Pages

Selayaknya dan Sepantasnya: Gengsi dan Tradisi

Rabu, 15 Januari 2020

Tulisan ini bagian dari tulisan harian yang rutin kubagikan di sebuah platform sebelah. Topik kali ini adalah pembahasan yang sudah lama sekali ingin kudiskusikan meskipun hanya diri sendiri yang menjadi lawan bicara. Tulisan ini bukan seperti tulisan para pengamat budaya atau seperti buah pikiran dari seorang konsultan adat. Ini hanyalah uraian cerita setelah lelah beraktivitas yang sudah biasa untuk menuang penat dalam tulisan. Tetapi, isi tulisan ini bukan curahan seorang pekerja yang ingin berbagi keluh atas rutinitas seharian ini. Ini adalah medium yang sedianya diandalkan untuk menjadi tempat berbagi isi pikiran, pikiran yang sudah meluap ingin terurai. Lagi, yang menang untuk dibahas kali ini adalah bukan perihal suka duka berkarir. Pernikahan menjadi pemenang topik untuk hari ini.

Aku sangat ragu dan sangat miskin kata untuk membahas ini karena tahu akan banyak protes dan komentar sensitif atas perbedaan pendapat dari masalah yang ingin kuangkat. Mohon agar sama-sama saling terbuka dan sama-sama menyamakan pendapat, berkenan memberi nasehat, serta berlapang meluruskan kekeliruan terkait fakta dan opini yang akan turut tersajikan.

Sebelum memutuskan dengan percaya diri menuliskan ini, aku diingatkan beberapa unggahan dari teman-teman di media sosial pada satu tahun kemarin. 

Tahun 2019 kemarin, masyarakat sempat dihebohkan oleh beberapa pernikahan mewah dari kalangan ningrat pun selebriti. Tak kalah membuat heboh, pernikahan yang sangat tidak lazim juga banyak mengundang perhatian. Seperti mahar yang hanya sendal jepit hingga sepasang penulis yang melangsungkan akad pernikahan hanya di KUA.

Sedikit mengundang tanya untuk diriku sendiri pada alasan-alasan beberapa orang yang membagikan kembali berita-berita pernikahan yang bersinggungan dengan mahar. Adakah maksud mereka untuk menyindir atau memberi kode pada pasangan atau calon teman hidupnya?

Ketika kabar seorang wanita diberi mahar dan -panaik- yang isinya sampai milyaran rupiah, kemudian para wanita berbaris membagikan berita tak penting itu yang sadar atau tidak sadar membuat sebagian laki-laki mendapat tekanan baru. Sepeleh memang, tetapi tak sedikit teman-teman kaum adam yang merasa risih dan resah jika berhadapan dengan persoalan pernikahan. Yang sebelumnya sudah siap untuk meminang kekasihnya malah diurungkan karena bayangan hitam mahar yang terus memberatkan punggung. Berita seperti ini sungguh menambah standar pernikahan di Indonesia semakin rumit dan jauh dari esensi pernikahan itu sendiri. 

Lalu, para lelaki di luar sana pun tak mau kalah memberi kode para wanita itu untuk berkenan meringankan sekelumit syarat pernikahan. Mereka turut menyerang dengan membagikan pemberitaan seorang pria yang berhasil meminang seorang gadis cantik hanya dengan sepasang sendal jepit. Sungguh lelucon yang tidak sedikit pun menggelitik. Ada apa dengan para pria yang menyerah sebelum berjuang, ada apa dengan para bujangan yang menuntut keringanan padahal belum beradu kemampuan, ada apa dengan para jejaka yang merendah dengan meminta kerendahan mahar padahal kemampuan yang dimilikinya belum ia sadari atau tidak ingin ia akui.

Titik berat pembahasanku kali ini mengarah pada persoalan 'selayaknya dan sepantasnya'. Aku tak berani memberi ruang banyak untuk membahas sebuah tradisi pun aturan dalam agama.

Aku mengakui bahwa makin ke sini segala rangkaian pernikahan di Indonesia semakin menunjukkan kerumitan yang tak terkira. Bersanding dengan gaya hidup modern tidak membuat masyarakat melupakan tradisi, lucunya hanya tradisi pernikahan yang kebanyakan diagungkan, tradisi perihal tatanan budaya yang lebih aplikatif untuk urusan kemanusiaan malah terkubur oleh pengabaian semua umat. Semakin banyak orang yang membuat ribet prosesi pernikahan, makin banyak pula yang membuat prosesi pernikahan semakin disepelehkan. 

Mewah atau sederhananya perhelatan pernikahan masih tidak menjamin bahwa kedua mempelai mampu mempertanggungjawabkan segala unsur yang terkandung dalam sebuah pernikahan.

Yang mengadakan pesta pernikahan cukup meriah dianggap hanya ingin memuaskan kebahagiaan tetamu sedang ia dianggap merugikan diri atas nominal anggaran biaya seremoni. Yang memilih menikah hanya di Kantor Urusan Agama dan cukup dihadiri oleh keluarga dianggap kurang mensyukuri sebuah agenda penting yang digadang-gadang hanya terjadi sekali seumur hidup. 
Untuk masalah ini, memang kebanyakan hanya bisa mengukur kebahagiaan orang lain. Mengukur selera orang lain yang hanya dapat ia tebak dengan segala keterbatasan pengetahuannya. 
Untuk masalah ini memang sedikit sensitif karena dapat mengundang kompetisi antara masyarakat yang masing-masing memiliki konsep sendiri terkait pernikahan yang diimpikan. Apapun pilihannya, semua kembali pada urusan selera. Terpenting adalah kita tidak mengabaikan bahwa di atas segala bentuk perayaan pernikahan yang tertinggi untuk digapai bukan hanya pernyataan SAH tetapi mengejar berkah dan rida Ilahi. Mewah dan Sederhana sama sekali tidak memberi jaminan bahwa yang kita jalani akan seratus persen mendapat berkah Tuhan. Jadi, mulai dari sekarang mari untuk tidak mengukur apapun bentuk pernikahan orang lain. Cukup memberi doa dan harapan segala kebaikan untuk yang melangsungkan pernikahan.

Dari sudut pandangku sendiri, aku tentu tidak terlalu mengagungkan sebuah pernikahan yang diadakan di ruang konvensi hotel berbintang. Juga tidak yakin akan cukup bahagia jika hanya menikah di KUA. 

Aku tidak berani mengatakan bahwa gengsi akan dikesampingkan atau tradisi akan kuhilangkan. Tentu aku juga memiliki tipikal pernikahan yang bisa membuatku bahagia dan tidak menyisakan utang-piutang setelah berlangsungnya acara.

Sepuluh Januari kemarin, seseorang yang kukenal akhirnya sedikit mematahkan tradisi yang sangat kebal untuk ditaklukan. Ia adalah seorang wanita dari keluarga terpandang. Keturunan keluarga yang sangat bersahaja dari segi akademis, kultur, bahkan agama. Akhirnya melepas masa lajang setelah seorang pria idaman berhasil mendapat restu dari walinya. Ia melalui banyak ujian untuk memenuhi segala syarat pernikahan hingga akhirnya mampu memberi mahar yang benar-benar memenuhi definisi selayaknya dan sepantasnya. Ia berani memberi mahar ayat suci quran tetapi tak lupa memberi harta investasi sebagai pendamping dari mahar wajib yakni setelan perhiasan emas dan perangkat alat salat. Prosesi pernikahan dan perhelatannya cukup sederhana dari kacamata penilaianku karena tahu bahwa ia bisa saja mengadakan acara yang jauh lebih mewah dan meriah. Aku tidak melihat ada pihak yang memberatkan, tidak juga melupakan adat sebagai bumbu prosesi, bahkan tak mengesampingkan kesakralan akad dari segi agama.

Melalui goresan hasil pikiran ini, aku menyampaikan bahwa pernikahan tidak selalu tentang pemenuhan gengsi apalagi pelaksanaan tradisi. Melangsungkan pernikahan adalah bagian dari ibadah yang tentu kekhusyukan adalah pengharapan yang utama dan rida ilahi adalah tujuannya. Menikah tidak bermuara sampai lantangan ijab qabul dan ketegasan pernyataan sah dari wali, menikah adalah tanda dimulainya sebuah kehidupan yang baru.

Menikah juga bukan sebuah kompetisi, bukan untuk menunjukkan siapa yang cepat bahkan bukan tentang siapa yang menikah dengan segala kemegahan acara. Menikah tidak sesederhana itu juga dengan omong kosong 'asal SAH', mahar yang sederhana juga tidak hanya berupa 'asal ada' tetapi merupakan harta terbaik yang dimiliki dan diandalkan seorang pria.

Sebelum keras berpikir tentang pernikahan, semoga di antara kami ini tidak ada yang menganggap bahwa hidup hanya tentang menikah saja. Pembahasan ini cukup ringan bagi yang ingin sedikit meluangkan waktu untuk mengobrol soal masa depan.

Mari memilih pilihan hati karena semata-mata ingin mengajaknya untuk beribadah bersama, sama-sama ingin membangun bahtera rumah tangga di atas syariat agama, bersama ingin meraih surga yang telah dijanjikan Allah, benar-benar yang mampu menyempurnakan agama.

Memilih menggunakan high heels atau sneakers ketika hari akad pernikahan, itu adalah pilihan. Memilih menggunakan pakaian adat atau gaun putih yang elegan itu juga pilihan. Terpenting tidak ada maksud untuk berunjuk diri siapa yang lebih baik dalam merayakan pernikahan.

Jika kamu merasa sia-sia sudah membaca tulisan tidak penting ini, setidaknya marah-marahmu bisa lebih bermanfaat jika menaruh saran dan tambahan poin yang juga kamu anggap penting untuk diangkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS