Teori – Teori Makna
I.
Pendahuluan
Bahasa
merupakan alat komunikasi untuk dapat berhubungan dengan orang lain. Bahasa
juga sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer terbentuk oleh
suatu aturan, kaidah maupun pola-pola tertentu; baik dalam tata bunyi, tata
bentuk kata, ataupun tata kalimat. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa
senantiasa dianalisis dan dikaji dengan menggunakan berbagai pendekatan untuk
mengkajinya. Antara pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah
pendekatan makna. Bagaimana pengguna bahasa memperoleh makna dan pemahaman
tentang makna sangat penting untuk dipahami yang merupakan ruang lingkup
semantik.
Ada banyak
teori yang telah dikembangkan oleh para pakar filsafat dan linguistik sekitar
konsep makna dalam studi semantik. Dalam bagian ini kita akan jelajahi secara
tersebar teori-teori tentang makna. Pada dasarnya para filosuf dan linguist
mempersoalkan makna dalam bentuk hubungan antar bahasa(ujaran), pikiran, dan
realitas dalam. Lahirlah teori tentang makna yang berkisar pada hubungan antara
ujaran, pikiran, dan realitas dunia nyata. Karena bahasa itu digunakan untuk
berbagai keperluan dan kegiatan dalam kehidupan bermasyarakat, maka bahasa
itupun bermacam-macam dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda.
Dalam makalah
ini, kami akan mengulas mengenai pendekatan makna berdasarkan teori dari para
linguis.
II.
Isi
A.
Teori Pemberian Makna
Teori pemberian makna ini memiliki aspek dalam pendekatan makna
yang menurut Palmer (1976) dapat dipertimbangkan dari fungsi, dan dapat
dibedakan atas :
1.
Sense (pengertian)
2.
Feeling (perasaan)
3.
Tone (nada)
4.
Intension (tujuan)
Keempat aspek makna tersebut dapat dipertimbangkan melalui data
bahasa Indonesia sebagai contoh pemahaman makna tersebut. Makna pengertian
dapat kita terapkan di dalam komunikasi sehari-hari yang melibatkan apa yang
disebut tema. Makna perasaan, nada, dan tujuan dapat pula kita pertimbangkan
melalui data bahasa Indonesia maupun daerah.
1.
Sense (Pengertian)
Aspek makna pengertian ini dapat dicapai apabila antara
pembicara/penulis dan kawan bicara berbahasa sama. Makna pengertian disebut
juga tema, yang melibatkan ide atau pesan yang dimaksud. Di dalam berbicara
dalam kehidupan sehari-hari kita mendengar kawan bicara menggunakan kata-kata
yang mengandung ide atau pesan yang dimaksud. Di dalam hal ini menyangkut tema
pembicaraan sehari-hari, misalnya, tentang cuaca :
(1)
Hari
ini hujan
(2)
Hari
ini mendung
Di dalam komunikasi tersebut tentu ada unsur pendengar (ragam
lisan) dan pembaca (ragam tulis), yang mempunyai pengertian yang sama terhadap
satuan-satuan hari, ini, hujan, dan mendung.
Informasi atau apa yang kita ceritakan tersebut memiliki persoalan
inti yang biasa disebut tema. Pikirkanlah informasi berikut memiliki
tema apa :
“Pengaruh yang masuk melalui wibawa agama dan politik (penjajahan)
memang dapat mendalam. Sebaliknya, pengaruh yang terjadi karena kontak
perdagangan saja kiranya tidak begitu mendalam. Sebagai contoh, kata yang
dipungut dari bahasa Tionghoa oleh bahasa Indonesia memang tidak begitu banyak,
hanya terbatas kepada beberapa ratus kata saja.”
(Soepomo Poedjosoedarma, 1987:19, Basis, Januari 1987.
XXXVI-1).
Kita memahami tema di dalam informasi karena apa yang kita katakan
atau apa yang kita dengar memiliki pengertian dan tema. Kita mengerti tema
karena kita paham akan kata-kata yang melambangkan tema tersebut.
2.
Feeling (Perasaan)
Aspek makna perasaan berhubungan dengan sikap pembicara dengan
situasi pembicaraan. Di dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berhubungan
dengan perasaan (misalnya sedih, panas, dingin, gembira, jengkel, gatal). Pernyataan
situasi yang berhubungan dengan aspek makna perasaan tersebut digunakan
kata-kata yang sesuai dengan situasinya. Misalnya, tidak akan muncul ekspresi ;
turut berduka cita dan ikut bersedih pada situasi bergembira, sebab ekspresi
tersebut selalu muncul pada situasi kemalangan, atau kesedihan, misalnya bila
ada yang meninggal dunia. Kata-kata tersebut memiliki makna yang sesuai dengan
perasaan.
Kata-kata yang sesuai dengan makna perasaan ini muncul dari
pengalaman, dapat dipertimbangkan bila kita mengatakan “Penipu kau!”,
merupakan ekspresi yang berhubunan dengan pengalaman tentang orang tersebut. Kita
merasa pantas menyebut orang tersebut sebagai penipu karena tindakannya yang
tidak baik. Setiap sajak biasanya mengungkapkan aspek makna perasaan (feeling)
penyair. Pertimbangkanlah sajak berikut :
Rintihnya dicurahkan parit pinggir sawah
Suara gemercik air yang jatuh ke atas air
Menggerak-gerakkan wajahnya yang tergambar di dalamnya
(Petani, Andrik Purwasito, 1983, di dalam BASIS,
April 1987 – XXXVI-4).
Sebagai penyair, aspek makna perasaan yang menyelimuti dirinya
diungkapkan di dalam kata-kata yang menyatakan pula tentang lingkungan dan
kehidupan masyarakat sekitarnya. Kadang-kadang apa yang kita rasakan tanpa
disadari keluar dari mulut kita yang diungkapkan dengan kata-kata yang
melibatkan makna aspek perasaan.
3.
Tone (Nada)
Aspek makna nada adalah sikap pembicara terhadap kawan bicara atau
dikatakan pula sikap penyair atau penulis terhadap pembaca. Aspek makna nada
ini melibatkan pembicara untuk memilih kata-kata yang sesuai dengan keadaan
kawan bicara dan pembicara sendiri. Apakah pembicara telah mengenal latar
belakang sosial-ekonomi pembicara sama dengan pendengar, apakah pembicara
berasal dari daerah yang sama dengan pendengar?. Hubungan pembicara-pendengar
(kawan bicara) akan menentukan sikap yang akan tercermin di dalam kata-kata
yang akan digunakan.
Aspek makna nada ini berhubungan pula dengan aspek makna perasaan,
bila kita jengkel maka sikap kita akan berlainan dengan perasaan bergembira terhadap
kawan bicara. Bila kita jengkel akan memilih aspek makna nada dengan meninggi,
berlainan dengan aspek makna yang digunakan bila kita memerlukan sesuatu, maka
akan beriba-iba dengan nada merata atau merendah. Bandingkanlah aspek makna
nada berikut :
(1)
Orang
itu tidak tertarik tapi menarik.
(2)
Kareta
api dari Yogya sudah datang.
(3)
Kereta
api dari Yogya sudah datang?
(4)
Pergi!
4.
Intension
(Tujuan)
Aspek makna tujuan ini adalah “his aim, concious or unconcious,
the effect he is endeavouring to promote” (tujuan atau maksud, baik
disadari maupun tidak, akibat usaha dari peningkatan). Apa yang kita ungkapkan
di dalam makna aspek tujuan memiliki tujuan tertentu, misalnya dengan
mengatakan “Penipu kau!” tujuannya supaya kawan bicara mengubah kelakuan
(tindakan) yang tidak diinginkan tersebut.
Aspek makna tujuan ini melibatkan klasifikasi pernyataan yang
bersifat :
1.
Deklaratif
2.
Persuasif
3.
Imperatif
4.
Naratif
5.
Politis
6.
Paedagogis
(pendidikan)
Kita dapat melihat di antara keenam makna aspek tujuan tersebut di
dalm penyuluhan pemerintah tentang kesehatan, dapat ditinjau dari makna aspek
deklaratif, “Pemeliharaan kesehatan dapat menunjang program pemerintah di dalam
memelihara lingkungan dan meningkatkan taraf kehidupan bangsa”; makna aspek
persuasif, “Dengan pola makan empat sehat lima sempurna di tiap kampung akan
menjamin kesehatan masyarakat”: makna imperatif. “Halaman-halaman rumah di
tiap-tiap tempat ditanamai dengan apotek hidup”; makna aspek naratif. “Manusia
hidup panjang dengan memelihara kesehatan dan memerhatikan sikap pemerintah
dalam meningkatkan taraf hidup sehat”; aspek makna politis, “Rakyat sehat
negara kuat; aspek makna paedagogis, “Mendidik hidup sehat supaya negara kuat”.
B.
Teori Referensial
Menurut Alston, teori referensial merupakan salah satu jenis
teori makna yang mengenali atau mengidentifikasi makna suatu ungkapan dengan
apa yang diacunya atau dengan hubungan acuan itu. Istilah referen itu sendiri
menurut Palmer (1976:30) “reference deals with the relationship
between the linguistic element, word, sentences, etc, and the nonlinguistic
word of experience”. Yang dapat juga dikatakan bahwa hubungan antara
unsur-unsur linguistik berupa kata-kata, kalimat-kalimat, dan dunia pengalaman
yang nonlinguistik. Teori referensial atau teori korespondensi merujuk pada
segitiga makna (symbol, reference, dan referent). Makna adalah hubungan antara
reference dan referent yang dinyatakan lewat simbol bunyi bahasa baik berupa
kata ataupun frase atau kalimat. Simbol bahasa dan rujukan atau referent tidak
mempunyai hubungan langsung. Teori ini menekankan hubungan langsung antara
reference dan referent yang ada di alam nyata.
Referen atau acuan boleh saja benda, peristiwa, proses atau
kenyataan. Referen adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lambang. Jadi, kalau
seseorang mengatakan sungai, maka yang ditunjuk oleh lambang tersebut
yakni tanah yang berlubang lebar dan panjang tempat mengalir air dari hulu
ke danau atau laut. Kata sungai langsung dihubungkan dengan
acuannya. Tidak mungkin timbul asosiasi yang lain. Bagi mereka yang pernah
melihat sungai, atau pernah mandi di sungai, sudah barang tentu mudah memahami
apa yang dimaksud dengan sungai. Jika kita menerima bahwa makna sebuah ujaran
adalah referennya, maka setidak-tidaknya kita terikat pula pada pernyataan
berikut ini.
1)
Jika
sebuah ujaran mempunyai makna, maka ujaran itu mempunyai referen,
2)
Jika
dua ujaran mempunyai referen yang sama, maka ujaran itu mempunyai makna yang
sama pula.
3)
Apa
saja yang benar dari referen sebuah ujaran adalah benar untuk maknanya.
Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada
referensnya, kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah termasuk
kata-kata yang bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata.
Sebaliknya, kata-kata seperti dan, atau, karena adalah kata-kata
yang tidak bermakna referensial karena kata-kata itu tidak memiliki acuan.
C.
Teori Mentalis
Teori mentalis atau teori konseptual adalah teori semantik yang
memfokuskan kajian makna pada prinsip-prinsip konsepsi yang ada pada pikiran
manusia. Teori ini disebut teori pemikiran, karena kata itu menunjuk pada ide
yang ada dalam pemikiran. Karena itu, penggunaan suatu kata hendaknya merupakan
penunjukkan yang mengarah pada pemikiran.
Yang dimaksud dengan makna konseptual menurut definisi lain adalah
makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari sebuah konteks atau
asosiasi apapun. Kata kuda memiliki makna konspetual sejenis binatang
berkaki empat yang dapat dikendarai. Jadi, sesungguhnya makna konseptual
sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, makna referensial. Makna
konseptual ini bersifat logis, kognitif, atau denotatif. Makna asosiatif yang
dibagi lagi atas makna konotatif yakni makna yang muncul dibalik makna
kognitif. Demikian juga dengan makna idesional adalah makna yang muncul sebagai
akibat penggunaan kata yang berkonsep. Kita mengerti ide yang terkandung di
dalam kata demokrasi, yakni istilah politik (bentuk atau sistem
pemerintahan, segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan
wakil-wakilnya; pemerintahan rakyat. Gagasan atau pandangan hidup yang
mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua
warga negara).
Kata demokrasi kita lihat dalam kamus, dan kita perhatikan
pula hubungannya dengan unsur lain dalam pemakaian kata tersebut, lalu kita
tentukan konsep yang menjadi ide kata tersebut. Demikian juga dengan kata partisipasi
mengandung makna idesional ‘aktivitas maksimal seseorang yang ikut serta dalam
suatu kegiatan’. Dengan makna idesional yang terkandung di dalamnya kita dapat melihat paham yang
terkandung di dalam suatu makna.
D.
Teori Wittgenstein
1.
Realitas Dunia (Wittgenstein I : Tractatus logico-philosophicus)
Salah satu uraiannya yang merupakan
unsur yang sangat fundamental bahkan merupakan suatu dasar ontologis Tractus
adalah konsepnya tentang realitas dunia yang dilukiskan melalui bahasa.
Pemikiran ini melukiskan tentang hakikat dunia, dan karena hakikat dunia
dilukiskan melalui bahasa, maka teori ini juga mendeskripsikan tentang hakikat
bahasa. Dunia adalah suatu realitas sebagaimana kita lihat dan kita alami.
Dunia itu adalah keseluruhan dari fakta-fakta. Fakta di sini berarti suatu
keberadaan peristiwa, bagaimana objek-objek terhubung satu sama lain yang
terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Dalam hubungan dengan dunia, fakta yang
kompleks tersusun atas satuan terkecil yaitu fakta atomik. Totalitas dari fakta
atomik itu adalah suatu dunia. Realitas dunia fakta tersebut diwakili melalui
bahasa.
2.
Logika Bahasa (Wittgenstein I : Tractatus logico-philosophicus)
Menurut Wittgenstein,
masalah-masalah filsafat sebenarnya terletak pada kesalah-pahaman penggunaan
bahasa, dan lebih tepatnya penggunaan logika bahasa. Penggunaan bahasa dalam
analisis teori-teori filsafat harus mampu mengungkapkan secara objektif fakta
tentang dunia, dan hal ini harus dilakukan dengan menggunakan bahasa
berdasarkan asas-asas logika. Dalam bukunya yang pertama, Wittgenstein
sebenarnya hanya berbicara mengenai bahasa, atau lebih tepatnya lagi jika
dikatakan buku tersebut berbicara tentang logika bahasa. Wittgenstein
berpendapat bahwa bahasa menggambarkan realitas dan makna itu tidak lain
daripada menggambarkan suatu keadaan faktual dalam realitas melalui bahasa.
Baginya, apa yang memang dikatakan dapat dikatakan secara jelas. Dan tentang
apa yang tidak dapat dikatakan, orang harus berdiam diri.
3.
Teori Gambar (Wittgenstein I : Tractatus logico-philosophicus)
Pada zaman Wittgenstein, penggunaan
logika bahasa dalam menjelaskan suatu konsep filsafat menimbulkan kekaburan
makna, bahkan banyak ungkapan menjadi tidak bermakna apa-apa. Karenanya,
Wittgenstein berfikir bahwa hanya ada satu kemungkinan cara untuk mengatasi
kebingungan bahasa tersebut yaitu melalui proposisi dan proposisi harus
merupakan suatu gambar dan perwakilan dari suatu realitas fakta. Dalam menjelaskan prinsip teori gambar,
Wittgenstein menjelaskan bahwa proposisi adalah gambaran realitas. Sebuah
gambar hanya memiliki ciri sebagaimana yang dimiliki oleh proposisi. Ia mewakili
beberapa situasi yang dilukiskan melebihi dirinya sendiri dan tidak seorang pun
perlu menjeskan tentang apa yang digambarkan.
Suatu proposisi adalah gambar bukan
dalam arti kiasan melainkan secara harafiah. Wittgenstein berkeyakinan bahwa
semua ucapan kita mengandung satu atau leboh proposisi elementer, artinya
proposisi yang tidak dapat dianalisis lagi. Suatu proposisi elementer menunjuk
pada suatu state of affairs dalam realitas. Suatu proposisi elementer
terdiri dari nama-nama. Tetapi, nama-nama tersendiri tidak mempunyai
makna. Hanya proposisi yang mempunyai makna. Kalau Wittgenstein mengatakan
bahwa dalam suatu proposisi elementer digambarkan suatu duduk perkara (state
of affairs) dalam realitas, maksudnya adalah bahwa unsur-unsur dalam
proposisi dan unsur-unsur realitas sepadan satu sama lain. Dengan kata
lain, strukutur proposisi sesuai dengan struktur yang terdapat dalam realitas.
Misal: peta kota dengan kota itu sendiri. Pada taraf yang berbeda-beda
pola-pola hubungan antara unsur-unsur tersebut secara formal sama biarpun
secara material sama sekali berlainan. Hanya dengan teori gambarlah, menurut
Wittgenstein, realitas dunia dapat dikatakan. Hanya dengan teori ini pula dapat
diterangkan bahwa bahasa kita bermakna. Proposisi-proposisi dalam tautologi
bukanlah proposisi sejati karena tidak mengungkapkan suatu pikiran, tidak
mengatakan sesuatu, sebab tidak merupakan suatu picture (gambar) dari sesuatu.
Tetapi, proposisi ini bukan tidak bermakna.
4.
Makna dalam penggunaan (meaning
in use) – (Wittgenstein II : Philosophical Investigations)
Bagi Wittgenstein, sebuah tanda
menjadi hidup atau menjadi bermakna justru dalam penggunaannya. Makna kalimat
adalah tergantung penggunaannya dalam bahasa sedangkan makna bahasa adalah
tergantung penggunaannya dalam hidup. Oleh karena itu, Wittgenstein menyarankan
agar pemahaman terhadap bahasa mesti dianalisis berdasarkan penggunaannya dalam
konteks-konteks tertentu (meaning in use).
Kata menunjukkan sesuatu yang dapat
diinderai keberadaannya misalnya kambing, kuda, kursi. Kata-kata ini
bermakna karena menamakan sesuatu tetapi terdapat juga banyak kata yang tidak
menunjukkan sesuatu seperti sudah, boleh, maka, dan. Oleh karena itu,
jangan ditanyakan apa arti sebuah kata tetapi bagaimana sebuah kata digunakan.
Wittgenstein mengemukakan pendekatan
makna secara operasional, (pendekatan yang dapat menentukan tepatnya makna
sebuah kata, di dalam kalimat), seperti pada :
(1)
Anak-anak pukul satu lekas pulang.
(2)
Anak-anak pukul satu cepat pulang.
Pada
(1) lekas maknanya sama (sinonim) dengan cepat melalui tes
subtitusi (penyulihan). Contoh lain pada kalimat berikut sebab sinonim
dengan karena :
(3)
Ia tidak pergi ke sekolah karena sakit.
(4)
Ia tidak pergi ke sekolah sebab sakit.
Hal
tersebut dibahas di dalam sinonim kata yang dapat saling menyulih (sinonim
mutlak). Dalam teori Wittgenstein mengemukakan, pendekatan operasional ini
mempelajari kata dalam penggunaannya, menekankan bagaimana kata secara
operasional.
5. Permainan
Bahasa (languange games) – (Wittgenstein II : Philosophical
Investigations)
Bahasa adalah fenomena yang kompleks. Di dalamnya, terdapat jumlah permainan
bahasa yang tidak terhitung. Dengan bahasa yang sama, kita dapat memaparkan
sesuatu, memberi perintah, menanyakan, berterima kasih, berdoa, bernyanyi, dst.
Untuk menjelaskan lebih lanjut bahwa
bahasa dipakai dengan berbagai macam cara, dalam Philosophical
Investigations Wittgenstein memperkenalkan istilah language games
(permainan-permainan bahasa). Ada banyak sekali permainan. Ada permainan yang
memakai bola atau kartu atau alat yang lain. Ada juga yang dimainkan sendiri
tetapi ada juga permainan yang dilakukan dalam regu atau kelompok. Dan juga
norma atau aturan yang dipakai untuk menentukan kemenangan sangat berbeda satu
sama lain. Tidak ada gunanya dan tidak mungkin menunjukkan satu permainan
sebagai model atau ideal bagi semua permainan lain. Sebagaimana terdapat banyak
permainan, demikian juga terdapat banyak “permainan bahasa”. Arti kata-kata
hanya bisa dipahami dalam kerangka acuan language games yang dipakai. Dengan
kata lain, Wittgenstein dengan teorinya mengenai language games hendak
mengatakan kepada kita bahwa kita harus melihat, membaca dan memahami suatu
bahasa dalam konteksnya masing-masing.
Dalam Philosophical Investigations,
ia menolak terutama tiga hal yang dulu diandaikan begitu saja dalam teori
pertama, yaitu :
1)
Bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja yakni
menetapkan keadaan-keadaan faktual.
2)
Bahwa kalimat-kalimat mendapat maknanya dengan satu cara
saja yakni menggambarkan suatu keadaan faktual.
3)
Bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa
logika yang sempurna, biarpun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk
dilihat.
III.
Penutup
Ada banyak
teori yang telah dikembangkan oleh para pakar filsafat dan linguistik sekitar
konsep makna dalam studi semantik.
Keempat aspek makna dalam teori pemberian makna dipertimbangkan
melalui data bahasa Indonesia sebagai contoh pemahaman makna tersebut. Makna
pengertian dapat kita terapkan di dalam komunikasi sehari-hari yang melibatkan
apa yang disebut tema. Makna perasaan, nada, dan tujuan dapat pula kita
pertimbangkan melalui data bahasa Indonesia maupun daerah.
Menurut Alston,
teori referensial merupakan salah satu jenis teori makna yang mengenali atau
mengidentifikasi makna suatu ungkapan dengan apa yang diacunya atau dengan
hubungan acuan itu. Teori referensial atau teori korespondensi merujuk pada
segitiga makna (symbol, reference, dan referent).
Teori mentalis
atau teori konseptual adalah teori semantik yang memfokuskan kajian makna pada
prinsip-prinsip konsepsi yang ada pada pikiran manusia. Teori ini disebut teori
pemikiran, karena kata itu menunjuk pada ide yang ada dalam pemikiran.
Teori Wittgenstein dalam pendekatan makna terfokus pada teori yang
dikemukakannya di dalam buku Philosophical Investigation tertulis bahwa kata menunjukkan sesuatu yang dapat
diinderai keberadaannya misalnya kambing, kuda, kursi. Kata-kata ini
bermakna karena menamakan sesuatu tetapi terdapat juga banyak kata yang tidak
menunjukkan sesuatu seperti sudah, boleh, maka, dan. Oleh karena itu,
jangan ditanyakan apa arti sebuah kata tetapi bagaimana sebuah kata digunakan.
Demikian
kajian dari makalah kami yang mempersembahkan teori-teori makna untuk
menambahkan wawasan kita mengenai kajian serta pendekatan makna dalam semantik.
DAFTAR PUSTAKA
Djajasudarma, T. Fatimah. 2013.
Semantik 2 : Relasi Makna (Paradigmatik-Sintagmatik-Derivasional). Bandung
: Refika Aditama
Wittgenstein, Ludwig. 2004. Tractatus
Logico-Philosophicus. Ebook. May, Posting Date: June 11, 2009. diunduh
Oktober 2010
Wittgenstein, L. 1953. Philosophical
Investigations. Oxford : Blacwell & New York : Macmillan.
http://triseptiaa.blogspot.com/2013/12/teori-teori-tentang-makna.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar