Pages

Bunga Terakhir

Senin, 22 Mei 2017



Bunga Terakhir
“Aku mau pergi perpisahan, kak.”
“Jangan. Kamu harus di sini.”
Seharusnya aku tidak punya alasan untuk melarangmu pergi. Pergi mengatakan selamat tinggal kepada teman-temanmu. Selamat tinggal atas tiga tahun yang telah kau lalui di bangku SMP. Andai saja aku membiarkan kamu pergi, mengizinkanmu untuk menemui teman-temanmu yang berhak mendapatkan ucapan selamat tinggal darimu. Jika aku lakukan mungkin teman-temanmu yang ada di depanmu ini bisa memotret gambar dirimu bersama mereka di suasana yang ceria atas kelulusan kalian untuk yang terakhir kalinya.
“Selamat jalan, dik.”
Kamu ternyata bukan saja ingin menghadiri acara perpisahan sekolah, tapi kamu sekaligus mengadakan perpisahan dengan dunia. Maafkan kakak yang tidak bisa menjadi pengganti ibu untuk menjaga mu hingga sehat. Kamu bahkan sangat tersiksa dengan kekalahan melawan penyakit yang kau derita. Kamu kalah, tapi kamu menang karena lebih cepat bertemu dengan orang yang sama-sama kita sayangi.
Hari ini atas nama Melati pergi untuk selamanya. Penyakit yang menyebabkan kematiannya belum dapat dipastikan karena tim medis hanya dapat mendiagnosis sampai pada kerusakan sistem pernapasan. Dengan demikian, sampel darah dan liur akan segera dicek di beberapa laboratorium rumah sakit yang memiliki kelengkapan alat medis yang lebih canggih.
Kurun waktu sembilan hari. Aku merasa langit begitu marah kepadaku. Aku merasa mentari enggan tersenyum hingga menerikkan cahayanya. Bulan seperti ingin terus meredupkan sinarnya. Bunga-bunga yang aku jaga hingga tumbuh kembang sempurna kini dipetik oleh Tuhan selama sembilan hari. Aku tidak tahu bagaimana menghabiskan air mata. Aku bahkan lupa bagaimana permukaan pipiku dapat kering. Lekukan bibir tersenyum sekilas sembari menjabat tangan-tangan pelayat mengucapkan terima kasih atas belasungkawa. Kemudian, bentuk lekukan itu terbalik hingga menarik genangan air mata di kelopak untuk membasahi kedua pipi. Aku sehat, batinku saja yang tersakiti. Bagaimana mungkin aku bisa hidup lebih tenang dan ceria saat beberapa bunga yang kau sayangi mati? Bagaimana kebahagiaan yang akan dirasakan tanpa ada lagi orang-orang yang terkasih?
Aku tiga bersaudara. Akulah yang bertanggungjawab penuh atas adik-adikku setelah orangtuaku. Kami adalah tiga bunga untuk Ayah dan Ibu. Anggrek, Mawar, Melati itulah nama-nama kami. Kami dirawat dengan penuh kasih sayang oleh bunga matahari kami yaitu Ibu. Kami diajar untuk saling mengasihi satu sama lain. Kini aku percaya bahwa setiap orang akan lebih memilih bunga yang paling cantik untuk dipetik. Bahkan Tuhan pun demikian. Ia memilih bunga-bungaku yang lebih menawan daripadaku untuk ke surga-Nya.
Tiga hari yang lalu aku mendampingi Ibuku yang terbaring sakit dan di sebelahnya ada Melati. Mereka berdua dirawat dalam satu ruangan. Mereka tak berdaya seperti hampir layu namun terus saja berusaha memekarkan senyumnya di depanku.
“Jagalah dia. Biarkan dia terus berkembang agar keindahannya selalu menyenangkan orang lain. Dia akan tumbuh dengan baik walaupun hanya ada kamu di sampingnya. Dia sudah remaja, bahkan dia sudah mau memasuki jenjang SMA. Jagalah adikmu.”
“Ibu, pasti saya akan jaga. Kita akan jaga bersama-sama.”
Saat itu hatiku dikoyak-koyak, seluruh tubuh ini seperti disayat-sayat. Kedua kaki tak kuat menopang bobotku. Pita suara seperti kusuk hingga kurasa aku tak mampu teriak. Air mata terus bercucuran. Bunga matahariku sudah mati. Ibuku meninggal di samping ranjang Anggrek. Ayah langsung menugaskan para perawat untuk memindahkan Anggrek yang masih tertidur lemah ke ruangan lain. Aku tak kuasa melihat bungaku yang kedua kalinya gugur. Kepilauan ini seperti terus mengasa keimananku. Aku bahkan sempat berpikir bahwa Tuhan begitu kejam mengambil orang-orang baik dari sisiku. Aku seperti tidak sangat baik di depan Tuhan hingga mengambil bagian keindahan dari hidupku. Namun, aku selalu mengingat kata-kata Ibu bahwa Tuhan tidak pernah tidak adil kepada setiap hamba-Nya. Aku selalu berusaha berprasangbaik kepada Tuhan dengan menanamkan kepercayaan bahwa bunga yang baiklah yang selalu dipetik terlebih dahulu. Aku tahu Tuhan menyadari bahwa Mawar yang meninggal delapan hari lalu, Ibu sang bunga matahariku diwafatkan tujuh hari yang lalu, dan Melatiku yang terpisah dariku hari ini adalah semua bunga-bunga indah.
Mereka pergi setelah menyelesaikan kewajibannya. Mawar sudah menamatkan sekolahnya, Melati juga sudah menyelesaikan sekolahnya di menengah pertama, dan Ibu sudah cukup mengorbankan dirinya menjaga kita semua hingga tumbuh besar seperti ini. Ibu sudah berhasil membuatku menjadi sarjana dokter muda. Mungkin sudah seharusnya mereka pergi ke kehidupan yang lebih sempurna dan abadi.
Genap sembilan hari, tiga bungaku berhenti mekar. Di depan mataku ada Melati yang terkujur kaku pucat tanpa napas. Balutan kain menutupi tubuhnya yang sangat dingin dan segera dimandikan lalu dikafani. Di sekelilingnya ada sahabat-sahabatnya yang terguncah kesedihan. Mereka juga sangat sedih ditinggalkan oleh sahabat yang begitu baik. Tinggallah aku dan ayah. Ayah kini hanya memiliki satu bunga dalam hidupnya. Ayah yang sangat menyayangi Ibu begitu lemah menahan air mata karena harus berpura-pura tegar. Ayah tidak pernah sekali pun menyakiti Ibu dan selalu saja membuat kita semua bahagia walaupun harus Ayah yang mengorbankan diri. Dapatkah aku menjadi bunga terakhir yang membanggakan Ayah?
Ayah mungkin tidak akan lagi menemukan bunga matahari yang selalu menghangatkan jiwanya ketika lelah bekerja, ayah tidak akan lagi melihat bunga mawar yang senantiasa mengajaknya bercanda dan tertawa dikala beban pekerjaan membuat saraf-sarafnya kaku, dan ayah tidak akan lagi menjumpai melati yang terus menyejukkan hati Ayah di saat emosi tidak stabil. Ayah harus berjuang merawat anggrek yang begitu menyusahkan sepertiku. Ayah akan berjuang seorang diri membuat anggrek dapat berharga.
Waktu terus kulewatkan tanpa ada kegembiraan bersama bunga-bunga kebanggaanku. Aku harus melanjutkan kehidupanku dengan semangat. Aku tidak boleh menyerah hanya karena mereka sudah bahagia di alam yang berbeda. Aku harus bisa membahagiakan bunga-bungaku yang ada di sana. Aku harus membuat ayah senang karena dia berhasil menjadikanku seorang dokter. Aku berjanji bahwa aku harus mampu membebaskan orang-orang dari virus yang mematikan. Aku tidak ingin ada bunga lain yang gugur di saat mereka sudah tumbuh cantik. Aku tidak ingin menyia-nyiakan pengorbanan ibu yang berusaha menyemengatiku saat aku letih menghadapi perkuliahan, aku enggan membuat Mawar dan Melati kecewa jika saja aku tidak menjadi dokter yang handal karena mereka sudah berkorban untuk terus menyisihkan uang jajannya agar membantu biaya praktikum untukku.
Mereka terjangkit virus H5N1. Hasil diagnosisnya baru keluar setelah mereka hidup tenang di alam sana. Sangat lambat untuk diketahui. Seharusnya dokter yang menangani mereka saat itu sudah bisa menebak kemungkinan mereka terjangkit flu sadis itu agar penanganannya lebih maksimal. Aku bersumpah akan terus belajar dan menggali ilmu kedokteranku agar aku selalu mampu menemukan hasil diagnosis dan memutuskan solusi yang tepat bagi setiap orang yang sedang sakit. Aku ingin virus itu tidak ada lagi di dunia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS