Berikut deskripsi penggunaan dan pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa dalam interaksi politik antara Panglima TNI dan Rosi Silalahi di talkshow ROSI Kompas TV.
A.
Maksim
Kebijaksanaan
1.
“... Kalau saya menanggapi
kelompok-kolompok naif itu, maka saya juga bodoh. Itu seperti kalau kita
berkelahi dengan orang gila maka kita juga bisa gila...”
Penjelasan
:
Bentuk
tuturan pertama di atas menunjukkan adanya pelanggaran
terhadap maksim kebijaksanaan karena informasi yang dinyatakan oleh penutur
dianggap merugikan orang lain. Walaupun penutur tidak mengucapkan nama kelompok
yang naif, tetapi pendengar bisa memahami bahwa yang dimaksud adalah jurnalis
Amerika (Allan Nairn) dan media tirto.co.id yang memuat tulisan tentang makar
itu.
2.
“Saya tidak membahas ini karena kalau
kita lihat masyarakat (Jakarta khususnya) bisa mengetahui kok apa yang terjadi
enam bulan terakhir mulai dari 411. Pertama, masyarakat bisa mengetahui apa
yang terjadi selama enam bulan terakhir. Kedua, kalau toh saya akan makar, sejak
reformasi 1998 sampai dengan saat ini
syukur Alhamdulillah Institusi TNI tidak pernah tidak netral.”
Penjelasan
:
Tuturan
di atas merupakan jawaban atas pertanyaan mengenai bagaimana seharusnya Panglima
memberi penjelasan kalau beredar isu bahwa narasumber dari tulisan opini Allan
Nairn tidak lain dari lingkaran terdekat Panglima TNI. Dengan bijak, penutur
memberikan jawaban yang menguntungkan orang lain. Dari tuturan tersebut
menunjukkan bahwa penutur sudah yakin kalau masyarakat tahu persis kondisi
Indonesia (Jakarta) selama enam bulan atau sejak adanya aksi bela Islam, lalu
dia juga memberi penegasan bahwa jika saja ia makar, maka tidak mungkin sejak
reformasi 1998 hingga sekarang institusi TMI selalu netral. Jadi, informasi
yang diberikan penutur tidak memberikan efek merugikan kepada orang lain dan
memaksimalkan keuntungan kepada masyarakat dan institusi TNI yang masing-masing
tentunya paham bahwa orang-orang di sekitarnya tidak mungkin menjadi mata-mata
untuk Allan Nairn dalam membuat berita dugaan makar.
3.
“Apapun itu kalau saya anggap gila maka
tidak akan saya tanggapi.”
Penjelasan
:
Ada
indikasi pelanggaran maksim kebijaksanaan dari tuturan tersebut. Karena
pernyataan tersebut merupakan jawaban dari ‘kalau menanggapi tulisan wartawan
Amerika?’ Penutur menganggap bahwa apapun itu termasuk tulisan Allan Nairn
dianggapnya juga gila jadi tidak akan menanggapi isi tulisan jurnalis senior
itu. Nah, dari pernyataan tersebut khususnya dari kata ‘gila’ penutur
menyudutkan orang lain dengan memberikan ungkapan yang bisa merugikan Allan
Nairn.
4.
“Jangan mau ditakuti.”
Penjelasan
:
Tuturan
tersebut hadir sebagai jawaban dari permintaan saran Panglima oleh pembawa
acara mengenai cara tentara turut menjaga keamanan negara dan jawaban tersebut
adalah jawaban yang memenuhi maksim kebijaksanaan karena itu berupa saran atau
tawaran yang dapat menguntungkan orang lain atau seluruh tentara di Indonesia
agar jangan mudah ditakuti oleh berbagai ancaman yang ingin menggoyahkan
keamanan Indonesia.
B.
Maksim
Kedermawanan
1.
“Peci putih itu komunikasi bahwa saya
sama dengan aksi agar saya bisa menenangkan para aksi dan bisa mengendalikan
(jika terjadi pemberontakan).”
Penjelasan
:
Tuturan
di atas menunjukkan bahwa penutur berupaya memposisikan dirinya seperti pendemo
yang diidentik warna putih ketika aksi itu, sehingga dia bisa menyatu bersama
para demo untuk mengendalikan suasana jika terjadi ketegangan. Tuturan tersebut
dinilai memenuhi maksim kedermawanan karena penutur menyiratkan kerugian diri
sendiri jika saja terjadi kerusuhan.
2.
“Jadi, apapun yang saya lakukan tidak
masalah yang penting tujuan berhasil walaupun beresiko.”
Penjelasan
:
Dengan
mengatakan bahwa Panglima akan lebih mengutakan tujuan utamanya sebagai
prajurit dan rela mengambil resiko demi mengamankan Presiden, maka tuturan
tersebut menggunakan maksim kedermawanan karena berdasarkan apa yang dituturkan
Panglima TNI telah memberi isyarat bahwa ia rela meminimalkan keuntungan
dirinya dan rela bertindak untuk membantu orang lain yaitu Presiden.
C.
Maksim
Penghargaan
1.
“Tapi, mungkin kelompok-kelompok
(jurnalis Amerika) itu lupa bahwa sekarang kita sudah sangat maju. Banyak
perusahaan-perusahaan Indonesia mempekerjakan bule-bule di sini.”
Penjelasan
:
Sebelum
penutur menguraikan kalimat di atas, dia memberikan gambaran mengenai
masyarakat Indonesia yang saat dijajah selalu menganggap apa yang dikatakan
orang bule itu benar semuanya. Kemudian, dari tuturan di atas menunjukkan bahwa
penutur memberikan pujian terhadap Indonesia yang sudah terlihat maju karena
sudah mampu mempekerjakan bule-bule.
2.
“Kan kita sudah mengamati sejak awal
siapa itu Allan Nairn. Jadi, kalau tidak begitu atau kita tanggapi maka kita
termasuk kelompok-kelompok Allan Nairn.”
Penjelasan
:
Dari
tuturan di atas, secara tersirat dapat disadari bahwa penutur melanggar maksim penghargaan karena
pernyataan di atas menjawab pertanyaan mengapa reaksi TNI cepat menganggap
berita yang ditulis jurnalis Amerika itu sebagai berita bohong. Lalu, penutur menegaskan
bahwa dia sudah mengamati sejak awal siapa itu Allan Nair (Jurnalis Amerika)
yang secara tersirat bermakna negatif mengenai sosok Allan. Lalu, penutur juga
mengulangi bahwa ia tidak ingin menanggapi karena tidak mau termasuk kelompok
dari Allan Nairn. Dengan demikian, rasa tidak ingin yang diungkapkan penutur
seperti mengejek bahwa orang-orang yang percaya opini Allan Nairn itu tidak
baik. Jadi, ada indikasi mengejek dan merendahkan yang bertentangan dengan
maksim penghargaan.
3.
“Makanya, saya katakan tadi bahwa
masyarakat Indonesia sudah cerdas.”
Penjelasan
:
Penutur
terus mengungkapkan bahwa masyarakat tidak akan mudah percaya dengan isu makar.
Terkait dengan perkataannya bahwa kita tidak hidup lagi di zaman penjajahan,
penutur kemudian memuji bahwa masyarajat sudah cerdas untuk menjawab pertanyaan
pembawa acara mengenai pelaporan ke dewan pers. Maksud penutur memuji seperti
itu karena ingin memberi penegasan bahwa tidak perlu dibawa ke meja hukum
karena masyarakat sudah cerdas menentukan mana kabar bohong atau benar.
4.
“Kalau institusi TNI main-main, tidak
mungkin saat ini institusi TNI adalah institusi yang terpercaya oleh masyarakat
Indonesia. Dan justru Presiden Jokowi yang mengatakan hasil survei ini dan
meminta saya untuk mempertahankan.”
Penjelasan
:
Tuturan
tersebut adalah jawaban lanjutan dari pertanyaan Rosi yang mengatakan bagaimana
cara Panglima menanggapi bahwa ternyata Allan Nairn memeroleh informasi tentang
makar dari orang-orang terdekat Panglima. Penutur justru mengisyaratkan
kesantunan berbahasanya melalui maksim penghargaan kepada institusi TNI yang
menurutnya tidak mungkin main-main karena TNI adalah institusi yang terpercaya
oleh masyarakat. Jadi, jawaban dengan memberikan pujian kepada institusinya itu
memberi pemahaman kepada pembawa acara bahwa panglima yakin tidak ada
orang-orang TNI yang bekerja sama dengan Allan Nairn untuk memfitnah dirinya.
5.
“...tidak ada media di Indonesia yang
terpercaya memuat itu.”
Penjelasan
:
Dari
bentuk-bentuk tuturan sebelumnya, penutur selalu mengatakan bahwa media-media
atau beberapa orang/kelompok yang menanggapi tulisan Allan Nairn itu seperti
orang yang hidup di jaman penjajahan dan ‘agak gila’. Namun, pada tuturan kali
ini penutur memberikan apresiasi dan pujan terhadap media-media Indonesia yang terverifikasi
dan terpercaya (Kompas TV, Majalah Tempo, situs republika.com, dsb.) yang
justru tidak memuat tulisan tersebut. Sehingga, melalui maksim penghargaan
kepada media Indonesia yang terpercaya membuat pembawa acara mengerti kalau
Panglima tidak perlu menyampaikan tulisan Allan Nairn ke dewan pers karena yang
mengedarkan tulisan itu adalah media yang belum terverifikasi di Indonesia.
6.
“Saya mengamati siapa pemimpin saya.
Maaf kalau saya salah, kalau beliau tersinggung (mengenai peci). Beliau adalah
orang berani dan nekat. Ketika dilarang justru berangkat untuk sholat jumat
(pada saat aksi)...”
Penjelasan
:
Penutur
memberikan penghargaan kepada pemimpinnya dengan memuji bahwa Presiden Jokowi
itu berani karena tidak takut dengan para aksi yang bisa saja melakukan
pemberontakan saat Jokowi berada di lapangan. Penutur juga mengucapkan ‘maaf’
kalau saja Presiden merasa tersinggung mengenai warna peci yang mengundang
ribuan persepsi. Dari tuturan tersebut, penutur sangat menunjukkan adanya rasa
kekaguman kepada Presiden yang dianggapnya panglima tertingginya yang sudah
nekat melaksanakan sholat jumat di Monas bersama para pendemo.
7.
“Di dalam doktrin militer yang jadi
utama adalah asas tujuan. Tujuan saya adalah mengamankan Presiden.”
Penjelasan
:
Penutur
menunjukkan maksim penghargaan karena dari tuturan di atas yang berisi bahwa
tujuan militernya adalah mengamankan Presiden yang artinya ada bentuk
penghormatan yang tinggi kepada Presiden.
8.
“Yang bisa mengontrol saya hanya
Presiden karena itu tanggung-jawab saya sama Presiden.”
Penjelasan
:
Menunjukkan
rasa hormat dan penuh tanggung-jawab kepada Presiden melalui tuturan tersebut,
penutur dianggap telah mengaplikasikan maksim penghargaan.
9.
“Cukup pemimpin saya yang melihat saya
karena dia yang mengangkat saya dan mencopot saya.”
Penjelasan
:
Penutur
terus menunjukkan rasa hormatnya kepada Presiden sebagai atasannya yang telah
melantik dirinya sebagai Panglima TNI. Berdasarkan tuturan tersebut, penutur
memenuhi maksim penghargaan yang menunjukkan adanya rasa kekaguman dan
menghormati sang Presiden yang berhak menilai kinerja atau loyalitasnya.
10.
“Mereka yang ikut aksi menyampaikan
aspirasi dengan tertib. Jadi tidak ada yang mengganggu.”
Penjelasan
:
Melalui
tuturan di atas, penutur memberikan penghargaan yang tulus kepada para aksi
karena menyampaikan aspirsinya dengan tertib dan tidak menimbulkan
pemberontakan.
11.
“Yang melakukan aksi juga warga yang
cinta negaranya. Jadi, tidak mungkin melakukan kerusakan.”
Penjelasan
:
Penutur
menggunakan maksim penghargaan untuk memberi pujian kepada para demonstran yang
nasionalisme yang diyakininya bahwa tidak akan melakukan kerusakan.
D.
Maksim
Kesederhanaan
1.
“Saya takut justru saya akan dianggap
gila.”
Penjelasan
:
Menjawab
pertanyaan pembawa acara bahwa apakah benar pak Gatot tidak perlu menanggapi
Allan Nairn? Jawaban yang diberikan penutur menunjukkan kelemahan diri sendiri
bahwa ada rasa takut kalau menanggapi Allan Nairn malah akan membuat dirinya
dianggap gila. Seandainya jika tuturan di atas tidak tergolong maksim
kesederhanaan, maka penutur tidak perlu mengatakan ‘saya takut’ karena makna
dari frasa itu menunjukkan sikap rendah diri seorang Panglima yang sebenarnya
dikenal tidak pernah takut kecuali dengan Tuhan dan Presiden. Kemudian dari
kalimat “saya takut justru saya akan dianggap gila” memperlihatkan usaha Gatot
yang mengecam dirinya sendiri secara tidak langsung.
2.
“...Jadi kedua-duanya bukan masalah TNI
kalaupun TNI ikut di situ. Itu karena TNI membantu kepolisian. Turut
mengamankan dan itu pun dilakukan TNI atas permintaan Kapolri.”
Penjelasan
:
Dari
tuturan di atas, penutur tidak menunjukkan kemampuan diri sendiri. Ia
menganggap bahwa terlibatnya TNI dalam pengamanan aksi bela Islam berjilid itu
tidak lain karena permintaan Kapolri. Pernyataannya seperti ia menganggap bahwa
TNI hanyalah bawahan dari Kapolri dalam pengamanan aksi bela Islam.
3.
“Yang bisa mengontrol saya hanya
Presiden.”
Penjelasan
:
Menganggap
bahwa ia bisa dikontrol oleh Presiden menunjukkan adanya sikap keserderhanaan
dari tuturannya yang menganggap bahwa dirinya lemah di bawah Presiden.
4.
“Saya dilantik dengan Presiden sebagai
panglima TNI. Setiap prajurit disumpah untuk taat pada aturan. Saya tidak mau
jadi presiden.”
Penjelasan
:
Ketika
ditanya oleh pembawa acara apakah Pak Gatot ingin menjadi Presiden, sontak
penutur menunjukkan sikap yang rendah diri yang menyiratkan bahwa ia tidak
pantas menjadi Presiden. Atas sumpah prajuritnya, ia harus taat pada aturan dan
tidak mau jadi Presiden.
E.
Maksim
Pemufakatan
1.
“Orang bisa percaya bahwa itu benar
kalau kita hidup di zaman dulu ketika baru saja merdeka. Dulu kalau yang namanya kita bekas
dijajah melihat orang bule itu (orang kampung saya bilang tuan-tuan Belanda)
semua yang dibicarakan tuan-tuan itu dianggap benar semuanya.....”
“....Jadi,
kalau saya tanggapi hal semacam itu saya seperti hidup pada jaman baru merdeka...”
Penjelasan
:
Tuturan
di atas merupakan jawaban pertama dari penutur setelah menerima pertanyaan
pembawa acara terkait mengapa Panglima TNI menganggap berita dugaan makar yang
menyeret namanya adalah isu kecil dan tidak perlu ditanggapi. Pernyataan ini
menunjukkan adanya maksim pemufakatan tetapi bukan berbentuk persetujuan.
Panglima TNI ini tidak setuju
terhadap pendapat pembawa acara yang mengatakan bahwa publik bisa saja percaya
terhadap isu makar itu meskipun Pak Gatot menganggap itu isu kecil. Penutur pun
menyertakan alasan yang santun dalam mengemukakan ketidaksetujuannya terhadap
pendapat pembawa acara. Alasannya pun sangat logis dan mudah diterima sebagai
rasa tidak setuju penutur.
2.
“Tidak ada perubahan. Saya tidak pernah
mengatakan akan ajukan ke hukum karena itu yang diharapkan sama dia. Jika
diproses hukum, dia akan membesar dan saya yang mengecil.”
Penjelasan
:
Tuturan
ini juga termasuk maksim pemufakatan, walaupun ada ketidaksepakatan terhadap
pernyataan pembawa acara yang mengira bahwa Panglima TNI sebelumnya ingin
melapor ke polisi lalu ke dewan pers, namun pernyataan tidak setujunya
tergolong santun dengan mengutarakan alasannya yang jelas. Penutur menyatakan
tidak setuju bahwa ada perubahan karena kenyataannya penutur yakni panglima TNI
tidak pernah ingin mengajukan isu itu ke ranah hukum karena akibatnya akan
lebih berdampak kepada si jurnalis Amerika itu yang mampu membuat panglima TNI
terlihat kecil atau kalah.
3.
“Bukan diselesaikan di dewan pers...”
Penjelasan
:
Melanggar
maksim pemufakatan karena tuturan di atas menjawab pertanyaan pembawa acara
yakni apakah pak Gatot menganggap isu ini bisa diselesaikan ke dewan pers.
Lalu, penutur menyanggahnya dengan sikap tidak setuju dan tidak mengutarakan
alasannya yang lebih jelas.
4.
“Memang saya sulit dikontrol...”
Penjelasan
:
Tuturan
tersebut memberikan kesepakatan terhadap pernyataan pembawa acara yang mengutip
berita media-media bahwa Panglima sulit dikontrol. Penutur menyutujui dan
mengatakan bahwa benar ia sulit dikontrol.
5.
“Kita perlu membuka memori bahwa sebelum kemerdekaan dimotori
oleh para kiyai sehingga para santrinya ikut berjuang memerdekan bangsa
Indonesia. Sebagian besar umat Islam yang memerdekan bangsa Indonesia. Masa ada
makar? Tidak mungkin masyarakat Indonesia mau menghancurkan negaranya.”
Penjelasan
:
Penutur
mempertegas bahwa tidak mungkin ada makar yang dilakukan di balik aksi bela
Islam karena ia menganggap bahwa umat Islam yang telah berjuang memerdekan
Indonesia tidak mungkin membuat kekacauan di negeranya sendiri. Penutur
menunjukkan adanya ketidaksepakatan yang didahului dengan alasan yang sangat
jelas sehingga tuturan di atas termasuk ke dalam maksim pemufakatan.
F.
Maksim
Kesimpatian
1.
“Saya agak tersinggung karena saya umat
Islam juga. Kita perlu membuka memori
bahwa sebelum kemerdekaan dimotori oleh para kiyai sehingga para santrinya ikut
berjuang memerdekan bangsa Indonesia. Sebagian besar umat Islam yang memerdekan
bangsa Indonesia.”
Penjelasan
:
Berdasarkan
pertanyaan pembawa acara yakni ‘Bagaimana
analisis Bapak kalau aksi-aksi ini bisa mendomplengi aksi kudeta Jokowi?’,
Penutur langsung saja menunjukkan rasa simpatinya kepada umat Islam sebagai
pendemo yang diduga berupaya mengudeta Presiden Jokowi. Ia bisa merasakan apa
yang dirasakan para demonstran yang muslim jika dituduh ingin makar ke
pemerintah karena demonstran yang menuntut keadilan juga sama seperti dirinya
yang memeluk agama Islam. Penutur menganggap bahwa umat Islam justru yang
berperan besar saat memerdekan Indonesia sehingga tidak mungkin akan
menghancurkan negaranya sendiri.
Berdasarkan
deskripsi hasil penelitian di atas terlihat bahwa (1) maksim kebijaksanaan
diterapkan sebanyak dua kali dan dilanggar sebanyak 2 kali pula; (2) maksim
kedermawanan digunakan sebanyak dua kali; (3) maksim penghargaan ada sebelas
bentuk tuturan, satu ada pelanggaran dan sepuluh merealisasikan maksim
penghargaan; (4) maksim kesederhanaan sebanyak empat kali penerapan; (5) maksim
pemufakatan ada lima bentuk tuturan, satu tuturan melanggar indikator maksim
kesepakatan, tiga tututan menyatakan ketidaksepakatan tapi menyertakan alasan
sehingga tetap tergolong maksim pemufakatan, dan ada satu tuturan bentuk
kesepakatan; (6) maksim kesimpatian hanya diterapkan sebanyak satu kali.
Dapat
dibuktikan bahwa sang Jenderal Panglima berada pada taraf sangat santun karena
telah mampu menerapkan enam maksim dalam prinsip kesantunan berbahasa. Namun,
frekuensi penggunaan maksim penghargaan sangat tinggi di antara maksim lainnya,
dapat pula dipredikatkan bahwa panglima TNI dalam bertutur itu sangat
apresiatif. Dari hasil penelitian ditunjukkan bahwa Panglima TNI dua kali
melanggar maksim kebijaksanaan, satu kali pelanggaran terhadap maksim
penghargaan, satu tuturan melanggar maksim pemufakatan. Dengan demikian, karena
bentuk penerapan lebih banyak daripada bentuk pelanggaran maksim kesantunan
oleh Panglima TNI, dapat dinilai bahwa Panglima TNI sangat santun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar