Recehan dalam Kemasan, Belanja tanpa Lembaran
Jumat, 18 November 2016
Selasa, 05 Juli 2016
Hari ini tepat pada tanggal 30 ramadhan 1437 H.
Setahun yang lalu, 2015. Doaku yang paling kutekankan adalah permohonan agar diberikan kesempatan berjumpa kembali dengan bulan suci ramadhan. Alhamdulillah, kali ini doa tersebut terucap lagi di hari akhir ramadhan kali ini.
Namun, aku sangat malu. Rasanya diri ini hanya ingin menunduk. Pantaskah aku merasa tenang saat Allah mengabulkan keinginanku, tetapi lagi lagi diri ini tak menyempurnakan ibadah saat bertemu kembali dengan ramadhan.
Tahun ini, rasa tidakpuas mengabdikan diri kepada sang Ilahi yang masih jauh dari totalitas masih muncul. Kemalasan dan kemasabodohan masih 'sengaja' terikat di dalam hati padahal Allah sudah menunjukkan kunci-kunci untuk melepasnya. Kesempatan dalam bulan ini sungguh luas untuk mengumpulkan amal ibadah untuk penerangan di hari akhir kehidupan.
Mata ini tak kuat lagi membendung genangan air mata, ketidaksempurnaan ibadahku sangat kusesali. Bulan suci yang sangat dicintai kini hendak pergi, rasanya tak kuat mengatakan sampai jumpa apalagi selamat tinggal.
Momentum sahur yang senyap akan sangat menggetarkan hati ingin mengulang kembali, proses menantikan buka puasa dengan nuansa ramai bersama radio mesjid akan membuat jantung ini berdebar ingin merasakan kembali, saat-saat menyantap takjil bersama sanak keluarga merupakan momen yang sangat langka dan tentu akan membuat hati ini ingin seperti itu lagi, langkah ke mesjid untuk menunaikan sholat isya dan tarwih juga mengambil posisi pada program-program ramadhan yang segera dirindukan.
Banyak kepingan kenangan yang ingin disatukan kembali setelah bulan suci ramadhan berlalu.
Semalam air mata ini hendak menderai saat imam tarwih terus melantunkan ayat suci pada juz 30 yang sangat khusyuk dalam rakat shalat. Suaranya yang merdu lembut akan dirindukan.
Ya Allah, maafkan diri ini yang tak berhasil menamatkan dan mengamalkan isi al-quran di bulan ini, maafkan karena tak banyak menderma di bulan yang kau janjikan bahwa segala sedekah akan diterima, sungguh maafkan diri ini karena tak menyempurnakan sholat malam. Banyak sunnah yang tak kulakukan di bulan-Mu ini.
Maafkan diriku yang tak memanfaatkan 10 malam terakhir untuk mencari lailatul qadr. Ampunkanlah segala kekhilafan selama menjalankan puasa ramadhan.
Banyak harapan dan doa yang terpanjatkan, semoga dapat terkabul. Banyak kesalahan yang tak sengaja dilakukan, semoga termaafkan.
Sampai jumpa pada tahun 1438 H.
Senin, 13 Juni 2016
Kali ini saya ingin bercerita tentang kenyataan bahwa dibalik tawa itu ada tangis yang ingin mencair.
Hari ini saya sempat tertawa hingga lupa bahwa ada malaikat pencabut nyawa mengawasiku.
Benar, mengapa saya sebahak itu tertawa padahal nyawaku bisa saja tak di ragaku seketika itu.
Sempat tertawa hanya berlangsung beberapa menit.
Hari ini pula ada seseorang yang terus mengancam keselamatanku bahkan kedamaian keluargaku dan orang-orang di sekitarku. Dia terus menekanku untuk tidak mengambil kesempatan itu. Dia benar-benar tidak ingin melihatku bahagia. Nyatanya, ini bukan yang kali pertama. Sebelumnya dia sempat sengaja membuatku hampir mati hanya karena melarangku ikut sebuah program wirausaha.
Kepada siapa saya harus bercurah?
Hanya melalui ini saya menoreh kesedihan yang mendalam. Memang bukan tentang kedukaan ditinggal oleh keluarga selama-lamanya. Tetapi, ini tentang ancaman yang mengoyak hati. Sekali napas berhembus, saat itu pula mata menguras air untuk mengalir pada permukaan pipi.
Sejak kemarin hingga hari ini, dia terus membayangiku kehancuran sebagai dampak jika saya memutuskan untuk mengikuti program yang hendak membawaku pada tanah perantauan. Itu mimpiku, namun dia berusaha tegas menghalangiku. Dia mengamuk, emosinya berkecamuk. Bahkan hampir menghantamku dengan pukulan tragis.
Berkali-kali aku minta petunjuk kepada sang Ilahi, namun apa daya bukannya ingin bersuudzon terhadap-Nya saya merasa iman dan pahala saya sangat minim hingga sulit menemukan petunjuk jalan dari-Nya.
Nasibku lebih terasa menderita dibanding mereka yang berada dibalik jeruji besi, atau mereka yang terpasung. Kakiku seperti diikat oleh besi, tanganku seperti dipelintir, hati ini seperti ditekan keras. Mimpi itu akhirnya terus menjadi mimpi karena ketakutanku akan ancamannya.
Mungkin ada yang bilang 'mengapa saya harus takut, padahal dia bukan orangtuaku bahkan bukan Tuhanku?' Yah, benar. Tapi, saya mengkhawatirkan dia. Jadi, niatan untuk belajar di luar kota harus saya urung kembali.
Berkat dia, saya menjadi tak punya harapan untuk hidup.
Sialnya, saya kecolongan. Mamaku membaca sms kasar dari dia. Bertambahlah kesedihanku hari ini.
Saya serasa ingin lari dari kehidupan yang kelam ini. Berharap untuk bebas dari dia pun saya takut.
Ya Allah, jikalau saya tiada. Sampaikanlah maafku kepada orangtuaku karena telah memenjarakan diriku dari dia.
Senin, 25 April 2016
Saya ingin bercerita tentang sebuah luka yang sangat menusuk batin ini hingga ke bagian paling dalam. Tentang sebuah ujian, sebuah teguran, sebuah hidayah, mengenai sosok tersayang yang pergi meninggalkan kehidupan yang kelam. Luka itu muncul berantai pada tahun yang sama, bulan yang juga serupa, hari yang bergilir. Ini bukan fiktif yang menarik untuk dibaca seperti karangan cerpen yang membuat pembaca berimajinasi ke masa depan. Tahun 2006 silam...