan lembut dan otot kendur. Bunyi seperti [d], [g], dan [z] adalah lenis.
  1. Bunyi Panjang dan Bunyi Pendek
Pembedaan kedua bunyi ini didasarkan pada lama dan tidaknya bunyi itu diartikulasikan. Baik bunyi vokal maupun bunyi konsonan dapat dibagi atas bunyi panjang dan bunyi pendek. Kasus ini tidak ada dalam bahasa Indonesia, tetapi ada dalam bahasa Latin dan bahasa Arab.
  1. Bunyi Tunggal dan Bunyi Rangkap
Pembedaan ini berdasarkan pada hadirnya sebuah bunyi yang tidak sama sebagai satu kesatuan dalam sebuah silabel (suku kata). Bunyi vokal rangkap disebut diftong dan bunyi tungga disebut monoftong. Bunyi rangkap konsonan disebut klaster. Tempat artikulasi kedua konsonan dalam klaster berbeda.
  1. Bunyi Nyaring dan Tak Nyaring
Pembedaan kedua bunyi ini berdasarkan derajat kenyaringan (sonoritas) bunyi-bunyi itu yang ditentukan oleh besar kecilnya ruang resonansi pada waktu bunyi itu diujarkan. Bunyi vokal pada umumnya mempunyai sonoritas yang lebih tinggi daripada bunyi konsonan. Oleh karena itu, setiap bunyi vokal menjadi puncak kenyaringan setiap silabel.
  1. Bunyi Egresif dan Bunyi Ingresif
Pembedaan kedua bunyi ini berdasarkan dari mana datangnya arus udara dalam pembentukan bunyi itu. Kalau arus udara datang dari dalam (seperti dari paru-paru), maka bunyi tersebut disebut bunyi egresif; bila datangnya dari luar disebut bunyi ingresif.
Ada dua macam bunyi egresif, yaitu (a) bunyi egresif pulmonik, apabila arus udara itu berasal dari paru-paru; dan (b) egresif glotalik apabila arus udara itu berasal dari pangkal tenggorokan. Bunyi ingresif juga ada dua macam, yaitu bunyi ingresif glotalik yang prosesnya sama dengan bunyi egresif glotalik; hanya arus udaranya masuk dari luar. Yang kedua ialah bunyi ingresif velarik yang terjadi dengan mekanisme velarik, yakni pangkal lidah dinaikkan ke langit-langit lunak (velum).
  1. Bunyi Segmental dan Bunyi Suprasegmental
Pembedaan kedua bunyi ini didasarkan pada dapat tidaknya bunyi itu disegmentasikan. Bunyi yang dapat disegmentasikan, seperti semua bunyi vokal dan bunyi konsonan adalah bunyi segmental; sedangkan bunyi atau unsur yang tidak dapat disegmentasikan, yang menyertai bunyi segmental itu, seperti tekanan, nada, jeda, dan durasi (pemanjangan) disebut bunyi atau unsur suprasegmental atau non segmental.
  1. Bunyi Utama dan Bunyi Sertaan
Dalam pertuturan bunyi-bunyi bahasa itu tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling pengaruh-mempengaruhi baik dari bunyi yang ada sebelumnya maupun dari bunyi sesudahnya. Begitulah ketika sebuah bunyi diartikulasikan, maka akibat dari pengaruh bunyi berikutnya terjadi pulalah artikulasi lain yang disebut artikulasi sertaan atau ko-artikulasi atau artikulasi sekunder. Maka, pembedaan adanya bunyi utama dan bunyi sertaan ini didasarkan pada adanya proses artikulasi pertama, artikulasi utama, atau artikulasi primer, dan adanya artikulasi sertaan.
Bunyi-bunyi sertaan disebut juga bunyi pengiring yang muncul, antara lain, akibat adanya proses artikulasi sertaan yang disebut :
(a)    Labialisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara kedua bibir dibulatkan dan disempitkan segera atau ketika bunyi utama diucapkan, sehingga terdengar bunyi sertaan [ʷ] pada bunyi utama. Misalnya, bunyi [t] pada kata < tujuan > terdengar sebagai bunyi [tʷ] sehingga lafalnya [tʷujuan]. Jadi, bunyi [t] dikatakan dilabialisasikan.
(b)   Palatalisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara tengah lidah dinaikkan mendekati langit-langit keras (palatum) segera atau ketika bunyi utama diucapkan sehingga terdengar  bunyi sertaan [ʸ]. Misalnya, bunyi [p] pada kata <piara> terdengar sebagai bunyi [pʸ] sehingga ucapannya menjadi [pʸara]. Jadi, bunyi [p] telah dipalatalisasi.
(c)    Valerisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara mengangkat lidah ke arah langit-langit lunak (velum) segera atau ketika bunyi utama diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan [ˣ]. Misalnya, bunyi [m] pada kata <makhluk> terdengar sebagai bunyi [mˣ], sehingga ucapannya menjadi [mˣaxluk]
(d)   Retrofleksi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara ujung lidah ditarik ke belakang segera atau ketika bunyi utama diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan [ʳ]. Misalnya, bunyi [k] pada kata <kertas> terdengar sebagai bunyi [kʳ], sehingga ucapannya menjadi [kʳertas]. Jadi, bunyi [k] telah diretrofleksikan.
(e)    Glotalisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara glotis ditutup sesudah bunyi utama diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan [ˀ]. Misalnya, bunyi [a] pada kata <akan> terdengar sebagai bunyi [aˀ], sehingga ucapannya menjadi [aˀkan].
(f)    Aspirasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara arus udara yang ke luar lewat rongga mulut terlalu keras sehingga terdengar bunyi sertaan [ʰ]. Misalnya, bunyi [p] pada awal kata bahasa Inggris <peace> terdengar sebagai bunyi [pʰ], sehinga ucapannya menjadi [pʰeis].
(g)   Nasalisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara memberikan kesempatan arus udara melalui rongga hidung sebelum atau sesaat bunyi utama diucapkan, sehingga terdengar bunyi sertaan [ ͫ ]. Hal ini biasa terjadi pada konsonan hambat bersuara, yaitu [b], [d], dan [g].



1.4  Deskripsi Bunyi Segmental Bahasa Indonesia
1.4.1        Bunyi Vokal
Vokal adalah jenis bunyi bahasa yang ketika dihasilkan atau diproduksi, setelah arus ujar ke luar dari glotis tidak mendapat hambatan dari alat ucap, melainkan hanya diganggu oleh posisi lidah, baik vertikal maupun horisontal, dan bentuk mulut. Perhatikan bagan vokal bahasa Indonesia berikut ini :
POSISI LIDAH
TAK BUNDAR
BUNDAR
DEPAN
PUSAT
BELAKANG
Tinggi
Atas
i

u
Bawah
I
U
Tengah
Atas
e
ə
o
(Madya)
Bawah
ɛ
ɔ
Rendah
Madya

a

Berdasarkan bagan tersebut bunyi-bunyi vokal dapat diklasifikasikan menurut :
1.      Tinggi rendahnya posisi lidah
Berdasarkan tinggi rendahnya posisi lidah bunyi-bunyi vokal dapat dibedakan atas:
a.       Vokal tinggi atas, seperti bunyi [i] dan [u]
b.      Vokal tinggi bawah, seperti bunyi [I] dan [U]
c.       Vokal sedang atas, seperti bunyi [e] dan [o]
d.      Vokal sedang bawah, seperti bunyi [ɛ] dan [ɔ]
e.       Vokal sedang tengah, seperti bunyi [ə]
f.       Vokal rendah, seperti bunyi [a]
2.      Maju mundurnya lidah
Berdasarkan maju mundurnya lidah bunyi vokal dapat dibedakan atas :
a.       Vokal depan, seperti bunyi [i], [e], dan [a]
b.      Vokal tengah, seperti bunyi [ə]
c.       Vokal belakang, seperti bunyi [u] dan [o]

3.      Striktur
Striktur pada bunyi vokal adalah jarak antara lidah dengan langit-langit keras (palatum). Maka, berdasarkan strikturnya bunyi vokal dapat dibedakan menjadi :
a.       Vokal tertutup, yang terjadi apabila lidah diangkat setinggi mungkin mendekati langit-langit, seperti bunyi [i] dan bunyi [u]
b.      Vokal semi tertutup, yang terjadi apabila lidah diangkat dalam ketinggian sepertiga di bawah vokal tertutup, seperti bunyi [e], bunyi [ə], dan bunyi [o].
c.       Vokal semi terbuka, yang terjadi apabila lidah diangkat dalam ketinggian sepertiga di atas vokal yang paling rendah, seperti bunyi [ɛ] dan [ɔ]
d.      Vokal terbuka, yang terjadi apabila lidah berada dalam posisi serendah mungkin, seperti bunyi [a]
4.      Bentuk Mulut
Berdasarkan bentuk mulut sewaktu bunyi vokal itu diproduksi dapat dibedakan :
a.       Vokal bundar, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk mulut membundar. Dalam hal ini ada yang bundar terbuka seperti bunyi [ɔ], dan yang bunda tertutup seperti bunyi [o] dan bunyi [u]
b.      Vokal tak bundar, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk mulut tidak membundar, melainkan terbentang melebar, seperti bunyi [i], bunyi [e], dan bunyi [ɛ]
c.       Vokal netral, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk mulut tidak bundar dan tidak melebar, seperti bunyi [a]
Berdasarkan keempat kriteria yang dibicarakan tersebut, maka nama-nama vokal dapat disebutkan sebagai berikut :
VOKAL
KRITERIA
CONTOH KATA
[i]
Vokal depan, tinggi (atas), tak bundar, tertutup.
<ini>;[i-ni], <ibu>;[i-bu], <cari>;[ca-ri], <lari>;[la-ri]
[ I ]
Vokal depan, tinggi (bawah), tak bundar, tertutup.
<pinggir>;[pIng-gIr], <adik>;[a-dI?]
[u]
Vokal belakang, tinggi (atas), bundar, tertutup.
<udara>;[u-da-ra], <utara>;[u-ta-ra]
[U]
Vokal belakang, tinggi (bawah), bundar, tertutup.
<ukur>;[u-kUr], <urus>;[u-rUs], <turun>;[tu-rUn]
[e]
Vokal depan, sedang (atas), tak bundar, semi tertutup.
<ekor> ; [e-kor]
[ɛ]
Vokal depan, sedang (bawah), tak bundar, semi terbuka.
<nenek>;[ne-nɛ?], <dendeng> ; [dɛn-dɛŋ]
[ə]
Vokal tengah, sedang, tak bundar, semi tertutup.
<elang>;[ə-laŋ], <emas>;[ə-mas]
[o]
Vokal belakang, sedang (atas), bundar, semi tertutup.
<toko>;[to-ko]
[ɔ]
Vokal belakang, sedang (bawah), bundar, semi terbuka.
<tokoh>;[to-kɔh]
[a]
Vokal belakang, rendah, netral, terbuka
<cari> ; [ca-ri]

1.4.2        Bunyi Konsonan
Konsonan adalah bunyi bahasa yang diproduksi dengan cara, setelah arus ujar keluar dari glotis, lalu mendapat hambatan pada alat-alat ucap tertentu di dalam rongga mulut atau rongga hidung. Bunyi konsonan dapat diklasifikasikan berdasarkan (1) tempat artikulasi, (2) cara artikulasi, (3) bergetar tidaknya pita suara, dan (4) striktur.
1)      Tempat artikulasi, yaitu tempat terjadinya bunyi konsonan, atau tempat bertemunya artikulator aktif dan artikulator pasif. Tempat artikulasi disebut juga titik artikulasi. Sebagai contoh bunyi [p] terjadi pada kedua belah bibir (bibir atas dan bibir bawah), sehingga tempat artikulasinya disebut bilabial. Contoh lain bunyi [d] artikulator aktifnya adalah ujung lidah (apeks) dan artikulator pasifnya adalah gigi atas (dentum), sehingga tempat artikulasinya disebut apikodental.
2)      Cara artikulasi yaitu bagaimana tindakan atau perlakuan terhadap arus udara yang baru ke luar dari glotis dalam menghasilkan bunyi konsonan itu. Misalnya, bunyi [p] dihasilkan dengan cara mula-mula arus udara dihambat pada kedua belah bibir, lalu tiba-tiba diletupkan dengan keras. Maka bunyi [p] itu disebut bunyi hambat atau bunyi letup. Contoh lain bunyi [h] dihasilkan dengan cara arus udara digeserkan di laring (tempat artikulasinya). Maka, bunyi [h] disebut bunyi geseran atau frikatif.
3)      Bergetar tidaknya pita suara, yaitu jika pita suara dalam proses pembunyian itu turut bergetar atau tidak. Bila pita suara itu turut bergetar maka disebut bunyi bersuara. Jika pita suara tidak turut bergetar, maka bunyi itu disebut bunyi tak bersuara.
4)      Striktur, yaitu hubungan posisi antara artikulator aktif dan artikulator pasif. Umpamanya dalam memproduksi bunyi [p] hubungan artikulator aktif dan artikulator pasif, mula-mula rapat lalu secara tiba-tiba dilepas. Dalam memproduksi bunyi [w] artikulator aktif dan artikulator pasif hubungannya renggang dan melebar.
Konsonan dalam bahasa Indonesia dapat disajikan dalam bentuk bagan sebagai berikut :
CARA ARTIKULASI
B/TB
TEMPAT ARTIKULASI
Bilabial
Labiodental
Apikoal
Laminoal
Lamino
Dorsovelar
Laringal
Glotal


veolar
veolar
palatal



Hambat
B
b

d


g

Ɂ
(letup
TB
P

t


k


Nasal
B
m

n

ñ
ŋ


Paduan
B




ǰ



(afrikat)
TB




č



Sampingan
B


l





(lateral)









Geseran
B

v

z
š
x
h

(frikatif)
TB

f


s



Getar (tril)
B


r





Semivokal
B
w


y




B = Bersuara
TB = Tidak Bersuara

Dengan melihat tempat artikulasi, cara artikulasi dan bergetar tidaknya pita suara, maka nama-nama bunyi konsonan itu dapat disebutkan sebagai berikut :
KONSONAN
KRITERIA
CONTOH KATA
[b]
Bunyi bilabial, hambat, bersuara
< baru, abu >
[p]
Bunyi bilabial, hambat, tak bersuara
< pita, apa, tetap >
[m]
Bunyi bilabial, nasal, bersuara
< mana, lama, malam >
[w]
Bunyi bilabial, semi vokal, bersuara
< warna, waktu, awan >
[v]
Bunyi labiodental, geseran, bersuara
< veteran, devisa >
[f]
Bunyi labiodental, geseran, tak bersuara
< fajar, nafas, taraf >
[d]
Bunyi apikoalveolar, hambat, bersuara
< datang > ; [da-taŋ]
[t]
Bunyi apikoalveolar, hambat, tak bersuara
< peta > ; [pə-ta]
[n]
Bunyi apikoalveolar, nasal, bersuara
< nama, ini, saran >
[l]
Bunyi apikoalveolar, sampingan, bersuara
< lama, pula, asal >
[r]
Bunyi apikoalveolar, getar, bersuara
< segar > ; [sə-gar]
[z]
Bunyi laminoalveolar, geseran, bersuara
< lezat > ; [lə-zat]
[ñ]
Bunyi laminopalatal, nasal, bersuara
< nyaring > ; [ña-rIŋ]
[ ǰ ]
Bunyi laminopalatal, paduan, bersuara
< jurang > ; [ju-raŋ]
[č]
Bunyi laminopalatal, paduan, tak bersuara
< cara, baca >
[š]
Bunyi laminopalatal, geseran, bersuara
< syarat >
[s]
Bunyi laminopalatal, geseran, tak bersuara
< sama, nasi >
[g]
Bunyi dorsovelar, hambat, bersuara
< gaya, tiga >
[k]
Bunyi dorsovelar, hambat, tak bersuara
< kaca, saku >
[ŋ]
Bunyi dorsovelar, nasal, bersuara
< langit > ; [la-ŋIt]
[x]
Bunyi dorsovelar, geseran, bersuara
< khidmat, akhirat >
[h]
Bunyi laringal, geseran, bersuara
< hemat, bahan, indah >
[Ɂ]
Bunyi hambat, glotal, bersuara
< bak, pak, rakyat >
[ baɁ, paɁ, raɁ-yat ]

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Dola, Abdullah. 2011. Linguistik Khusus Bahasa Indonesia. Makassar : Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar

2 komentar:

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS