This is my final task for Indonesian Phonology Subject. Lets enjoy it.
1.1 Pengertian Bunyi Segmental
Konsonan adalah bunyi bahasa
yang diproduksi dengan cara, setelah arus ujar keluar dari glotis, lalu
mendapat hambatan pada alat-alat ucap tertentu di dalam rongga mulut atau
rongga hidung.
Vokal adalah jenis bunyi
bahasa yang ketika dihasilkan atau diproduksi, setelah arus ujar keluar dari
glotis tidak mendapat hambatan dari alat ucap, melainkan hanya diganggu oleh
posisi lidah, baik vertikal maupun horisontal, dan bentuk mulut.
Diftong memiliki konsep yang
berkaitan dengan dua buah vokal dan yang merupakan satu bunyi dalam satu
silabel. Namun, posisi lidah ketika mengucapkan bergeser ke atas atau ke bawah.
Karena itu, dikenal adanya tiga macam diftong, yaitu diftong naik, diftong
turun, dan diftong memusat.
- Diftong naik. Contoh :
[ai] = < gulai >
[au] = < pulau >
[oi] = < sekoi >
[∂i] = < esei >
- Diftong turun. Contoh :
[ua] pada kata < muarem
> ‘sangat puas’
[uo] pada kata < luoro
> ‘sangat sakit’
[uɛ] pada kata < uenteng
> ‘sangat ringan’
[uɑ] pada kata < uempuk
> ‘sangat empuk’
- Diftong memusat.
[uɑ] pada kata dalam bahasa
Inggris < more > < floor> < there >
Gugus konsonan atau klaster
adalah deretan konsonan yang terdapat bersama pada satu suku kata. Klaster
dalam bahasa Indonesia adalah :
br seperti pada kata brahma
dan labrak
bl seperti pada kata blangko
dan semblih
by seperti pada kata obyektif
dr seperti pada kata drama
dan drakula
dw seperti pada kata dwidarma
dy seperti pada pada kata madya
fl seperti pada kata flannel
dan inflasi
fr seperti pada kata infra
gl seperti pada kata global
dan gladiol
gr seperti pada kata gram
dan grafis
kl seperti pada kata klasik
dan klinik
kr seperti pada kata kritik
dan Kristen
ks seperti pada kata Ksatria
dan eksponen
kw seperti pada kata kwartir
dan kwartet
pr seperti pada kata produksi,
prakarya, proses, pribadi
ps seperti pada kata psikolog
dan psikopat
sl seperti pada kata slogan
sp seperti pada kata spontan
dan spesial
spr seperti pada kata sprit
dan spreyer
st seperti pada kata studio
dan stasiun
str seperti pada kata strata,
struktur, dan strategi
sw seperti pada kata swadaya
dan swasta
tr seperti pada kata tradisi,
tragedi, tragis, trauma, dan transportasi
1.2 Proses Pembunyian Segmental
Alat ucap dan alat bicara
yang dibicarakan dalam proses memproduksi bunyi bahasa dapat dibagi atas tiga
komponen, yaitu :
a.
Komponen subglotal
b.
Komponen laring, dan
c.
Komponen supraglotal
Komponen subglotal
terdiri dari paru-paru (kiri dan kanan), saluran bronkial, dan saluran
pernafasan (trakea). Di samping
ketiga alat ucap ini masih ada yang lain, yaitu otot-otot, paru-paru, dan
rongga dada. Secara fisiologis komponen ini digunakan untuk proses pernafasan.
Karena itu, komponen ini disebut juga sistem
pernafasan. Lalu dalam hubungannya dengan fonetik disebut sistem pernafasan
subglotis. Fungsi utama komponen subglotal ini adalah “memberi” arus udara
yang merupakan syarat mutlak untuk terjadinya bunyi bahasa.
Komponen laring
(tenggorok) merupakan kotak yang terbentuk dari tulang rawan yang berbentuk
lingkaran. Di dalamnya terdapat pita suara. Laring berfungsi sebagai klep yang
mengatur arus udara antara paru-paru, mulut, dan hidung. Pita suara dengan
kelenturannya bisa membuka dan menutup, sehingga bisa memisahkan dan sekaligus
bisa menghubungkan antara udara yang ada di paru-paru dan yang ada di mulut
atau rongga hidung.
Komponen supraglotal adalah
alat-alat ucap yang berada di dalam rongga mulut dan rongga hidung baik yang
menjadi artikulator aktif maupun yang menjadi artikulator pasif.
Terjadinya bunyi bahasa
dalam proses produksi bunyi bahasa pada umumnya dimulai dari proses pemompaan
udara ke luar dari paru-paru melalui pangkal tenggorokan (laring) ke
tenggorokan yang di dalamnya terdapat pita suara. Supaya udara itu bisa ke
luar, pita suara tu harus berada dalam keadaan terbuka. Setelah melalui pita
suara, yang merupakan jalan satu-satunya untuk bisa ke luar, entah melalui
rongga mulut atau rongga hidung, arus udara tadi diteruskan ke luar ke udara
bebas.
Ada empat macam posisi glotis
pada pita suara yaitu pita suara dengan (a) glotis terbuka lebar, (b) glotis
terbuka agak lebar, (c) glotis terbuka sedikit, dan (d) glotis tertutup rapat.
Kalau glotis terbuka lebar, maka tidak terjadi bunyi bahasa. Posisi ini adalah
posisi dalam bernafas secara normal. Kalau posisi glotis terbuka agak lebar,
maka akan terjadilah bunyi bahasa yang disebut bunyi tak bersuara. Kalau posisi
glotis terbuka sedikit maka akan terjadi bunyi bahasa yang disebut bunyi
bersuara. Kalau posisi glotis tertutup rapat maka akan terjadi bunyi hambat
glotal (?) atau lazim disebut bunyi hamzah.
Secara umum titik artikulasi
(pertemuan antara artikulator aktif dan artikulator pasif) yang mungkin terjadi
dalam bahasa Indonesia ialah :
a)
Artikulasi bilabial (bibir bawah dan bibir atas)
b)
Artikulasi labiodental (bibir bawah dan gigi atas)
c)
Artikulasi interdental (gigi bawah, gigi atas, dan
ujung lidah)
d)
Artikulasi apikodental (ujung lidah dan gigi atas)
e)
Artikulasi apikoalveolar (ujung lidah dan ceruk gigi
atas)
f)
Artikulasi laminodental (daun lidah dan gigi atas)
g)
Artikulasi laminopalatal (daun lidah dan langit-langit
keras)
h)
Artikulasi lamino alveolar (daun lidah dan ceruk gigi
atas)
i)
Artikulasi dorsopalatal (pangkal lidah dan
langit-langit keras)
j)
Artikulasi dorsovelar (pangkal lidah dan langit-langit
lunak)
k)
Artikulasi dorsouvular (pangkal lidah dan anak tekak)
l)
Artikulasi oral (penutupan arus udara ke rongga
hidung)
m)
Artikulasi radiko faringal (akar lidah dan dinding
kerongkongan)
Cara artikulasi atau cara
bagaimana bunyi bahasa itu dihasilkan, yakni :
a)
Arus ujar itu dihambat pada titik tertentu, lalu
dengan tiba-tiba diletupkan sehingga terjadilah bunyi yang disebut bunyi
hambat, bunyi letup atau bunyi plosif.
b)
Arus ujar itu dihambat pada titik tertentu, lalu arus
ujar itu dikeluarkan melalui rongga hidung, sehingga terjadilah bunyi nasal.
c)
Arus ujar itu dihambat pada tempat tertentu, kemudian
diletupkan sambil digeser atau didesiskan sehingga terjadilah bunyi paduan atau
bunyi afrikat.
d)
Arus ujar itu dihambat pada tempat tertentu, kemudian
digeserkan atau didesiskan sehingga terjadilah bunyi geseran, bunyi desis atau
bunyi frikatif.
e)
Arus ujar itu dikeluarkan melalui samping kiri dan
kanan lidah, maka terjadilah bunyi sampingan atau bunyi lateral.
f)
Arus ujar itu dikeluarkan melalui samping kiri dan
kanan lidah lalu digetarkan sehingga terjadilah bunyi getar atau tril.
g)
Arus ujar itu pada awal prosesnya diganggu oleh posisi
lidah tetapi kemudian diganggu pada titik artikulasi tertentu sehingga
terjadilah bunyi semi vokal yang dikenal juga dengan nama bunyi hampiran.
Dalam membuat klasifikasi
bunyi dan klasifikasi fonem digunakan tiga patokan atau kriteria, yaitu titik
artikulasi, tempat artikulasi, dan bergetar tidaknya pita suara.
1.3 Jenis-Jenis Bunyi Bahasa
- Bunyi Vokal, Konsonan, dan Semi Vokal
Bunyi-bunyi vokal, konsonan,
dan semi vokal dibedakan berdasarkan tempat dan cara artikulasinya. Vokal
adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan cara, setelah arus udara ke luar
dari glotis (celah pita suara), lalu arus ujar hanya “diganggu” atau diubah
oleh posisi lidah dan bentuk mulut. Misalnya, bunyi [i], bunyi [a], dan bunyi
[u]. Sedangkan bunyi konsonan terjadi setelah arus ujar melewati pita suara
diteruskan ke rongga mulut dengan mendapat hambatan dari artikulator aktif dan
artikulator pasif. Misalnya, bunyi [b] yang mendapat hambatan pada kedua bibir;
bunyi [d] yang mendapat hambatan pada kedua bibir; bunyi [d] yang mendapat hambatan
pada ujung lidah (apeks) dan gigi atas; atau bunyi [g] yang mendapat hambatan
pada belakang lidah (dorsum) dan langit-langit lunak (velum). Sedangkan bunyi
semi vokal adalah bunyi yang proses pembentukannya mula-mula secara vokal lalu
diakhiri secara konsonan. Karena itu, bunyi ini sering juga disebut bunyi
hampiran (aproksiman). Bunyi semivokal hany ada dua yaitu bunyi [w] yang
termasuk bunyi bilabial dan bunyi [y] yang termasuk bunyi laminopalatal.
- Bunyi Oral dan Bunyi Nasal
Kedua bunyi ini dibedakan berdasarkan
keluarnya arus ujar. Bila arus ujar ke luar melalui rongga mulut maka disebut
bunyi oral. Bila ke luar melalui rongga hidung disebut bunyi nasal. Bunyi nasal
yang ada hanyalah bunyi [m] yang merupakan nasal bilabial, bunyi [n] yang
merupakan nasal laminoalveolar atau apikodental, bunyi [ñ] yang merupakan nasal
laminopalatal; dan bunyi [ŋ] yang merupakan nasal dorsovelar.
- Bunyi Bersuara dan Bunyi tak Bersuara
Kedua bunyi ini dibedakan
berdasarkan ada tidaknya getaran pada pita suara sewaktu bunyi itu diproduksi.
Bila pita suara turut bergetar pada proses pembunyian itu, maka disebut bunyi
bersuara. Hal ini terjadi karena glotis pita suara terbuka sedikit. Yang
termasuk bunyi bersuara antara lain bunyi [b], bunyi [d], dan bunyi [g]. Bila
pita suara tidak bergetar disebut bunyi tak bersuara. Dalam bahasa Indonesia
hanya ada empat buah bunyi tak bersuara, yaitu bunyi [s], bunyi [k], bunyi [p],
dan bunyi [t].
- Bunyi Keras dan Bunyi Lunak
Pembedaan kedua bunyi ini
berdasarkan ada tidaknya ketegangan kekuatan arus udara ketika bunyi ini
diartikulasikan. Sebuah bunyi disebut keras (fortis) apabila terjadi karena
pernafasan yang kuat dan otot tegang. Bunyi [t], [k], dan [s] adalah fortis.
Sebaliknya sebuah bunyi disebut lunak (lenis) apabila terjadi karena pernafasan
lembut dan otot kendur. Bunyi seperti [d], [g], dan [z] adalah lenis.
- Bunyi Panjang dan Bunyi Pendek
Pembedaan kedua bunyi ini
didasarkan pada lama dan tidaknya bunyi itu diartikulasikan. Baik bunyi vokal
maupun bunyi konsonan dapat dibagi atas bunyi panjang dan bunyi pendek. Kasus
ini tidak ada dalam bahasa Indonesia, tetapi ada dalam bahasa Latin dan bahasa
Arab.
- Bunyi Tunggal dan Bunyi Rangkap
Pembedaan ini berdasarkan
pada hadirnya sebuah bunyi yang tidak sama sebagai satu kesatuan dalam sebuah
silabel (suku kata). Bunyi vokal rangkap disebut diftong dan bunyi tungga
disebut monoftong. Bunyi rangkap konsonan disebut klaster. Tempat artikulasi
kedua konsonan dalam klaster berbeda.
- Bunyi Nyaring dan Tak Nyaring
Pembedaan kedua bunyi ini
berdasarkan derajat kenyaringan (sonoritas) bunyi-bunyi itu yang ditentukan
oleh besar kecilnya ruang resonansi pada waktu bunyi itu diujarkan. Bunyi vokal
pada umumnya mempunyai sonoritas yang lebih tinggi daripada bunyi konsonan.
Oleh karena itu, setiap bunyi vokal menjadi puncak kenyaringan setiap silabel.
- Bunyi Egresif dan Bunyi Ingresif
Pembedaan kedua bunyi ini
berdasarkan dari mana datangnya arus udara dalam pembentukan bunyi itu. Kalau
arus udara datang dari dalam (seperti dari paru-paru), maka bunyi tersebut
disebut bunyi egresif; bila datangnya dari luar disebut bunyi ingresif.
Ada dua macam bunyi egresif,
yaitu (a) bunyi egresif pulmonik, apabila arus udara itu berasal dari
paru-paru; dan (b) egresif glotalik apabila arus udara itu berasal dari pangkal
tenggorokan. Bunyi ingresif juga ada dua macam, yaitu bunyi ingresif glotalik
yang prosesnya sama dengan bunyi egresif glotalik; hanya arus udaranya masuk
dari luar. Yang kedua ialah bunyi ingresif velarik yang terjadi dengan
mekanisme velarik, yakni pangkal lidah dinaikkan ke langit-langit lunak
(velum).
- Bunyi Segmental dan Bunyi Suprasegmental
Pembedaan kedua bunyi ini
didasarkan pada dapat tidaknya bunyi itu disegmentasikan. Bunyi yang dapat
disegmentasikan, seperti semua bunyi vokal dan bunyi konsonan adalah bunyi
segmental; sedangkan bunyi atau unsur yang tidak dapat disegmentasikan, yang
menyertai bunyi segmental itu, seperti tekanan, nada, jeda, dan durasi
(pemanjangan) disebut bunyi atau unsur suprasegmental atau non segmental.
- Bunyi Utama dan Bunyi Sertaan
Dalam pertuturan bunyi-bunyi
bahasa itu tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling
pengaruh-mempengaruhi baik dari bunyi yang ada sebelumnya maupun dari bunyi
sesudahnya. Begitulah ketika sebuah bunyi diartikulasikan, maka akibat dari
pengaruh bunyi berikutnya terjadi pulalah artikulasi lain yang disebut
artikulasi sertaan atau ko-artikulasi atau artikulasi sekunder. Maka, pembedaan
adanya bunyi utama dan bunyi sertaan ini didasarkan pada adanya proses
artikulasi pertama, artikulasi utama, atau artikulasi primer, dan adanya
artikulasi sertaan.
Bunyi-bunyi sertaan disebut
juga bunyi pengiring yang muncul, antara lain, akibat adanya proses artikulasi
sertaan yang disebut :
(a)
Labialisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara
kedua bibir dibulatkan dan disempitkan segera atau ketika bunyi utama
diucapkan, sehingga terdengar bunyi sertaan [ʷ] pada bunyi utama. Misalnya,
bunyi [t] pada kata < tujuan > terdengar sebagai bunyi [tʷ] sehingga
lafalnya [tʷujuan]. Jadi, bunyi [t] dikatakan dilabialisasikan.
(b)
Palatalisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara
tengah lidah dinaikkan mendekati langit-langit keras (palatum) segera atau
ketika bunyi utama diucapkan sehingga terdengar
bunyi sertaan [ʸ]. Misalnya, bunyi [p] pada kata <piara> terdengar
sebagai bunyi [pʸ] sehingga ucapannya menjadi [pʸara]. Jadi, bunyi [p] telah
dipalatalisasi.
(c)
Valerisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara
mengangkat lidah ke arah langit-langit lunak (velum) segera atau ketika bunyi
utama diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan [ˣ]. Misalnya, bunyi [m] pada
kata <makhluk> terdengar sebagai bunyi [mˣ], sehingga ucapannya menjadi
[mˣaxluk]
(d)
Retrofleksi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara
ujung lidah ditarik ke belakang segera atau ketika bunyi utama diucapkan
sehingga terdengar bunyi sertaan [ʳ]. Misalnya, bunyi [k] pada kata
<kertas> terdengar sebagai bunyi [kʳ], sehingga ucapannya menjadi
[kʳertas]. Jadi, bunyi [k] telah diretrofleksikan.
(e)
Glotalisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara
glotis ditutup sesudah bunyi utama diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan
[ˀ]. Misalnya, bunyi [a] pada kata <akan> terdengar sebagai bunyi [aˀ],
sehingga ucapannya menjadi [aˀkan].
(f)
Aspirasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara arus
udara yang ke luar lewat rongga mulut terlalu keras sehingga terdengar bunyi
sertaan [ʰ]. Misalnya, bunyi [p] pada awal kata bahasa Inggris <peace>
terdengar sebagai bunyi [pʰ], sehinga ucapannya menjadi [pʰeis].
(g)
Nasalisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara
memberikan kesempatan arus udara melalui rongga hidung sebelum atau sesaat
bunyi utama diucapkan, sehingga terdengar bunyi sertaan [ ͫ ]. Hal ini biasa
terjadi pada konsonan hambat bersuara, yaitu [b], [d], dan [g].
1.4 Deskripsi Bunyi Segmental Bahasa Indonesia
1.4.1
Bunyi Vokal
Vokal adalah jenis bunyi
bahasa yang ketika dihasilkan atau diproduksi, setelah arus ujar ke luar dari
glotis tidak mendapat hambatan dari alat ucap, melainkan hanya diganggu oleh
posisi lidah, baik vertikal maupun horisontal, dan bentuk mulut. Perhatikan
bagan vokal bahasa Indonesia berikut ini :
POSISI LIDAH
|
TAK BUNDAR
|
BUNDAR
|
||
DEPAN
|
PUSAT
|
BELAKANG
|
||
Tinggi
|
Atas
|
i
|
|
u
|
Bawah
|
I
|
U
|
||
Tengah
|
Atas
|
e
|
ə
|
o
|
(Madya)
|
Bawah
|
ɛ
|
ɔ
|
|
Rendah
|
Madya
|
|
a
|
|
Berdasarkan bagan tersebut bunyi-bunyi
vokal dapat diklasifikasikan menurut :
1. Tinggi rendahnya posisi lidah
Berdasarkan tinggi rendahnya
posisi lidah bunyi-bunyi vokal dapat dibedakan atas:
a.
Vokal tinggi atas, seperti bunyi [i] dan [u]
b.
Vokal tinggi bawah, seperti bunyi [I] dan [U]
c.
Vokal sedang atas, seperti bunyi [e] dan [o]
d.
Vokal sedang bawah, seperti bunyi [ɛ] dan [ɔ]
e.
Vokal sedang tengah, seperti bunyi [ə]
f.
Vokal rendah, seperti bunyi [a]
2. Maju mundurnya lidah
Berdasarkan maju mundurnya
lidah bunyi vokal dapat dibedakan atas :
a.
Vokal depan, seperti bunyi [i], [e], dan [a]
b.
Vokal tengah, seperti bunyi [ə]
c.
Vokal belakang, seperti bunyi [u] dan [o]
3. Striktur
Striktur pada bunyi vokal
adalah jarak antara lidah dengan langit-langit keras (palatum). Maka,
berdasarkan strikturnya bunyi vokal dapat dibedakan menjadi :
a.
Vokal tertutup, yang terjadi apabila lidah diangkat
setinggi mungkin mendekati langit-langit, seperti bunyi [i] dan bunyi [u]
b.
Vokal semi tertutup, yang terjadi apabila lidah
diangkat dalam ketinggian sepertiga di bawah vokal tertutup, seperti bunyi [e],
bunyi [ə], dan bunyi [o].
c.
Vokal semi terbuka, yang terjadi apabila lidah
diangkat dalam ketinggian sepertiga di atas vokal yang paling rendah, seperti
bunyi [ɛ] dan [ɔ]
d.
Vokal terbuka, yang terjadi apabila lidah berada dalam
posisi serendah mungkin, seperti bunyi [a]
4. Bentuk Mulut
Berdasarkan bentuk mulut
sewaktu bunyi vokal itu diproduksi dapat dibedakan :
a.
Vokal bundar, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk
mulut membundar. Dalam hal ini ada yang bundar terbuka seperti bunyi [ɔ], dan
yang bunda tertutup seperti bunyi [o] dan bunyi [u]
b.
Vokal tak bundar, yaitu vokal yang diucapkan dengan
bentuk mulut tidak membundar, melainkan terbentang melebar, seperti bunyi [i], bunyi
[e], dan bunyi [ɛ]
c.
Vokal netral, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk
mulut tidak bundar dan tidak melebar, seperti bunyi [a]
Berdasarkan keempat kriteria
yang dibicarakan tersebut, maka nama-nama vokal dapat disebutkan sebagai
berikut :
VOKAL
|
KRITERIA
|
CONTOH KATA
|
[i]
|
Vokal depan, tinggi (atas), tak bundar, tertutup.
|
<ini>;[i-ni], <ibu>;[i-bu],
<cari>;[ca-ri], <lari>;[la-ri]
|
[ I ]
|
Vokal depan, tinggi (bawah), tak bundar, tertutup.
|
<pinggir>;[pIng-gIr], <adik>;[a-dI?]
|
[u]
|
Vokal belakang, tinggi (atas), bundar, tertutup.
|
<udara>;[u-da-ra], <utara>;[u-ta-ra]
|
[U]
|
Vokal belakang, tinggi (bawah), bundar, tertutup.
|
<ukur>;[u-kUr], <urus>;[u-rUs],
<turun>;[tu-rUn]
|
[e]
|
Vokal depan, sedang (atas), tak bundar, semi
tertutup.
|
<ekor> ; [e-kor]
|
[ɛ]
|
Vokal depan, sedang (bawah), tak bundar, semi
terbuka.
|
<nenek>;[ne-nɛ?], <dendeng> ; [dɛn-dɛŋ]
|
[ə]
|
Vokal tengah, sedang, tak bundar, semi tertutup.
|
<elang>;[ə-laŋ], <emas>;[ə-mas]
|
[o]
|
Vokal belakang, sedang (atas), bundar, semi
tertutup.
|
<toko>;[to-ko]
|
[ɔ]
|
Vokal belakang, sedang (bawah), bundar, semi
terbuka.
|
<tokoh>;[to-kɔh]
|
[a]
|
Vokal belakang, rendah, netral, terbuka
|
<cari> ; [ca-ri]
|
1.4.2
Bunyi Konsonan
Konsonan adalah bunyi bahasa
yang diproduksi dengan cara, setelah arus ujar keluar dari glotis, lalu
mendapat hambatan pada alat-alat ucap tertentu di dalam rongga mulut atau
rongga hidung. Bunyi konsonan dapat diklasifikasikan berdasarkan (1) tempat
artikulasi, (2) cara artikulasi, (3) bergetar tidaknya pita suara, dan (4)
striktur.
1)
Tempat artikulasi, yaitu tempat terjadinya bunyi
konsonan, atau tempat bertemunya artikulator aktif dan artikulator pasif.
Tempat artikulasi disebut juga titik artikulasi. Sebagai contoh bunyi [p]
terjadi pada kedua belah bibir (bibir atas dan bibir bawah), sehingga tempat artikulasinya
disebut bilabial. Contoh lain bunyi [d] artikulator aktifnya adalah ujung lidah
(apeks) dan artikulator pasifnya adalah gigi atas (dentum), sehingga tempat
artikulasinya disebut apikodental.
2)
Cara artikulasi yaitu bagaimana tindakan atau perlakuan
terhadap arus udara yang baru ke luar dari glotis dalam menghasilkan bunyi
konsonan itu. Misalnya, bunyi [p] dihasilkan dengan cara mula-mula arus udara
dihambat pada kedua belah bibir, lalu tiba-tiba diletupkan dengan keras. Maka
bunyi [p] itu disebut bunyi hambat atau bunyi letup. Contoh lain bunyi [h]
dihasilkan dengan cara arus udara digeserkan di laring (tempat artikulasinya).
Maka, bunyi [h] disebut bunyi geseran atau frikatif.
3)
Bergetar tidaknya pita suara, yaitu jika pita suara
dalam proses pembunyian itu turut bergetar atau tidak. Bila pita suara itu
turut bergetar maka disebut bunyi bersuara. Jika pita suara tidak turut
bergetar, maka bunyi itu disebut bunyi tak bersuara.
4)
Striktur, yaitu hubungan posisi antara artikulator
aktif dan artikulator pasif. Umpamanya dalam memproduksi bunyi [p] hubungan
artikulator aktif dan artikulator pasif, mula-mula rapat lalu secara tiba-tiba
dilepas. Dalam memproduksi bunyi [w] artikulator aktif dan artikulator pasif
hubungannya renggang dan melebar.
Konsonan dalam bahasa
Indonesia dapat disajikan dalam bentuk bagan sebagai berikut :
CARA ARTIKULASI
|
B/TB
|
TEMPAT ARTIKULASI
|
|||||||
Bilabial
|
Labiodental
|
Apikoal
|
Laminoal
|
Lamino
|
Dorsovelar
|
Laringal
|
Glotal
|
||
|
|
veolar
|
veolar
|
palatal
|
|
|
|
||
Hambat
|
B
|
b
|
|
d
|
|
|
g
|
|
Ɂ
|
(letup
|
TB
|
P
|
|
t
|
|
|
k
|
|
|
Nasal
|
B
|
m
|
|
n
|
|
ñ
|
ŋ
|
|
|
Paduan
|
B
|
|
|
|
|
ǰ
|
|
|
|
(afrikat)
|
TB
|
|
|
|
|
č
|
|
|
|
Sampingan
|
B
|
|
|
l
|
|
|
|
|
|
(lateral)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Geseran
|
B
|
|
v
|
|
z
|
š
|
x
|
h
|
|
(frikatif)
|
TB
|
|
f
|
|
|
s
|
|
|
|
Getar
(tril)
|
B
|
|
|
r
|
|
|
|
|
|
Semivokal
|
B
|
w
|
|
|
y
|
|
|
|
|
B = Bersuara
TB = Tidak Bersuara
Dengan melihat tempat artikulasi, cara
artikulasi dan bergetar tidaknya pita suara, maka nama-nama bunyi konsonan itu
dapat disebutkan sebagai berikut :
KONSONAN
|
KRITERIA
|
CONTOH
KATA
|
[b]
|
Bunyi
bilabial, hambat, bersuara
|
<
baru, abu >
|
[p]
|
Bunyi
bilabial, hambat, tak bersuara
|
<
pita, apa, tetap >
|
[m]
|
Bunyi
bilabial, nasal, bersuara
|
<
mana, lama, malam >
|
[w]
|
Bunyi
bilabial, semi vokal, bersuara
|
<
warna, waktu, awan >
|
[v]
|
Bunyi
labiodental, geseran, bersuara
|
<
veteran, devisa >
|
[f]
|
Bunyi
labiodental, geseran, tak bersuara
|
<
fajar, nafas, taraf >
|
[d]
|
Bunyi
apikoalveolar, hambat, bersuara
|
<
datang > ; [da-taŋ]
|
[t]
|
Bunyi
apikoalveolar, hambat, tak bersuara
|
<
peta > ; [pə-ta]
|
[n]
|
Bunyi
apikoalveolar, nasal, bersuara
|
<
nama, ini, saran >
|
[l]
|
Bunyi
apikoalveolar, sampingan, bersuara
|
<
lama, pula, asal >
|
[r]
|
Bunyi
apikoalveolar, getar, bersuara
|
<
segar > ; [sə-gar]
|
[z]
|
Bunyi
laminoalveolar, geseran, bersuara
|
<
lezat > ; [lə-zat]
|
[ñ]
|
Bunyi
laminopalatal, nasal, bersuara
|
<
nyaring > ; [ña-rIŋ]
|
[
ǰ
]
|
Bunyi
laminopalatal, paduan, bersuara
|
<
jurang > ; [ju-raŋ]
|
[č]
|
Bunyi
laminopalatal, paduan, tak bersuara
|
<
cara, baca >
|
[š]
|
Bunyi
laminopalatal, geseran, bersuara
|
<
syarat >
|
[s]
|
Bunyi
laminopalatal, geseran, tak bersuara
|
<
sama, nasi >
|
[g]
|
Bunyi
dorsovelar, hambat, bersuara
|
<
gaya, tiga >
|
[k]
|
Bunyi
dorsovelar, hambat, tak bersuara
|
<
kaca, saku >
|
[ŋ]
|
Bunyi
dorsovelar, nasal, bersuara
|
<
langit > ; [la-ŋIt]
|
[x]
|
Bunyi
dorsovelar, geseran, bersuara
|
<
khidmat, akhirat >
|
[h]
|
Bunyi
laringal, geseran, bersuara
|
<
hemat, bahan, indah >
|
[Ɂ]
|
Bunyi
hambat, glotal, bersuara
|
<
bak, pak, rakyat >
[
baɁ, paɁ, raɁ-yat ]
|
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,
Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta
: Rineka Cipta
Dola,
Abdullah. 2011. Linguistik Khusus Bahasa
Indonesia. Makassar : Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar
membantu sekali
BalasHapusok bermanfaat
BalasHapus