Pages

Orang Tua, Sang Penyemangat

Sabtu, 06 Oktober 2018

Menjadi pribadi yang tidak pernah lelah belajar,
Menjadi sosok yang tidak pernah menyerah,
Menjadi nama yang selalu berguna,
Menjadi diri yang selalu berbagi,
Menjadi berilmu yang selalu menebar, dan seluruh hal yang berbaur positif.
Mungkin harusnya hal-hal seperti itu yang diajarkan pada adik-adik atau anak-anak kita.

Yang saya lihat pada gejala sosial sejak dulu, kebanyakan orang tua menekan impian anak untuk menjadi orang kaya, dokter, guru, pengacara, dan segala profesi yang dipandang terpandang. Sehingga, berujung pada upaya merenggut sebagian waktu bermainnya untuk terus belajar, yah mending kalau sampai besar diajar untuk terus belajar, nah kalau dididik untuk terus mendapat angka maksimal di rapor gimana? Kan jatuhnya akan mendorong anak terus mengejar angka2 yang tidak menyeimbangkan pada aspek afektifnya. Bahkan, sebagian anak malah berusaha mengejar nilai bukan pada sumbu ilmu pengetahuan yang diajarkan. Kemudian, upaya berbuat curang pada ujian nasional menjadi budaya yang didukung langsung oleh orang tua. Lalu, tujuan mencerdaskan dikemanakan? Bukankah kalau begitu kita malah mendidik generasi yang serakah?

Lucunya, bahkan ada beberapa wali murid yang cara mendidiknya pada anak-anak dengan memberi dua kehidupan yang berbanding terbalik. Sehingga, anak-anak merasa bahwa tidak menjadi orang kaya atau tidak menjadi orang ternama adalah sesuatu yang salah dan tidak membahagiakan. Sini biar kuberi contoh,
"Tuh lihat tukang becak itu, kalau kamu tidak sekolah kamu bakal seperti itu!"
Sungguh, itu adalah contoh kalimat yang salah untuk mendidik anak. Dengan begitu, karakter anak lebih ingin berjuang mendapat hasil yang secara instan, dia terus beranggapan bahwa pekerjaan rendahan seperti itu tidak baik (yah memang) tapi dia akan menjadi anak yang mudah merendahkan orang. Bukankah lebih baik menggantikan kalimat tersebut menjadi, "Nak, jadilah orang yang cerdas, yang bermanfaat bagi orang lain, yang mampu menolong orang-orang dengan memberi pekerjaan yang baik."
Kekuatan kalimat tersebut sangat memengaruhi banyak hal. Anak-anak jadi lebih tahu bahwa menjadi cerdas tidak hanya dengan memeroleh peringkat yang tinggi tapi yang cerdas yaitu orang yang bisa berguna untuk orang lain yang bahkan mampu menciptakan lowongan pekerjaan dengan segala bentuk kreatifitasnya. Nah, mencakup tiga aspek pendidikan, bukan? Kognitif, afektif, dan psikomotoriknya dapat semua.

Di setiap kesempatan bertemu dengan adik-adik pedalaman, saya selalu mengingatkan diri saya untuk tidak mendorong adik-adik menjadi seperti orang lain, sekali pun tokoh presiden yang menjadi contoh. Karena menunjukkan kelebihan orang kepada mereka, dengan sengaja kita menunjukkan segala bentuk kekurangannya. Yah bagus kalau mereka bisa memfilter maksud baik kita. Tapi kondisi adik-adik di pedalaman kan beda. Dia lebih bisa mengutuk keadaan kalau kita datang dengan pengaruh membawa segala janji-janji kemewahan jika dia rajin belajar. Kita hanya perlu memberi dia ruang untuk tertawa bahagia, membiarkan dia bermain, membiarkan dia melepas penat atas kecemasan masa depan yang terlalu banyak. Kita tidak perlu mengajak dia meninggalkan desa untuk menjadi orang hebat. Kita tidak perlu menyuruh dia bercermin pada orang-orang yang berada di puncak teratas. Kita tidak perlu mengingatkan dia terus belajar untuk mendapat nilai bagus, tetapi mengajak dia belajar untuk mengetahui banyak hal yang bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari. Mereka harus diselamatkan dari budaya kompetisi yang ambisius di dunia sekolah.

Peran orang tua harusnya menjadi penyemangat bukan penuntut.

Makassar, 23 September. Dibuat dengan pikiran yang sedang menampung banyak kegelisahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS